pendidikan di setiap jenjang Pendidikan (Husain and Kaharu 2020). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Masa ini disebut golden age atau masa keemasan karena pada rentan umur inilah perkembaangan kecerdasan manusia mencapai 50% semasa hidupnya, penelitian di bidang neuoro-sains yang dilakukan oleh Osbon, White, dan Bloom menyatakan bahwa perkembangan intelektual/ kecerdasan anak pada usia 0-4 tahun mencapai 50%, pada usia 0-8 tahun. Oleh sebab itu pelayanan PAUD merupakan salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan tumbuh kembang anak usia dini yang efektif melalui beberapa bentuk Pendidikan baik formal misalnya Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) maupun non formal seperti Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), Satuan PAUD Sejenis (SPS), dan Pendidikan Keluarga.
       Menghadapi era global yang diperkirakan ketat dengan persaingan di segala bidang kehidupan, khususnya dunia kerja yang semakin kompetitif, tidak ada alternatif lain selain berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui upaya peningkatan mutu      Berkembangnya Lembaga PAUD di Indonesia semakin pesat, berdasarkan data statistic dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2013, terdapat 71.356 lembaga PAUD, kemudian meningkat menjadi 74.982 pada tahun 2014, 79.368 pada tahun 2015, dan 85.499 pada tahun 2016. Pada tahun 2021, jumlah Lembaga PAUD mencapai 445.733, dengan 6.500 lembaga PAUD milik pemerintah dan sisanya milik swasta (Wijayanti, Vilmy Fitri Nur, and Mellyani Sarah Awwalina 2022). Mengingat sangat pentingnya peran PAUD dalam memberikan layanan untuk anak usia dini, maka diharapkan kualitas PAUD mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak usia dini dan sesuai dengan prinsip pembelajaran dalam PAUD itu sendiri salah satunya bermain seraya belajar atau belajar seraya bermain. Di Indonesia banyak sekali PAUD yang mengutakaman calistung, tak heran karena output dari PAUD untuk masuk ke jenjang Pendidikan SD (Sekolah Dasar) anak harus bisa calistung, karena tuntutan di kurikulum jenjang SD inilah yang mengharuskan anak bisa calistung. Padahal bukan itu tujuan utama PAUD, tujuan utama PAUD adalah school readiness mempersiapkan anak-anak untuk memasuki Pendidikan formal (Sekolah Dasar) dengan kemampuan dan kesiapan yang optimal, tujuan ini untuk mengoptimalkan enam aspek perkembangan pada anak. Namun hal ini masih sangat minim dimengerti oleh sebagian guru ataupun orang tua.
      Dalam konteks Pendidikan abad 21, PAUD harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan baru. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan fondasi penting bagi perkembangan anak di abad 21. Menurut UNESCO (2019), "Pendidikan anak usia dini adalah kunci untuk mencapai tujuan Pembangunan berkelanjutan". Dengan perubahan zaman yang cepat, PAUD dituntut bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan baru. Di abad 21 ini Pendidikan harus inovatif, kreatif, dan berbasis teknologi. PAUD harus mempersiapkan anak-anak untuk menjadi generasi yang siap mengahadapi perubahan. Dari teori di atas saya jadi teringat oleh kata-kata dari bu Fitriyyah, "Mempersiapkan anak untuk abad 21 bukan hanya soal skill atau teknologi. Tetapi masalah kreativitas, problem solving, inovasi, komunikasi, kolaborasi, kepedulian, eksplorasi, inisiatif, kepemimpinan, dan produktivitas karena pada dasarnya anak-anak adalah seorang insinyur, seorang pemecah dan seorang penemu," sambutan Dr. Izzul Fitriyah, S.H, M.Pd. atau yang lebih akrab disapa bunda Fitriyah atau bunda Fifit pada salah satu acara workshop guru RA se Kabupaten Mojokerto, Kamis (17/02/2022).
      Adapun sambutan yang disampaikan oleh salah satu tokoh PAUD terebut dikenal dengan istilah keterampilan 4C. Terdapat banyak pendapat tentang apa saja keterampilan abad ke-21, salah satu pendapat adalah keterampilan 4C (Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication) (Anas and Mujahidin 2022). Pembelajaran berbasis pendekatan bermain dan Fenomena dari Negara Finlandia atau yang dikenal dalam istilah ECEC Early Childood Education and Care ini mampu memberikan solusi pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karateristik anak usia dini dan prinsip pembelajaran anak usia dini itu sendiri.
      Finlandia dikenal karena sistem Pendidikan awal anak yang berkualitas tinggi, terutama dalam Early Childood Education and Care (ECEC). Beberapa aspek unik dari ECEC di Finlandia ini diantaranya aksebilitas universal ialah pendidikan awal anak gratis untuk semua warga negara, kualitas tinggi ialah guru-guru terlatih dan berpengalaman, focus pada pengembangan holistic yakni mengembangkan kemampuan kognitif, sosial emosional, dan fisik, terakhir bermain sebagai proses pembelajaran ialah menggunakan bermain untuk mengembangkan kemampuan anak. Konsep ECEC (Early Childood Education and Care) di Finlandia menekankan pendekatan berbasis bermain dan fenomena, yang dikenal sebagai "Pendidikan Berbasis Bermain" (Play-Based Learning) dan "Pendidikan Fenomena" (Phenomenon-Based Learning).
      Pendidikan Berbasis Bermain (Play-Based Learning) atau bisa disingkat dengan PBB ini mempunyai ciri khas yakni berfokus bahwa bermain sebagai proses pembelajaran utama yang dipercaya mampu mengembangkan kemampuan aspek sosial emosional, fisik motoric, kognitif, Bahasa, serta meningkatkan kreativitas dan imajinasi pada anak dan yang paling penting mengutamakan kebebasan dan otonomi anak. Pendidikan berbasis bermain ini mampu menjadi solusi pembelajaran PAUD yang bersifat holistic dan integrative karena selain mampu mengoptimalkan enam aspek perkembangan pada anak juga peran tidak dilupakan disini peran guru sebagai fasilitator dan pendamping. Guru diharapkan mampu menjadi sumber belajar, memfasilitasi media yang dibutuhkan anak serta mendampingi setiap proses pembelajaran anak, karena anak usia dini harus benar-benar di bawah pengawasan guru saat bermain.
      Sementara Pendidikan Fenomena (Phenomenon-Based Learning) adalah pendekatan yang berfokus pada pengalaman dan eksplorasi. Pendekatan ini mengintegrasikan berbagai subjek (sains, matematika, dan Bahasa). Pendekatan ini mendorong anak untuk berpikir kritis melalui pengalaman langsung yang dialami oleh anak sehingga anak mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Di sisi lain pendekatan ini juga dapat membantu anak untuk mengenali jati dirinya karena melalui kegiatan bereksplorasi langsung anak mampu meningkatkan kesadaran akan lingkungan dan Masyarakat sehingga pengalaman langsung dan juga praktik sangat diutamakan dan menjadi kata kunci pada pendekatan berbasis fenomena ini.
       Pendekatan berbasis bermain dan fenomena ini selaras dengan teori bermain klasikal dari Jean Piaget (1951) dan Lev Vygotsky (1978) yang menekankan pentingnya permainan dalam perkembangan anak. Teori ini menyatakan bahwa permainan memungkinkan anak memahami dunia sekitar, mengembangkan kemampuan kognitif dan sosial, serta meningkatkan motivasi belajar. Menurut saya aktivitas bermain pada anak sama halnya dengan aktivitas bekerja pada orang dewasa, namun bermain yang dimaksud disini adalah bermain yang bermakna (meaningful). Orang dewasa atau pendidik berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar, membantu anak memahami konsep-konsep baru dan mengembangkan kemampuan mereka. Karena lingkungan sangat berperan besar bagi pertumbuhan dan pembelajaran anak. Anak usia dini belajar melalui lingkungan sekitar karena anak usia dini mempunyai sifat imitasi yang dimaksud adalah anak akan menjadi peniru yang ulung melalui lingkungan sekitar, maka dari itu peran guru PAUD sebagai fasilitator harus bisa mengemas kegiatan pembelajaran yang efektif, efisien, bermakna yakni memuat tujuan pembelajaran dan menyenangkan serta mengandung nilai-nilai karakter yang baik.
Indonesia dapat menerapkan prinsip-prinsip ECEC seperti di Finlandia, namun perlu disesuaikan dengan konteks budaya, sosial, dan ekonomi Indonesia. Karena pada prinsip pembelajaran Pendidikan anak usia dini sudah disebutkan salah satunya adalah pembelajaran sesuai dengan kondisi sosial dan budaya. "Kegiatan pembelajaran anak usia dini harus sesuai dengan kondisi sosial dan budaya dimana anak tersebut berada. Apa yang dipelajari anak adalah persoalan nyata sesuai dengan kondisi di mana anak dilahirkan" (Suyadi 2013). Namun ada beberapa kesamaan Pendidikan di Finlandia dan Indonesia bahwa Pendidikan awal pada anak sudah menjadi prioritas utama pemerintahan di Indonesia, karena kesadaran pentingnya PAUD terus meningkat baik secara nasional maupun internasional menurut data perkembangan PAUD di dunia.
         Namun sebelum menerapkan ECEC di Indonesia ada baiknya meneliti dan menganalisis kebutuhan Pendidikan awal anak di Indonesia dan menyesuaikan konteks perkembangan kurikulum yang ada di Indonesia selain itu pemerintah terus mengadakan pelatihan guru guna untuk mengembangkan kompetensi yang dimiliki oleh guru. Pembangunan infrastruktur dan juga fasilitas Pendidikan juga tak kalah penting dalam Upaya implementasi pendekatan ini karena banyak Lembaga PAUD di Indonesia yang masih minim fasilitas khususnya di sekolah-sekolah swasta. Keterlibatan orang tua dan Masyarakat sebagai stake holder juga berperan aktif untuk mewujudkan PAUD menuju sekolah ramah anak dan evaluasi serta pemantauan pada saat proses pembelajaran juga menjadi kunci utama dalam Upaya implementasi pendekatan ini agar berjalan dengan sistematis dan sesuai dengan yang diharapkan. Kisah Finlandia tidak boleh diidealkan atau ditiru jika bertujuan untuk menginspirasi para pendidik secara global yang sedang dalam perjalanan merevolusi pendidikan dan meningkatkan sekolah mereka. Tepatnya, saya tidak percaya bahwa hanya dengan memodelkan praktik-praktik Finlandia dalam konteks sosio-kultural lain akan menghasilkan hasil yang sama, terutama dalam hal transformasi sosial. Fitur utama ECEC Finlandia yang dibahas dalam artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam mengenai sistem secara keseluruhan, dan mungkin memperluas diskusi tentang cara terbaik untuk mencapai ECEC berkualitas tinggi (Ferreira 2021).
REFERENSI