Jika Rhenald Kasali mengkritisi gebrakan Ahok di video rapat PU dengan kolomnya yang berjudul ”Jangan Pecahkan Batu, Ahok”–- mengisyaratkan manajemen perubahan yang tidak tepat–- maka kolom saya kali ini juga akan mengkritisi Ahok, tetapi dari sisi strategi komunikasi brand-nya.
Saya ragu Ahok mengerti strategi komunikasi modern yang diberi tajuk Komunikasi 360 derajat–di mana sebuah brand berkomunikasi secara efektif pada setiap touchpointnya melalui multiple channel. Walaupun terkesan sudah menggunakan multiple channel di multiple touchpoint, tetapi analisa saya semua itu dikerjakan secara sporadis saja. Tidak dengan perencanaan strategi komunikasi yang tajam.
Saya jadi meragukan hasilnya akan optimal, karena prosesnya saja sudah keliru. Awalnya saya terkesan dengan video Youtube Gebrakan Ahok. Untuk sebuah acara rapat bisa memperoleh lebih dari 1 juta pemirsa,itu prestasi luar biasa. Youtube adalah media sosial yang lebih banyak didominasi oleh musik dan film,lebih ke entertainment. Sayangnya, hari berganti hari, minggu berganti minggu, tidak ada lanjutan Cerita Gebrakan Ahok yang sudah disuguhkan lewat Youtube tersebut.
Dalam strategi komunikasi yang baik,jika telah memberikan content dalam sebuah media, dan memperoleh sambutan yang tinggi, harus ada kelanjutannya. Audience yang menonton video tersebut menunggu. Apakah jadi dipotong 25% anggarannya? Apakah jadi diganti semua pejabat eselon atas tersebut? Apakah kemudian jadi diambil proyeknya oleh Ahok dan dikerjakan? Apakah Ahok menerima ancaman-ancaman setelah itu? Seribu satu pertanyaan belum ada jawabannya.
Audience media sosial sangat memperhatikan content. Jadi, yang disebut eksis di media ini tidak sekadar ada saja. ”Keberadaan” sebuah brand erat hubungannya dengan kontinuitas content yang kita sajikan. Tidak bisa kita hanya melemparkan content yang menarik satu kali saja,dan setelah itu tidak memberikan content berikutnya. Audience akan merasa ditinggalkan.
Ahok kurang memahami karakteristik audience dalam media sosial. Sayang sekali. Tanpa ada perencanaan yang baik, mau dibawa ke mana komunikasi Ahok kepada para stakeholders- nya terutama warga Jakarta (yang modern, internet users)? Ini memberikan peluang kesalahpahaman terhadap Ahok sebagai sebuah personal brand. Tanpa kelanjutan cerita–ini memberikan celah bagi yang berpendapat bahwa yang dilakukan Ahok dengan gebrakan rapat PU di Youtube itu memang murni hanya untuk meningkatkan citranya.
Karena, ternyata tidak semua pihak menyambut cara Ahok itu secara positif. Tuduhan pencitraan semu ini yang menjadi fokus pihak yang merasa bahwa ini hanya sekadar menaikkan pamor. Tuduhan itu harus dipatahkan. Bahwa, video Ahok murni merupakan komunikasi kepada masyarakat Jakarta sebagai salah satu bukti nyata pemberantasan korupsi.
Tidak Terintegrasi
Kritik saya lainnya adalah komunikasinya tidak terintegrasi. Jika ada pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh Ahok melalui siaran Youtube nya, berarti harus diikuti oleh integrasi di channel lainnya. Bahkan, sejak saat video rapat PU beredar,akun pribadi Ahok, @basuki_btp, tidak digunakan untuk membahas tujuan Ahok menyiarkan rapat di media dan ikut berdiskusi dengan audience media sosial secara langsung.
Akun Ahok ini seharusnya sangat sentral dalam menjembatani pertanyaan-pertanyaan publik seputar isu yang telah dilemparkannya. Akun twitter Pemprov DKI memang ikut menyiarkan berita rapat tersebut, tetapi hanya pada hari-hari itu saja. Sampai hari ini tidak ada lagi bahasan tentang kelanjutan sinetron Gebrakan Ahok.
Tidak Seimbang
Isu lainnya seputar Ahok adalah ketidakseimbangan antara kecanggihannya di media baru dengan kompetensi para stafnya.Jika the No 1dan No 2di Institusi sudah punya akun twitter, tidak bisa tidak, semua key person-nya harus punya akun media sosial ini juga.Tampaknya belum ada gerakan ”mentwitter- kan” pejabat tinggi Pemprov DKI. Situasi ini terbalik dengan keadaan institusi atau korporasi lainnya.
Di acara 360 Degree Communication Summit belum lama ini saya bertanya kepada para audience corporate communication perusahaanperusahaan ternama. Pertanyaannya simpel saja, apakah the number one person di perusahaan sudah punya account twitter? Mereka hanya tertawa dan menggelengkan kepala.
Dalam komunikasi 360 derajat, konsentrasi kita adalah pada semua touchpoint yang memengaruhi brand experience. Salah satu touchpoint yang sudah digarap Ahok adalah media sosial termasuk twitter dan Youtube, tetapi belum digarap secara optimal. Masih banyak touchpoint lainnya yang harus digali insightsnya terlebih dahulu sebelum diputuskan strategi komunikasi yang tepat.
Asosiasi Positif
Kritik lainnya, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Rhenald Kasali, yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Ahok mencerminkan semangat antikorupsi.Tetapi, yang menjadi masalah adalah kurang tepat cara penyampaiannya saja. Dari sisi personal brand Ahok,kekhawatiran saya hanya satu.Jangan sampai brand Ahok yang sudah mulai cemerlang didorong turun oleh predikat setengah preman.
Membangun personal brand agar menjadi kuat harus dengan tambahan elemen asosiasi positif. Efektivitas komunikasi di media baru adalah INTERAKSI. Komunikasi dua arah. Berbicara, mendengarkan dan berdiskusi, sharing, belajar bersama dan tumbuh bersama. Sebenarnya masyarakat Jakarta di segmen internet users ini sudah sangat siap untuk itu. Mereka butuh content dan context yang tepat agar bisa engage dengan Pemprov DKI dan leader-nya. Jangan menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Ahok.
Content kelanjutan episode berantas korupsi di PU sudah ditunggu-tunggu. Seperti sebuah sinetron, jangan terlambat dalam menyajikan episode sambungannya.Penonton bisa hilang seleranya dan malas menonton lagi.
- Tulisan saya ini juga dimuat di Harian Sindo yang terbit hari Rabu, 28 Nopember 2012.
-=-=-=-
AMALIA E MAULANA PhD
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H