Mohon tunggu...
amaliano
amaliano Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

main bola, dengerin musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Indonesia Menyikapi Perkembangan Demokrasi di Dalam Negeri kepada Negara Lain

7 Desember 2023   22:05 Diperbarui: 7 Desember 2023   22:12 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi merupakan bentuk dari suatu sistem pemerintahan di mana suatu kekuasaan politik dipegang oleh rakyat atau warga negara secara langsung atau melalui perwakilan yang mereka pilih. Istilah "demokrasi" berasal dari bahasa Yunani kuno, di mana "demos" berarti "rakyat" dan "kratos" berarti "kekuasaan" atau "pemerintahan".
Demokrasi menurut beberapa ahli:

1. Plato
Plato, seorang filsuf Yunani kuno, memiliki pandangan skeptis terhadap demokrasi. Menurutnya, demokrasi cenderung mengarah pada anarki dan penuh dengan kerusuhan politik. Dia percaya bahwa demokrasi bisa diambil alih oleh pemimpin populis yang tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab.

2. Aristoteles
Selain Plato Aristoteles juga pernah berargumen tentang demokrasi. Aristoteles, seorang filsuf Yunani lainnya, menganggap demokrasi sebagai salah satu bentuk yang baik dari pemerintahan, tetapi dia juga mengakui risikonya. Baginya, demokrasi yang stabil harus didasarkan pada hukum dan dilengkapi dengan mekanisme pengimbang kekuasaan yang mencegah penyalahgunaan oleh mayoritas.

3. John Locke
John Locke, seorang filsuf politik Inggris, memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang diinginkan. Baginya, pemerintah yang sah diperoleh melalui kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat, di mana rakyat memberikan otoritas kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi mereka.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan kepulauan yang besar dan multikultur, menerapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Perkembangan demokrasi yang terjadi di Indonesia tercapai sangat memuaskan, dengan melihat fakta-fakta seperti contohnya pemilu yang sudah diselenggarakan dengan tiga (3) kali dengan cukup tertib dan lancar. 

Namun ditengah fakta-fakta tersebut, beberapa pihak mengatakan bahwa demokrasi Indonesia pada saat era reformasi justru mengalami kemujudan. Demokrasi hanya memanjakan para kaum elit politik sehingga rakyat tidak merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan, terutama dalam hal kesejahteraan dan kemakmurannya.

Berdasarkan pengamatan dan dengan proses yang telah terjadi, tercatat beberapa hal terkait penyelenggara pemilukada seperti karakter sekarang ini, yaitu:
pertama, pemilukada menjadi arena rivalitas kekuasaan secara tidak sehat.

Kedua: pemilukada mendorong berjangkitnya moral pragmatism, baik calon kepala daerah sendiri, penyelenggara pemilu, maupun Masyarakat.

Ketiga; pemilukada mengekalkan oligarki kekuasaan sekaligus melahirkan orang-orang yang kecanduan akan kekuasaan , ketiga: pemilukada mengekalkan oligarki kekuasaan sekaligus melahirkan orang-orang yang kecanduan akan kekuasaan.

Keempat, pemilukada menimbulkan persoalan anggaran. Selain itu, pemilukada juga dapat memicu politisasi birokrasi, serta rentan terhadap konflik antar elit politik yang melibatkan massa. Dan yang terakhir, penyeragaman tata cara pemilukada seperti sekarang mengakibatkan karakter masyarakat adat yang masih eksis.

Adanya masalah demokrasi dan pemilu di Indonesia lebih disebabkan melencengnya implementasi demokrasi dari sistem yang mendasarinya, bukan disebabkan pengaturan normatifnya, untuk menangani masalah ketidakseimbangan antara demokrasi dengan hukum tersebut, hanya dapat diselesaikan dengan Upaya hukum dijadikan panglima yang harus didahului dengan penataan demokrasi. Yang mana agar bersih dari politik transaksional dan saling sandera, disinilah partai politik dituntut kesadaran untuk melakukan perekrutan dengan penuh tanggung jawab dan menjunjung tinggi integritas moral.

Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Dicabutnya larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid menandakan bahwa prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini. 

Namun di sisi lain, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat Demokrasi Pancasila.

Lalu terdapat korelasi yang jelas antara hukum, yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi, demokrasi tampa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tampa demokrasi akan kehilangan makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun