"Mil, aku mau pamit. Mulai minggu depan, aku udah nggak di UGM lagi. Aku keterima di kedinasan tahun ini." Pesan singkat dari Helza muncul di layar ponselku, dan untuk beberapa detik, aku terdiam. Sejumlah emosi bercampur dalam benakku. Perasaan bangga dan senang atas pencapaiannya begitu besar, namun di saat yang sama, ada perasaan hampa yang sulit kutepis. Helza, sahabat terbaikku sejak masa SMA, kini akan melangkah ke fase baru dalam hidupnya, fase yang akan menjauhkan kami secara fisik. Ia akan meninggalkan Jogja, meninggalkan kampus, dan meninggalkan momen-momen sederhana yang biasa kami habiskan bersama. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya aku mengetik balasan dengan pelan, "Kapan kita bisa ketemu sebelum kamu berangkat?"
Jawaban dari Helza tak butuh waktu lama. Kami pun sepakat untuk bertemu di Museum Benteng Vredeburg, sebuah tempat yang sejak lama ingin kami kunjungi bersama. Namun, seperti halnya banyak rencana yang tertunda karena sibuknya kuliah dan tugas, kunjungan itu selalu terabaikan. Kali ini, dengan perpisahan yang kian mendekat, rasanya tempat ini menjadi pilihan yang sempurna. Di balik tembok-tembok tebal yang menyimpan sejarah perjuangan bangsa, kami bisa meninggalkan sepotong kenangan terakhir sebelum benar-benar dipisahkan oleh jarak. Ada sesuatu yang simbolis tentang pertemuan kami di sana. Seolah-olah di tempat itu, kami akan belajar melepaskan dengan penuh keikhlasan.
Keesokan harinya, tepat pukul empat sore, aku menjemputnya di kost. Bersama-sama, kami berangkat menuju Museum Benteng Vredeburg, menembus keramaian jalanan Jogja yang sibuk di sore hari. Namun, suasana di antara kami terasa sunyi. Ada keheningan yang menyelimuti langkah-langkah kami, mungkin karena kami sama-sama sadar bahwa ini adalah salah satu momen terakhir sebelum jarak benar-benar memisahkan. Setibanya di sana, matahari sudah mulai condong ke barat, memancarkan sinar keemasan yang lembut. Benteng Vredeburg berdiri kokoh di hadapan kami, seolah siap menyambut kami untuk menyusuri jejak sejarah di dalamnya.
Helza melangkah lebih dulu, wajahnya yang tenang memancarkan antusiasme yang tak tersembunyi. "Akhirnya kita bisa ke sini juga, ya," ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk, membiarkan keheningan menjadi bagian dari momen itu. Kami memasuki museum, dan udara dingin dari ruangan ber-AC langsung menyambut kami, menciptakan suasana yang menenangkan. Di dalam museum, setiap diorama yang kami lewati seolah bercerita, bukan hanya tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tetapi juga tentang perjalanan panjang persahabatan kami. Setiap potongan cerita yang tergambar di sana, mengingatkanku pada masa-masa penuh tantangan dan dukungan yang kami lalui bersama selama bertahun-tahun.
Helza selalu tertarik pada sejarah, dan seperti biasa, ia melangkah lebih dulu, wajahnya serius memperhatikan setiap detail diorama yang menggambarkan perjuangan para pahlawan. Kami berhenti sejenak di depan diorama yang menggambarkan Pertempuran 10 November di Surabaya. "Kita tuh, kayak pejuang juga, ya," ucapnya tiba-tiba, memecah keheningan yang ada. Aku tersenyum kecil, mengangguk setuju. "Iya, tapi kita berjuang bukan melawan penjajah. Kita berjuang menggapai cita-cita masing-masing," jawabku. Di setiap perjuangan yang digambarkan dalam museum ini, aku merasa ada cerminan dari perjuangan kami berdua, bagaimana kami selalu saling mendukung, menguatkan, dan berusaha meraih mimpi-mimpi kami meskipun jalan hidup mulai membentangkan jarak di antara kami.
Ketika malam mulai tiba, kami berjalan keluar dari museum menuju halaman depan, di mana pertunjukan air mancur yang berpadu dengan cahaya akan segera dimulai. Lampu-lampu mulai menyala, menciptakan suasana yang magis di sekeliling bangunan benteng tua itu. Cahaya lampu yang memantul di air membuatku sejenak melupakan perpisahan yang sudah begitu dekat. Tapi saat melihat Helza di sampingku, kenyataan itu kembali terasa. Aku tahu, sebentar lagi kami harus benar-benar berpisah, dan mungkin waktu akan berjalan lebih lambat tanpa kehadirannya di sampingku. Di tengah-tengah keindahan air mancur yang menari, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Jadi, kapan kita bisa ketemu lagi?"
Helza menghela napas pelan, matanya masih fokus pada air mancur di depannya. "Aku belum tahu pasti," jawabnya, suaranya terdengar lembut namun pasti. "Mungkin tahun depan, kalau ada kesempatan. Tapi, di sana peraturannya ketat. Nggak boleh sering-sering pakai HP, jadi mungkin kita nggak bisa sering komunikasi." Mendengar jawabannya membuat hatiku sedikit tenggelam, meskipun aku sudah mempersiapkan diri untuk ini. Sulit membayangkan hari-hari tanpa pesan singkat darinya, tanpa sapaan yang biasa mengisi hariku. Rasanya, seperti air mancur di depanku, indah tetapi hanya sementara, dan segera akan berhenti.
Aku mencoba menenangkan perasaanku, tersenyum meski hati terasa berat. "Yah, kalau gitu, kita ketemu lagi kapan pun nanti. Pasti ada waktunya" kataku, mencoba menyemangati diriku sendiri. Helza mengangguk pelan, senyumnya tetap hangat seperti biasa. "Pasti" jawabnya dengan yakin. Malam semakin dingin, namun ada kehangatan yang tetap terasa di antara kami, kehangatan dari persahabatan yang sudah teruji oleh waktu dan jarak. Di bawah langit malam Jogja, aku merasa damai. Meski pertunjukan air mancur akhirnya berhenti, kenangan hari ini akan terus berputar dalam ingatanku, mengingatkanku bahwa persahabatan sejati tak akan mudah goyah oleh perpisahan. Kami telah menuliskan satu bab terakhir dalam cerita kami, dan meskipun waktu akan menguji kekuatannya, aku yakin bab ini tak akan mudah dilupakan.
Saat langkah kami meninggalkan Benteng Vredeburg, aku menyadari bahwa meskipun perpisahan ini terasa berat, kami telah menciptakan kenangan yang akan selalu hidup dalam hati. Helza mungkin akan jauh, namun persahabatan kami tak terbatasi oleh jarak. Di balik segala ketidakpastian, ada keyakinan bahwa suatu saat, entah kapan, kami akan bertemu lagi dengan cerita baru dan pencapaian yang lebih besar. Dan hingga saat itu tiba, setiap jejak kenangan di tempat ini akan selalu mengingatkanku bahwa persahabatan sejati akan selalu menemukan jalannya untuk bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H