Hari ini akhirnya saya nonton American Sniper. Udah lama banget nunggu film ini diputar di bioskop, dan ketika teman saya manas-manasin dengan bilang film ini bagus banget, ooh I must find it out by myself as soon as possible!
Di artikel ini saya tidak akan menceritakan alur atau kelebihan dan kekurangan film. Anda bisa membacanya di banyak blog, bahkan New York Times juga telah menuliskan reviewnya. Saya hanya akan menuliskan pertanyaan dan kekhawatiran yang timbul saat saya menonton film ini, sebab masalah yang sewarna dengan gerakan perlawanan kelompok Islam seperti yang digambarkan dalam film American Sniper terjadi bukan hanya di Irak, Afghanistan atau Palestina, tetapi juga di Indonesia. Teroris! Ya, mereka menyebutnya teroris. Lalu, bagaimanakah kita bisa mendapatkan gambaran lengkap seutuhnya tanpa distorsi mengenai apa yang terjadi dalam dunia Islam?
Awal-awal film diputar, saya bilang dalam hati, “Apa-apaan nih, sudut pandangnya Amerika abis. It must be another American heroes movies, and so be it.” Yes! Saya gak bisa memungkiri rasa kesal semacam itu. Latar belakang saya yang dibesarkan dalam keluarga yang agamis dengan sodoran bacaan konflik Timur Tengah dari sudut pandang umat Islam, gak bisa dihilangkan begitu saja. Latar belakang memang selalu terlibat dalam pandangan seseorang. So do I. Itulah yang membuat saya terus berpikir dan merasakan emosi yang lain, yang entahlah, apakah sudah dipikirkan oleh sang sutradara mengenai “bagaimana tanggapan kelompok Islam bila melihat film saya?”.
Kemudian di pertengahan film, saat digambarkan bahwa kelompok Mujahiddin pimpinan Osama bin Ladin was so ruthless, saya tiba-tiba keinget bacaan mengenai fundamentalisme agama karya Karen Armstrong dan John. L. Esposito. Intinya, sejarah menunjukkan bahwa agama telah berperan dalam terjadinya berbagai peristiwa dalam sejarah di berbagai kawasan maupun dunia. Sebut saja Perang Salib, Revolusi Perancis, sejarah wilayah Massachusets (USA), berdirinya Israel Raya, Revolusi Iran, pembunuhan banyak pemimpin dunia (contohnya PM Indira Gandhi dan Benazir Bhutto) dan lain sebagainya. Agama menjadi ideologi yang lebih tajam yang mendalangi berbagai peristiwa revolusioner.
Saya sedang meneliti kasus Palestina-Israel dalam majalah Sabili tahun 1988-1993, sebuah majalah yang, insya Allah saya tidak khilaf, merupakan majalah yang merepresentasikan salah satu kelompok Islam fundamental. Barangkali pembaca tidak asing dengan majalah itu. Di majalah ini digambarkan mengenai perjuangan Mujahidin di Afghanistan, Irak, dan Palestina. Nah! Sabili mendukung perjuangan Mujahidin yang sedang berjuang mendirikan negara Islam di wilayah masing-masing. Kelompok Mujahiddin merupakan kelompok yang tawadhu dan berprinsip akan nilai-nilai Islam. Lalu, apakah Mujahidin yang disebutkan dalam Sabili sama dengan Mujahidin yang ada di film American Sniper? Jika ya, WAW!! Hati yang seperti apa yang mampu melakukan tindakan sadis kepada sesama muslim, terutama anak kecil yang tidak bersalah? Lalu, taukah kelompok Islam dibalik majalah Sabili, mengenai perjuangan seperti apa yang sebenarnya dilakukan oleh Mujahiddin? Tetapi jika hal yang ditampilkan di film mengenai peristiwa tersebut salah, WAW! Sutradara film ini telah merusak citra Mujahidin, baik di Irak ataupun di Negara muslim lain yang masih bergejolak, dengan sangat sukses. Saya meyakini bahwa film membawa pandangan dari orang yang membuatnya. Film-film Amerika sendiri memiliki kepentingan politik tertentu. Contohnya, jika ingin memulai perang atau menyerang negara lain, biasanya Amerika membuat film-film yang bertujuan menarik dukungan rakyatnya untuk melegalkan serangan tersebut.
Sebagai penutup, apakah kata fundamental pantas untuk selalu disandangkan dengan kata radikal? Saya berpendapat tidak. Fundamental artinya meruntun pada sumber yang mendasar, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Barangkali ayat-ayat Tuhan mengenai jihad menjadi landasan kelompok radikal yang membawa nama Islam, but I just wanna say this, “What they do with the name of Islam, just showing what are they, not what is Islam.” Kesulitan memahami hal ini barangkali karena kita tidak bisa berbicara kepada Tuhan untuk bertanya, “Bagaimana Tuhan? Apakah jalan ini salah atau benar?”. Kepada “Islam rahmatan lil ‘alamin” itulah hendaknya kita, umat Islam harus membentuk dunia Islam yang damai dan penuh toleransi. Tidak dengan cara teror, tidak dengan cara kekerasan. Akan tetapi, jika memang perjuangan di Palestina dan beberapa kawasan lain membutuhkan perjuangan yang revolusioner dan sekeras Revolusi Iran, itulah yang harus direnungkan dengan bijak dan teliti. Sama seperti ketika kita berjuang atas kemerdekaan bangsa ini, bukankah perjuangan diplomasi tidak dapat berjuang sendirian tanpa kekuatan bersenjata? Dan bukankah negara-negara Timur Tengah yang membantu perjuangan diplomasi kita saat The Founding Fathers tengah berjuang menggalang pengakuan kedaulatan dari negara lain demi tetap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih bayi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H