Reid percaya bahwa banyak dari insiden ini berasal dari fakta bahwa Korea Selatan adalah negara dengan ras yang homogen. "Mereka tidak memiliki banyak pengalaman langsung (terhadap budaya luar), jadi mereka mengambil apa yang mereka lihat tanpa memahami implikasinya," jelas Reid. "Ini adalah transisi yang sulit bagi orang yang belum pernah mengalami (secara langsung) budaya lain."
Well, saya cukup setuju dengan pernyataan Reid. Meskipun begitu, Alex Reid percaya bahwa industri K-pop akan terus belajar seiring pertumbuhannya secara internasional dan menyadari bahwa mereka tidak dapat menyepelekan begitu saja budaya audiensnya yang makin beragam.Â
"Seiring K-pop menjadi jauh lebih populer," katanya, perusahaan hiburan akan "menyadari bahwa konsumen, penggemar mereka, memiliki budaya yang berbeda dari sekadar budaya Asia Timur, dan mereka akan menyadari bahwa mereka harus menarik minat pasar itu (dengan menghargai budaya pasar)."
Sisi baiknya, sepertinya perkataan Alex Reid mulai terbukti. Meskipun tidak banyak, sudah ada perusahaan-perusahaan yang peduli terhadap pasar global mereka. Di mulai dari SM Entertainment yang paham bahwa penting bagi artisnya untuk berpakaian sesuai dengan norma dari negara pasar tujuan mereka.
Upaya lain juga dilakukan oleh grup BTS dengan treatment mereka terhadap fans global. Mulai dari menjaga jarak dengan fans muslim (khususnya perempuan), sampai berdonasi dalam gerakan Black Lives Matter.
Di luar dari jelasnya perasaan gerah saya terhadap cultural appropriation, saya harus mengakui bahwa belum ada batasan yang jelas terhadap persoalan ini. Mana yang termasuk ke dalam cultural appropriation dan mana yang tidak? Karena selama ini, kasus cultural appropriation hanya berlandaskan penilaian subjektif individual saja.
Meskipun begitu, dilansir oleh The Atlantic, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan untuk menghindari praktik cultural appropriation:
- Jangan pernah mencemooh ras lain dengan praktik blackface
- Penting untuk menghormati seni dan ide dari budaya lain serta mengakui asal-usulnya
- Jangan memakai artefak suci hanya untuk sebagai aksesori semata
- Ingatlah bahwa budaya itu sangat beragam
- Jangan menganggap cultural appropriation sebagai keanekaragaman
- Mencoba untuk menghargai budaya lain dan bukan menggunakaannya sebagai estetika belaka
- Perlakukan pertukaran budaya layaknya sebuah kolaborasi profesional, berikan pengakuan terhadap budaya tersebut atau bahkan mempertimbangkan untuk memberikan royalti
Begitulah kicauan saya soal cultural appropriation di industri hiburan Korea yang nampaknya masih akan terus menjadi perdebatan panjang. Saya ingin menegaskan bahwa tidak ada maksud untuk mencap Korea sebagai negara yang A B C D, toh dengan membuat artikel ini saya sendiri jadi paham bahwa mereka masih belajar untuk menghargai budaya lain atas dampak dari negara mereka yang semakin menjadi perhatian dunia.
Tapi bagaimana pendapat Kompasianer soal cultural appropriation di Korea atau cultural appropriation secara general? Mari sama-sama belajar di kolom komentar :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H