Tragedi Asmat menandakan betapa besarnya bencana kemiskinan melanda negeri ini. Kabar tak mengenakkan itu dikirim dari Papua, provinsi paling timur Indonesia. Sungguh memprihatinkan melihat sekitar 72 saudara kita tewas karena campak dan gizi buruk. Sedangkan penderita gizi buruk mencapai 223 dan campak mencapai 652 anak. Peristiwa ini memaksa kita untuk melihat dengan cermat bahwa anggaran yang selama ini digalakkan tidak serta-merta membuat negeri ini bebas dari kemiskinan dan kelaparan. Pertanyaannya adalah kemana perginya dana yang ditujukkan untuk masyarakat Asmat? Apakah pengalokasian anggaran sudah tepat sasaran? Nyatanya, dari peristiwa ini kita bisa menilai sendiri bahwa masyarakat Asmat tidak menikmati anggaran yang diberikan.
Anggaran yang dikeluarkan untuk Provinsi Papua tidak main-main yang hampir mencapai Rp 44, 68 triliun. Kenyataannya, dana yang benar-benar digunakan untuk masalah kesehatan hanya mencapai 10,6 %. Hal ini tidak sesuai dengan yang tercantum di Undang-Undang Otonomi Khusus yang menyatakan dana harus dialokasikan sedikitnya 15% untuk masalah kesehatan dan pemulihan gizi. Tragedi Asmat menjadi bukti bahwa alokasi anggaran negara selama ini tidak terawasi. Fenomena kemiskinan di Indonesia ini didorong oleh fakta dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Di tahun 2020, angka kemiskinan di perkotaan maupun perdesaan di Indonesia naik 5,09%, sebesar 26,42 juta penduduk, jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar 25,14 juta penduduk. Sedangkan data di tahun 2021 sebanyak 26,50 juta orang per bulan September. Ribuan bahkan jutaan penduduk bertahun-tahun hidup di garis kemiskinan yang membentang di setiap provinsi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani aksi global bersama 193 negara lain di dunia. Aksi global yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ini berfungsi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan, memelihara kualitas lingkungan, menjaga kehidupan sosial masyarakat, serta mewujudkan tata kelola yang dapat mengelola kualitas hidup dari setiap generasi. SDGs sendiri merupakan wujud penyempurnaan dari aksi sebelumnya, yaitu Millenium Development Goals (MDGs)/Tujuan Pembangunan Milenium. SDGs dirancang secara lebih komprehensif dan iklusif dengan membawa lebih banyak negara maju maupun berkembang, fokus pada hak asasi manusia, serta menambah sumber pendanaan. Pilar-pilar seperti sosial, lingkungan, ekonomi, hukum dan juga tata kelola berdiri tegak untuk melandasi pembangunan dalam SDGs.
Komitmen Indonesia serta dunia dalam SDGs menempatkan 17 tujuan dan 169 sasaran capaian yang telah ditetapkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) diharapkan akan dicapai di tahun 2030 mendatang. Waktu kita untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah banyak. Kemiskinan masih menjadi momok mengerikan yang bertahun-tahun setia menjadi permasalahan bangsa ini.
Persoalan kemiskinan dan kesehatan berada pada poin 3 teratas dalam tujuan SDGs, hal ini menandakan Indonesia harus sesegera mungkin membenahi ketidak keruan keadaan yang dari dulu masih menjadi topik senter di negeri ini. Dengan adanya agenda global yang sudah dimulai dari tahun 2016 lalu tentu saja menjadi prioritas utama dalam pembangunan di Indonesia. Indonesia bersama negara lainnya di dunia memegang tugas dan perannya dengan porsi yang berbeda karena masalah pada setiap negara juga berbeda demi memenuhi tujuan bersama untuk semua penduduk dan planet bumi. Hal ini menyebabkan kita harus berjuang lebih keras untuk menyejajarkan Indonesia dengan negara maju. Mengingat untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah, maka SDGs melibatkan seluruh aspek pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pelaku usaha, filantropi, pakar, akademisi, hingga organisasi kemasyarakatan dan media. Tentu saja, peran mahasiswa sangat dibutuhkan untuk mencapai SDGs ini.
Meskipun mahasiswa bukanlah faktor terbesar dalam perwujudan SDGs, tetapi mahasiswa memegang peran penting untuk mempercepat Indonesia dalam mencapai tujuan global tersebut. Mahasiswa merupakan individu terpelajar dan memiliki jiwa intelektual yang tinggi, hal ini memungkinkan mereka untuk berpikir lebih dalam dan membantu memaksimalkan upaya-upaya dalam mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara maju lainnya. Â Ini adalah waktu yang tepat bagi mahasiswa dalam memberikan kontribusi untuk memerangi masalah kemiskinan di Indonesia. Title "Agent of Change" yang melekat pada mahasiswa harus dibuktikan dengan aksi yang nyata. Peran mahasiswa untuk mengurangi kemiskinan, yaitu mengendalikan penggunaan sumber daya alam dan berpartisipasi sebagai pengontrol sosial.
Peran mahasiswa dalam mengurangi angka kemiskinan di Indonesia dapat dimulai dari menumbuhkan kesadaran dari memahami tujuan dari agenda global tersebut. Mahasiswa yang terbiasa melakukan riset atau gebrakan yang kreatif seperti membuat industri rumahan, memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dari desa dan pembangunan usaha agar tidak tertinggal dengan masyarakat kota. Mahasiswa juga dapat melakukan pemetaan di suatu kota dan mencari data serta solusi untuk mengentaskan kemiskinan.
Peran mahasiswa juga dibutuhkan pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sebagai imbas dari pandemi COVID-19, UMKM ikut terdampak. Pandemi COVID-19 membawa dampak buruk di berbagai sektor, salah satunya sektor ekonomi. Mahasiswa memegang peran dalam memfokuskan kembali pembangunan UMKM yang sempat lumpuh. Mahasiswa dapat mentransfer ilmu dan menciptakan inovasi melalui teknologi kekinian yang tentunya bermanfaat bagi pemulihan UMKM. Di era digitalisasi seperti sekarang, mahasiswa dituntut menguasai teknologi. Apalagi dengan adanya pandemi, semua dialihkan ke sistem daring atau online, termasuk sistem pemasaran dan jual beli. Hal ini memungkinkan mahasiswa menjadi digital marketer. Selain itu, mahasiswa dapat mengembangkan aplikasi digital yang sedang banyak digunakan perintis UMKM agar lebih mudah menawarkan produk mereka.
"Tidak ada satupun yang tertinggal" menjadi prinsip yang dipegang SDGs. Prinsip ini dapat dijadikan motivasi untuk bangsa Indonesia agar tidak menjadi bangsa yang tertinggal. Kita, bangsa Indonesia dari mulai pemerintah sampai mahasiswa harus bahu-membahu demi tujuan bersama. Mahasiswa sebagai insan terdidik sudah seharusnya membantu negeri sendiri dari ketertinggalan. Mahasiswa sebagai Iron Stock yang menjadi penerus bangsa ini haruslah berkualitas. Peran mahasiswa sangat penting untuk masa depan bangsa ini dan demi mewujudkan komitmen dalam tujuan global SDGs.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H