Berdasarkan kajian psikologis, LGBT juga bukan sebuah penyakit, melainkan disorder terhadap orientasi seksual. Singkatnya, keputusan untuk menjadi LGBT adalah sebuah kondisi yang terbentuk dari kosntruksi sosial dan konstruksi atas dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, yang terbentuk bukan hanya dari satu substansi, tetapi banyak substansi. Keluarga, pergaulan, bacaan, pendidikan, dan segala yang ada di sekitar seseorang, adalah substansi yang bersama-sama mengkonstruksi “siapa orang tersebut”. Oleh karena itu, kacamata psikolog memandang bahwa perilaku LGBT ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan disorder yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.
Keputusan? Ya! Keputusan. Kita meyakini bahwasannya setiap manusia condong kepada yang haq. Jadi, kita pun meyakini bahwa didalam hati setiap LGBT atau yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis, menyadari bahwasannya dirinya bertentangan dengan fitrahnya. Maka, apabila seseorang memutuskan untuk meneruskan disorientasinya, maka dapat kita katakan itu adalah keputusannya, pilihan sadarnya. Bukankah manusia memiliki kehendak bebas? Dan, permasalahannya adalah, manakah jalan yang ia pilih?
Selanjutnya, karena LGBT tidak dapat disebut penyakit, maka terminologi “penderita” yang dipakai untuk menyebut LGBT pun tidak tepat. Selain karena hal yang telah dijelaskan diatas, mayoritas dari mereka tidak merasa menderita penyakit. Hal ini pula lah yang menyebabkan psikolog tidak dapat membantu mereka, sebab kerja psikolog adalah membantu mereka yang menyadari atau mengeluhkan bahwasannya mereka merasakan gangguan psikis atau disorder. Jadi, kalau mereka sendiri tidak merasa sakit dan menderita, lalu apa yang mau disembuhkan? Maka, sebaiknya kita menghilangkan penyebutan penderita didepan kata LGBT.
Lalu, patutkah semua homoseksual disebut LGBT?
Teman-teman, ternyata tidak semua orang yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis dapat langsung kita sebut LGBT. Kenapa? Karena LGBT adalah sebuah identitas atau bentuk pendeklarasian diri. Misalnya, seseorang yang secara lugas menyebutkan bahwa ia adalah seorang LGBT atau mengekspresikan disorientasinya kepada masyarakat, barulah kita menganggap dia seorang LGBT.
Jadi, jika seseorang hanya sebatas memiliki kecenderungan untuk memiliki orientasi seksual sesama jenis, tetapi tidak melakukan aktivitas seksual dan tidak mengekspresikan disorientasi seksualnya dalam bentuk ucapan dan tindakan, maka tidaklah patut kita menyebutnya LGBT. Landasan pandangan ini dapat kita lihat dari ajaran Islam yang melarang kita untuk berprasangka buruk atau mendiskreditkan seseorang tanpa memberikannya hak jawab.
Lebih dari itu, perlu pula diketahui alasan mengapa Islam mengharamkan homoseksual. Pertama, homoseksual merusak generasi atau keturunan. Kedua, larangan untuk berhubungan seksual di “tempat yang bukan pada tempatnya” atau lubang belakang (hal ini pun haram dilakukan pada pasangan suami isteri yang sah). Jadi, bila sebatas kecenderungan yang tidak diteruskan kepada perilaku atau perbuatan, maka tidak seharusnya kita mengatakan kawan-kawan kita LGBT.
Bagaimana sikap kita terhadap LGBT?
Harus kita perhatikan bahwa yang patut kita lawan adalah perilakunya, bukan orangnya secara personal. Jadi, bertemanlah kita, dan berlemah lembutlah kita kepada kawan-kawan kita yang mengalami disorientasi. Mereka tidak patut mendapatkan perlakuan diskriminasi, tapi justru sebaliknya, perlu mendapatkan bimbingan untuk mengarahkan mereka dalam mengambil keputusan yang tepat, yakni kembali kepada fitrahnya.
Disusun oleh:
1. Nurul Amalia Salabi
2. Tombak Al Ayyubi