Belakangan ini digemparkan dengan maraknya pemberitaan tentang bunuh diri, bunuh diri ini hampir meliputi di semua kalangan dari yang masi belia hingga lansia.
contoh beberapa dari kasus bunuh diri belakangan ini banyak di alami oleh mahasiswa, pada awal tahun 24 Januari 2023 ada mahasiswa ditemukan bunuh diri dengan meloncat dari lantai 4, kemudian mahasiswa di Jambi ditemukan sudah tidak bernyawa di kamar kosnya pada tanggal 2 Maret 2023, dan kasus-kasus yang lainnya, hingga di bulan Oktober tahun ini ditemukan lagi kasus dugaan bunuh diri seorang mahasiswa yang ditemukan tewas di Mal Paragon Semarang, Jawa Tengah, pada 10 Oktober 2023. kemudian tidak berhenti sampai disana, esok harinya kembali ditemukan mahasiswa tidak bernyawa di kamar kosnya ,seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang. Berdasarkan Databoks, hingga 18 Oktober 2023, jumlah kasus bunuh diri di Indonesia telah mencapai 971 kasus yang mana telah melampaui kasus bunuh diri di sepanjang tahun 2022 yaitu 900 kasus. Kasus-kasus ini menunjukkan tekanan besar yang dialami oleh para mahasiswa, seperti depresi dan kurangnya komunikasi antara korban dan orang-orang di sekitarnya diduga hal itulah yang menjadi faktor terbesar mengakibatkan mereka melakukan bunuh diri.
Kasus bunuh diri ini jika di tinjau dari perspektif filsafat manusia, menyatakan bahwasanya setiap individu tidak ada yang tidak memiliki masalah. Tidak ada individu yang memiliki gaya atau cara mengatasi masalah yang sama persis dengan individu lain. Setiap individu pasti akan berusaha mengatasi setiap masalah dalam hidupnya dengan cara masing-masing.
Pastinya, setiap individu menginginkan jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya secara baik. Bahkan individu mengharapkan solusinya lah yang terbaik menurutnya. Namun dalam kenyataannya individu tidak selalu melakukan demikian. Bagi individu yang tergolong bertipe optimistik, ia akan selalu memandang persoalan hidup itu tidak selalu bersumber dari dirinya sendiri, karena setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, dan ia akan berusaha mencari jalan keluar tersebut. Bagi seseorang yang optimis, setiap masalah pasti ada batasnya, sehingga mereka tidak perlu berputus asa, selalu bersikap optimis akan dapat keluar dari masalahnya tersebut.
Lain halnya dengan individu bertipe pesimistik, menganggap persoalan hidup senantiasa bersumber dari dirinya.Setiap persoalan dianggap bersifat permanen dan akan selalu menjadi masalah dalam hidupnya, sehingga sangat sulit untuk diatasi. Pada individu yang bertipe demikian sikap putus asa sangat mudah melekat pada dirinya,dan rasa ketidakberdayaan dapat tumbuh dengan subur, Inilah kemungkinan besar tindakan bunuh diri sering terjadi bagi individu yang bertipe demikian.
Bagi individu yang terpaksa mengambil keputusan dalam pandangan umum merupakan solusi yang tidak baik, misalnya sesorang melakukan bunuh diri karena mereka tidak mampu menyelesaikan persoalan hidupnya sebagaimana orang lain,tindakan bunuh diri bukanlah solusi yang baik, di sinilah filsafat mempunyai peran penting untuk melihat alasan setiap individu dalam pengambilan keputusannya.
Menurut Durkheim, ada empat penyebab individu melakukan bunuh diri dalam masyarakat, yaitu pertama, bunuh diri karena hal-hal yang menyangkut pribadi (vain suicide). Seorang individu melakukan tindakan bunuh diri karena tidak punya kecukupan keterikatan dengan kelompok sosial. Ini berakibat pada kurangnya pegangan hidup atas nilai-nilai dalam masyarakatnya. Individu ini sangat kecil memiliki integrasi sosial.
Kedua, bunuh diri karena memperjuangkan orang lain (benevolent suicide). Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Individu memiliki integrasi sosial yang terlalu kuat, sehingga ia akan kehilangan pandangan atas keberadaan individualitasnya. Pada kondisi tertentu individu akan merasa terdorong untuk berkorban demi kepentingan kelompoknya secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan dirinya sebagai individu. Sebagai contoh tipe ini adalah bom bunuh diri yang dilakukan demi menghancurkan musuh bangsanya.
ketiga, bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan (anomic suicide). Bunuh diri tipe ini dilakukan manakala terjadi kekosongan tatanan nilai dan aturan moralitas dalam masyarakat, misalnya kemerosotan kemampuan lembaga tradisional dalam meregulasikan dan memenuhi berbagai kebutuhan sosial, kemerosotan regulasi ethical yang berjalan dalam waktu yang lama, dan terjadinya perubahan mendadak pada tingkat mikrososial sehingga tidak memilki kemampuan beradaptasi (misalnya tiba-tiba ditinggal suami karena meninggal dunia), dan persoalan domestik seperti pernikahan yang dijadikan lembaga untuk mengatur keseimbangan sarana dan kebutuhan seksual yang dapat menghambat bahkan mengekang kebebasan individu. , bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan (anomic suicide). Bunuh diri tipe ini dilakukan manakala terjadi kekosongan tatanan nilai dan aturan moralitas dalam masyarakat, misalnya kemerosotan kemampuan lembaga tradisional dalam meregulasikan dan memenuhi berbagai kebutuhan sosial, kemerosotan regulasi ethical yang berjalan dalam waktu yang lama, dan terjadinya perubahan mendadak pada tingkat mikrososial sehingga tidak memilki kemampuan beradaptasi (misalnya tiba-tiba ditinggal suami karena meninggal dunia), dan persoalan domestik seperti pernikahan yang dijadikan lembaga untuk mengatur keseimbangan sarana dan kebutuhan seksual yang dapat menghambat bahkan mengekang kebebasan individu.
Keempat, bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide). Bunuh diri dilakukan karena individu tidak mendapatkan perhatian maupun dukungan dari masyarakat, sehingga baginya tindakan bunuh diri merupakan solusi terakhir ketika individu merasa sudah tidak mempunyai alternatif yang lain yang memungkinkan dirinya selamat dan terbebas dari persoalan hidup yang dihadapinya. Tindakan ini dilakukan karena adanya pengaturan secara berlebihan terhadap kehidupan individu, sehingga individu merasa tidak berharga karena dikebiri ruang geraknya. Tipe ini banyak di temukan pada individu karena tekanan sosial atau kelompok yang sangat serius.
Filsafat manusia memahami orang lain (individu lain) sebagai accomplice. Ini merupakan salah satu bentuk kesadaran diri bahwa tidak ada individu yang mutlak dapat mandiri, setiap individu pasti membutuhkan seseorang untuk menyelesaikan permasalahannya, baik itu membantu dalam mendengarkan, membantu untuk memahami, maupun membantu secara fisik. karena persoalan hidup yang dihadapi tidak semata-mata merupakan persoalan pribadi saja.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H