Mohon tunggu...
Amalia Salabi
Amalia Salabi Mohon Tunggu... -

Founder of GIMI | CEO of Street Genius Id | YSI SAA | Researcher for Islamic Study and History

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT: Sebuah Pemahaman dan Sikap

9 Februari 2016   09:18 Diperbarui: 9 Februari 2016   09:25 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman teman pasti pernah mendengar istilah LGBT. Mungkin beberapa sudah ada yang mencari tau di internet mengenai pro kontra LGBT, dan ada juga yang masih belum tau, sebenernya apa sih LGBT. Oleh karena itu, kita mau sharing nih, agar temen temen punya pemahaman lebih baik mengenai LGBT.

Pertama...
LGBT bukan penyakit

Kacamata Agama
Penyakit dalam agama Islam merupakan sebuah konsep dimana penderitanya, selama menderita penyakit, diampuni dosanya oleh Allah. Hal ini dapat kita lihat dari hadist dibawah ini.

“Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa penyakit dan lain-lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Mengacu pada ayat tersebut, apakah dapat diterima bahwa LGBT adalah sebuah penyakit? Silakan kawan-kawan jawab sendiri :)

Selanjutnya, berangkat dari hadist itu pula, ada baiknya dua hadist di bawah ini dapat kita kaji sebagai bahan renungan tambahan.

Dari Aisyah, dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, (yang artinya) : ”Tidaklah seorang mukmin itu tertimpa penyakit encok sedikit pun, melainkan Allah menghapus darinya satu kesalahan, ditetapkan baginya satu kebaikan dan ditinggalkan baginya satu derajat.”
(Ditakrij oleh Ath-Thabrani dan Al-Hakim. Isnadnya Jayyid)

Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘Anhu, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, (yang artinya) : ”Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tidak ada satu amal pun yang bisa menghantarkannya ke sana. Maka Allah senantiasa mencobanya dengan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai kepada kedudukan itu.”
(Ditakhrij oleh Abu Ya’la dan Al-Hakim. Menurut Syaikh Al-Albany: hadits hasan)

Terminologi mukmin dengan muslim memiliki arti yang berbeda. Mukmin adalah orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan sebenar-sebenarnya takwa. Artinya, seseorang yang senantiasa menjalankan segala perintahNya dan menjauhi semua larangan-Nya. Sedangkan muslim adalah orang yang beragama Islam atau orang yang telah berpasrah diri. Kemudian kalimat “mencobanya dengan sesuatu yang tidak disukainya”, dapatlah diartikan sebagai sebuah ujian. Allah menguji manusia terpilihNya kepada sesuatu yang pada dasarnya tidak disukainya, dalam kasus LGBT yakni bertentangan dengan fitrahnya sendiri yang diciptakan untuk “berpasang-pasangan”.

Jadi, dari perspektif agama Islam, apabila seorang muslim diberi ujian dengan orientasi seksual yang berbeda, maka patutlah ia kembali kepada agamanya, kepada fitrahnya, karena yang demikian itu akan mengantarkannya kepada ketenangan dan sesuatu yang disebut dalam hadist dengan “kedudukan di sisi Allah”.


Kacamata Psikologis-Konstruksi Sosial

Berdasarkan kajian psikologis, LGBT juga bukan sebuah penyakit, melainkan disorder terhadap orientasi seksual. Singkatnya, keputusan untuk menjadi LGBT adalah sebuah kondisi yang terbentuk dari kosntruksi sosial dan konstruksi atas dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, yang terbentuk bukan hanya dari satu substansi, tetapi banyak substansi. Keluarga, pergaulan, bacaan, pendidikan, dan segala yang ada di sekitar seseorang, adalah substansi yang bersama-sama mengkonstruksi “siapa orang tersebut”. Oleh karena itu, kacamata psikolog memandang bahwa perilaku LGBT ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan disorder yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.

Keputusan? Ya! Keputusan. Kita meyakini bahwasannya setiap manusia condong kepada yang haq. Jadi, kita pun meyakini bahwa didalam hati setiap LGBT atau yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis, menyadari bahwasannya dirinya bertentangan dengan fitrahnya. Maka, apabila seseorang memutuskan untuk meneruskan disorientasinya, maka dapat kita katakan itu adalah keputusannya, pilihan sadarnya. Bukankah manusia memiliki kehendak bebas? Dan, permasalahannya adalah, manakah jalan yang ia pilih?

Selanjutnya, karena LGBT tidak dapat disebut penyakit, maka terminologi “penderita” yang dipakai untuk menyebut LGBT pun tidak tepat. Selain karena hal yang telah dijelaskan diatas, mayoritas dari mereka tidak merasa menderita penyakit. Hal ini pula lah yang menyebabkan psikolog tidak dapat membantu mereka, sebab kerja psikolog adalah membantu mereka yang menyadari atau mengeluhkan bahwasannya mereka merasakan gangguan psikis atau disorder. Jadi, kalau mereka sendiri tidak merasa sakit dan menderita, lalu apa yang mau disembuhkan? Maka, sebaiknya kita menghilangkan penyebutan penderita didepan kata LGBT.


Lalu, patutkah semua homoseksual disebut LGBT?

Teman-teman, ternyata tidak semua orang yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis dapat langsung kita sebut LGBT. Kenapa? Karena LGBT adalah sebuah identitas atau bentuk pendeklarasian diri. Misalnya, seseorang yang secara lugas menyebutkan bahwa ia adalah seorang LGBT atau mengekspresikan disorientasinya kepada masyarakat, barulah kita menganggap dia seorang LGBT.

Jadi, jika seseorang hanya sebatas memiliki kecenderungan untuk memiliki orientasi seksual sesama jenis, tetapi tidak melakukan aktivitas seksual dan tidak mengekspresikan disorientasi seksualnya dalam bentuk ucapan dan tindakan, maka tidaklah patut kita menyebutnya LGBT. Landasan pandangan ini dapat kita lihat dari ajaran Islam yang melarang kita untuk berprasangka buruk atau mendiskreditkan seseorang tanpa memberikannya hak jawab.

Lebih dari itu, perlu pula diketahui alasan mengapa Islam mengharamkan homoseksual. Pertama, homoseksual merusak generasi atau keturunan. Kedua, larangan untuk berhubungan seksual di “tempat yang bukan pada tempatnya” atau lubang belakang (hal ini pun haram dilakukan pada pasangan suami isteri yang sah). Jadi, bila sebatas kecenderungan yang tidak diteruskan kepada perilaku atau perbuatan, maka tidak seharusnya kita mengatakan kawan-kawan kita LGBT.


Bagaimana sikap kita terhadap LGBT?

Harus kita perhatikan bahwa yang patut kita lawan adalah perilakunya, bukan orangnya secara personal. Jadi, bertemanlah kita, dan berlemah lembutlah kita kepada kawan-kawan kita yang mengalami disorientasi. Mereka tidak patut mendapatkan perlakuan diskriminasi, tapi justru sebaliknya, perlu mendapatkan bimbingan untuk mengarahkan mereka dalam mengambil keputusan yang tepat, yakni kembali kepada fitrahnya.

 

Disusun oleh:
1. Nurul Amalia Salabi
2. Tombak Al Ayyubi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun