"Pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan kompetensi guru juga akan berdampak pada sisi profesionalitasnya. Kualitas kompetensi yang dimiliki guru juga akan meningkatkan kualitas ilmu yang diserap saat proses belajar dan mengajar. Salah satu hal yang mesti dimiliki seorang guru adalah kemampuan mengelola kelas dengan baik, sebab tidak semua guru mampu menciptakan suasana belajar yang interaktif," ucapnya saat diwawancarai di depan ruang kelas, pada Selasa (2/1/2024).
Imad menambahkan, faktor lain yang mungkin memicu turunnya kompetensi guru adalah kurikulum yang terus berubah. Mungkin kurikulum terbaru sekarang banyak berdampak positif bagi siswa tetapi tidak bagi guru. Sebab, guru mesti menyesuaikan diri dan merencanakan pembelajaran yang relevan. Hal tersebut cenderung menjadi tugas yang sulit, terlebih jika perubahan terjadi tanpa persiapan yang memadai. Faktor ini dapat menunjang turunnya kualitas pengajaran yang tidak terprediksi.
Masalah pendidikan di Indonesia tidak berhenti sampai sisi kompetensi gurunya saja. Di tahun 2024 sekarang, Indonesia diisukan akan kekurangan 1,3 juta guru karena pensiun. Hal tersebut perlu ditinjau lebih dalam. Sebab, profesi guru sendiri kurang digemari oleh generasi muda saat ini. Terlebih, pemerataan pendidikan di Indonesia belum tercapai secara menyeluruh. Salah satunya karena ketidaksetaraan sumber daya layaknya guru berkualitas untuk terjun ke pelosok. Hal ini dibenarkan oleh seorang aktivis sosial sekaligus guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Embun Pagi Islamic Kindergarten, Aghnesia Hafaz Kiasatina atau kerap disapa Nesia.
"Semakin kesini dapat terlihat bahwa minat terhadap jurusan pendidkan cenderung rendah. Banyak dari mereka pula yang lulus sebagai sarjana pendidikan tetapi enggan menjadi guru. Rata-rata dari mereka menyayangkan kesejahteraan guru yang tidak merata. Padahal, profesi guru merupakan peran yang besar bagi kecerdasan bangsa," tutur Nesia saat diwawancarai di ruang kelas PAUD Embun Pagi Islamic Kindergarten, Jalan Raya Kalimalang, Selasa (2/1/2024).
Dirinya menambahkan, terkait sumber daya guru yang berpotensi kekurangan untuk menerapkan pemerataan pendidikan, hal tersebut dapat terjadi karena rendahnya gaji. Di kota besar, gaji guru termasuk ke dalam salah satu pekerjaan dengan upah terendah. Lebih miris lagi, mereka yang bekerja sebagai guru di wilayah pelosok ada yang menerima upah tiga bulan sekali dengan nominal yang sangat kecil.
"Upah bagi guru yang bekerja di wilayah pelosok terkadang tidak manusiawi. Ada yang menerima hanya Rp50.000,00 per bulannya. Mungkin selain itu yang membuat mereka malas menjadi guru juga karena sistem kenaikan tingkatnya ya. Karena untuk menaikkan tingkat guru biasanya banyak rangkaiannya dan sulit sekali prosesnya," jelasnya.
Nesia berharap, untuk mengimplementasikan pemerataan pendidikan di Indonesia dapat dimulai dari subjek pendidikannya, yaitu guru. Guru-guru di Indonesia mesti lebih disejahterakan, tidak hanya memberikan beban tuntutan yang tiada habisnya. Terlebih, guru yang mengajar di pelosok juga mesti diapresiasi lebih. Sebab, mereka senantiasa tulus mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa.
"Selain gurunya, semoga pemerintah dapat memastikan bahwa fasilitas pendidikan tersedia secara merata hingga wilayah pelosok. Di pelosok juga banyak sekolah yang mulai rapuh. Jadi, bagusin sekolahnya. Intinya, pemerintah mesti peka terhadap seluruh perbaikan infrastruktur dan distribusi peralatan pendidikan yang memadai bagi wilayah pelosok," pungkasnya.
Penulis: Amalia Vilistin, Mahasiswi semester tiga Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H