Mohon tunggu...
Amalia Salwa
Amalia Salwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maliki Malang

Little girl with big heart ♥

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai Jelek? Siapa Takut

14 Oktober 2022   17:18 Diperbarui: 14 Oktober 2022   17:57 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Written by Amalia Salwa -- 14 Oktober

Kata emak jangan bandel-bandel di kelas, yang tekun belajarnya biar bisa dapat nilai seratus dan jadi peringkat satu. Klise tapi bebannya luar biasa bagi anak-anak diusia sekolah. Kenapa orang dewasa terus-terusan mendorong anak untuk menunujukkan hasil 'sempurna' yang mereka inginkan? 

Kenapa seorang anak dituntut mengikuti alur pendidikan yang jelimet dengan segala capaian pembelajaran yang padat merayap menggerogoti asa?, tetapi orang dewasa itu sendiri tidak melihat bagaimana anak mereka jatuh bangun demi memenuhi yang katanya juara kelas, nilai sempurna, dan memiliki predikat "anak pintar" itu.

Kecurangan, “orang dalam”, plagiarisme, dan joki istilah yang tidak asing dan sering dengar kan? Iya salah satu jalan harapan yang ‘cerah’ untuk mencapai nilai sempurna. 

Dalam beberapa kasus bahkan anak lebih takut mendapat nilai jelek daripada memahami apa yang mereka pelajari, akhirnya ya saling kerjasama untuk menyontek. Seperti yang terjadi pada salah satu warga di Paris, Prancis. 

Dikutip dari Dailimail, Selasa (25/6/2013) kejadian dimulai ketika seorang ibu berumur 25 tahun menyamar untuk menggantikan ujian anakanya yang berumur 19 tahun kala itu. 

Caroline nama ibu yang rela menggantikan kursi anaknya hanya agar anak tersebut tidak mendapat nilai jelek pada ujiannya.  Bahkan ada fenomena dimana siswa yang tidak mau bekerjasama dalam menyontek maka akan di-bully atau dihilangkan dari peradaban kelas.

Hal semacam ini sudah umum terjadi bahkan sudah ternormalisasi dengan sendirinya oleh masyarakat. Bukan menjadi rahasia umum jika joki dan mencontek adalah suatu kegiatan ‘halal’ yang berkembang dibanyak instansi.

Perkembangan mental menjadi buruk adalah salah satu efek negatif dari normalisasi nilai sempurna yang digadang-gadang oleh instansi pendidikan khususnya. Guru dan sebagian orang tua mungkin hanya memikirkan bagaimana caranya anak-anak mereka bisa lolos ujian dengan nilai memuaskan tanpa memikirkan tumbuh kembang mental dan psikologis yang ada di dalam diri peserta didik. 

Efek lain yang ditimbulkan dengan gaya belajar yang monoton dan menuntut adalah hilangnya fokus dan ketidak setabilan mood belajar. Kenapa bisa begitu? Ya tentu cukup bisa dirasakan bahwa sesak dan sakit jika terus dikejar bola harapan sempurna namun bahkan kaki tidak diberi alas, tapi diminta sampai ketujuan tanpa darah, sehat dan cepat.

Lalu bagaimanakah tanggapan dunia pendidikan tentang fenomena “yang penting hasil” ini?  Beruntung sekarang sudah sudah berkembang ilmu psikologi pendidikan dan tergolong ilmu modern yang mengusung health mental care dan fokusnya adalah meneliti bagaimana proses anak dalam mencerna pembelajaran, baik itu formal maupun informal. Ilmu ini sekarang menjadi primadona guru dalam proses mengajar peserta didik. 

Mengutip dari Gramedia.com teori belajar ini sangat tekenal karena seorang guru sekarang dapat melihat perubahan yang terjadi pada kognitif atau mental seseorang. 

Oleh sebab itu, tak sedikit para guru yang menerapkan teori belajar ini. Ilmu ini akrabnya dikenal dengan teori belajar kognitif. Salah seorang penggagas teori ini adalah Piaget, tokoh psikolog asal Swiss. Beliau berkontribusi besar terhadap perkembangan pemikiran kognitif anak.

Dari teori kognitif ini kita bersama belajar bahwa anak tidak terlahir dengan tingkat kecerdasan kognitif yang sama, melainkan sangat berbeda menurut porsinya masing-masing. 

Perkembangan kognitif anak tentu tidak sama dengan tingkat kognitiif orang dewasa, maka dari itu tidak fair jika oaring dewasa membandingkan kemampuan mereka dengan anak-anak yang notabennya sedang dalam proses mencerna banyak hal baru.

Jika anak terus didorong untuk memproduksi nilai-nilai yang bahkan mereka sendiri tidak diberi kesempatan untuk memproses dan menanggapi keadaan sekitar bagaimana anak bisa tumbuh sebagai manusia yang memehami sebuah makna. 

Anak akan terus terdorong melakukan kecurangan hanya untuk memenuhi hasrat orang dewasa akan kesempurnaan, namun efeknya sangat tidak baik untuk perkembangan internal anak.

Lalu solusinya? Terus belajar memahami dan bersabar menjadi kunci bagi pendidik atau orang dewasa dalam mengarahkan perkembanagn anak. Memahami dengan cara tidak mendorong keinginan pribadi ke anak dan membiarkan mereka mencerna makna dalam proses belajarnya tanpa menuntut hasil yang perfect dan terus bersabar untuk membimbing anak agar mau mengekpresikan tanda tanya dalam pikirannya. Terus tambahakan ilmu-ilmu baru demi berkembangnya pikiran anak, hal ini akan sangat membantu peserta didik dalam proses belajarnya. 

Seperti yang penulis jelaskan di atas jika anak dipaksa memikul beban harapan yang berat namun bahkan tidak dibekali alas kaki tentu akan berdarah-darah dalam prosesnya, berbeda dengan anak jika diberi opsi bekal yang cukup dan peraturan “dilarang terburu-buru serta harus memahami setiap fenomena yang ditemu dijalan!” tentu akan berbeda hasilnya.

Referensi

Restu. Teori Belajar Kognitif dan Tokoh Yang Mengembangkanya, (Online), (https://www.gramedia.com/literasi/teori-belajar kognitif/#:~:text=Teori%20belajar%20kognitif%20merupakan%20teori%20belajar%20yang%20muncul,ada%20di%20dalam%20peset%20didik%20tidak%20bisa%20diamati.), diakses tanggal 13 Oktober 2022.

Nur Laeli. Teori Piaget: Tahapan Perkembangan Kognitif, (Online), (https://www.gramedia.com/literasi/teori-piaget/), diakses tanggal 23 Oktober 2022.

Pakapahan J. 2008. Nilai Jelek? Jangan Khawatir!, (Online), (http://binsarspeaks.net/?p=92), diakses tanggal 14 Oktober 2022.

Rosita Andi. 2015. Siswa lebih takut raih nilai jelek ketimbang curang, pendidik prihatin, (Online), (https://www.brilio.net/news/siswa-lebih-takut-raih-nilai-jelek-ketimbang-curang-pendidik-prihatin-151107p.html), diakses tanggal 14 Oktober 2022.

Mdsetiawan09. 2013. Takut Nilainya Jelek, Ibu Ini Gantikan Anaknya Ujian Sekolah, (Onlien), (https://www.kaskus.co.id/thread/51ca735e1ed7199637000006/takut-nilainya-jelek-ibu-ini-gantikan-anaknya-ujian-sekolah/), diakses tanggal 14 Oktober 2022.

Default Site. Teori Belajar Kognitif Menurut Para Ahli dan Penerapannya, (Online), (https://dosenpsikologi.com/teori-belajar-kognitif), diakses tanggal 14 Oktober 2022.

Malik Ahmad. 2022. Penerapan Teori Belajar Kognitif dalam Pembelajaran, (Online), (https://www.kompasiana.com/ahmadmalik9009/63459e954addee1bc8459462/penerapan-teori-belajar-kognitif-dalam-pembelajaran), diakses tanggal 14 Oktober 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun