"Ke-Indonesiaan-Ku". Kurangkai berbagai hal tentang Indonesia yang kutahu dan kurasakan. Aku  terdorong  untuk memaknai  berbagai pengalaman langsung  bersentuhan dengan saudara-saudara di berbagai provinsi di Indonesia.  Aku narasikan sebagai bukti kecil aku bangga akan negeri ini.
Diksi "Ke-Indonesiaan-Ku" sederhana tetapi maknanya sangat mendalam. Sejak lahir aku memang tinggal di Indonesia. Kedua orangtuaku,  kakek-nenekku,  bahkan sejak generasi pertama marga Sitanggang  hingga generasiku yang ke-17 tinggal di daratan Pulau Sumatera.  Pengalaman-pengalaman berkesan berikut menjadi bukti kecil  tentang berharganya Indonesia. Â
Aku mulai dari lingkungan keluargaku.
 Wejangan Oppungku  untuk  Ke-Indonesiaan-ku
Saat musim  panen tiba, anak-anak seusiaku sering mencari tambahan uang saku dengan membantu tetangga mengupas kacang, jagung, atau hasil panen lain. Seringkalai tetangga yang sedang panen sangat membutuhkan tenaga  anak-anak untuk mengumpulkan dan membersihkan  panenan. Anak-anak mendapatkan imbalan berupa uang. Transaksi saling menguntungkan. Ini adalah salah satu kegiataan anak-anak di kampungku saat itu.
Aku teringat sepenggal  wejangan Oppung Doli dari ibuku  saat aku dan teman-teman kecilku mengupas jagung di rumahnya.  Oppung Doli adalah sapaanku kepada kakek dalam bahasa Batak.
 "Pendidikan itu sangat penting. Sekolah  membuka tabir kegelapan. Setelah tabir itu terbuka cahaya tampak terang. Cahaya itu memancarkan kebenaran. Sekolah yang benar ya, supaya tahu banyak  dan bisa menolong" kata kakek dengan antusias. Bahasa Oppung  saat itu susah kutangkap tetapi maksudnya masuk dalam  pikiranku.
"Milikilah pengetahuan yang luas. Jangan mudah diadudomba demi kepentingan golongan atau penjajah" tegas Oppung dengan bersemangat. Sekarang aku paham maksudnya.
Cerita heroiknya memang sering kudengar.  Oppungku pernah berperang melawan  penjajah. Dalam gerilya, ia harus menyelamatkan diri  dan juga membela diri.
Aku  dan temanku sangat  senang mendengar cerita Oppung.  Ia selalu  bersemangat menceritakan pengalamannya. Kadang raut wajahnya  sedih  saat menceritakan  pengalaman yang menyakitkan karena menyaksikan temannya terbunuh  dalam pertempuran.
Cara Oppung bercerita sangat melekat dalam pikiranku. Tanpa kami sadari, saat  Oppung  selesai bercerita  malam telah larut.  Senyum lebarnya merekah sesaat kacang selesai kami kupas. Senyum itu makin menunjukkan ketampanannya.  Setiap ia selesai bercerita rasanya aku mendapat semangat baru. Sekarang makin aku tahu arti perjuangan. Â
 Belajar Bersama Anak Mengenal Pahlawan
Setelah aku lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), aku melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Aku telah memiliki  pengetahuan dasar keguruan. Itulah modalku mengajar. Tiga tahun setelah lulus SPG, tahun 1987 aku  mengajar di SD Budi Mulia Bogor selama tiga tahun.  Selama  itu kami belajar banyak tentang hidup.
Aku mendampingi anak-anak untuk mengenali  Indonesia dalam berbagai kegiatan. Aku berproses bersama anak-anak  agar  memiliki pengetahuan tentang Indonesia. Aku bersama guru lain mendampingi anak-anak  mengenal  perjuangan pahlawan di museum. Kami ajak siswa kelas tiga belajar tentang perjuangan pahlawan di Museum Perjuangan Bogor.  Waktu lain, kami ajak  siswa  kelas lima mengunjungi  Museum Sejarah Nasional di Monas, Museum Dirgantara,  dan Museum Lubang Buaya di Jakarta. Anak-anak senang dan semangat belajar. Mereka belajar nyata cara menghargai perjuangan pahlawan. Â
"Pak, kapan-kapan  kita pergi lagi ke museum lagi, ya" ungkap  beberapa anak di saat istirahat pada hari berikutnya.
Ungkapan spontan itu cukup bagiku sebagai bukti bahwa mereka  antusias  belajar tentang  negeri ini. Pengalaman itu akan menjadi bagian pengalaman kebangsaan yang akan menggugah mereka mengenal  Indonesia  yang heterogen ini.
Tatapan Mata itu  Dalam Artinya
"Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri" ungkap Bung Hatta
Pernyataan di atas benar menjadi kenyataan. Krisis ekonomi 1998  faktor penting penyebab tergulingya rezim orde baru.  Saat itu,  tahun kedua aku mengajar  di salah satu sekolah swasta  di  Ciledug, Tangerang.  Puncak kerusuhan  15 Mei aku sedang mengajar. Jam 10 pagi anak-anak dan guru harus pulang.Â
Kondisi keamanan di Jakarta dan sekitarnya tidak menentu. Aku harus jalan kaki sejauh 12 kilometer dari Pondok Lestari Ciledug ke Blok M. Aku bersyukur perjalanan berikutnya dari Blok M -- Kampung Rambutan -- Cibinong  masih ada kendaraan umum.Â
Aku melihat sendiri ruko di sepanjang jalan Ciledug Raya  hingga Cipulir menjadi sasaran  massa. Terjadi  penjarahan. Tua, muda, dan anak-anak  mengangkut barang-barang.Â
Pada bagian lain, sekelompok pemuda menghancurkan rolling door, mengeluarkan motor, dan membakarnya  di tengah jalan. Aku hanya bisa ketakutan menyaksikan tindakan mereka.Â
Saat melewati Pasar  Cipulir aku  melihat  polisi sedang berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Aku mendengar jelas desingan peluru. Menyakitkan. Sejarah kelam bangsa dan negara ini harus kualami.
Saat itu, aku merasa sedih bercampur marah tetapi tidak mampu berbuat. Informasi  tentang  kekerasan  menghiasi media cetak. Pemberitaan di televisi sangat gencar. Media elektronika mempertontonkan kekacauan dan mengaduk-aduk perasaan. Kudengar infromasi, pembunuhan dan pemerkosaan terjadi. Pilar berbangsa dan bernegara mengalami goncangan.Â
Penguasa  terlalu lama berkuasa. Kekuasaan mereka  menyuburkan praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Syukurlah, para pejuang reformasi yang dimotori mahasiswa berhasil mengawal pembaruan menuju Indonesia baru.  Â
Aku teringat kembali wejangan Oppung saat aku kanak-kanak. Benar, penjajahan  di negeri ini sangat nyata  hanya wujud  berbeda. Kekayaan negeri ini  dikuasai oleh penguasa rakus dan kroninya.
Dalam minggu pertama setelah kejadian, secara fisik aku dan anak-anak tampak belajar. Namun, saat aku mengajar kulihat ada wajah anak  dengan tatapan kosong.  Wajah itu  memberi banyak makna bagiku. Terus terang, aku hanya bisa memotivasi  anak-anak untuk terus belajar. Aku meyakinkan diriku bahwa yang kuberikan  berarti dalam hidup mereka.
"Belajarlah, Nak. Kamulah salah satu penerus bangsa ini. Kelak, kamu akan bisa memberikan yang terbaik untuk bangsamu. Teruslah belajar" Â pikirku dalam hening. Kutatap wajah mereka satu persatu dan doa dalam kalbu.
Rasa Kagumku untuk Indonesiaku
Sejak tahun 1999 hingga akhir tahun 2020 aku menjadi tenaga pendidik di Kampus Santa Ursula BSD Tangerang Selatan. Pada akhir tahun pelajaran, Suster Francesco Marianti OSU,  koordinator kampus mengajak kami  wisata. Kami menyaksikan  keindahan alam dan budaya Indonesia. Aku bersyukur pengalaman  itu menambah pengetahuanku dan kecintaanku tentang negeri ini. Berikut ini sekelumit pengalaman mengunjungi beberapa wilayah di Indonesia.
Aku tahu Pangandaran di Jawa Barat memiliki Green Canyon. Setelah aku merasakan sejuknya udara dan segar air sungai, aku bisa menikmati makanan lezat khas Pangandaran. Aku suka kelezatan makanan lautnya.
Pulau Dewata negeri para dewa. Aku sangat menikmati setiap sudut pulau ini karena menawan dan juga inspiratif. Aku menyaksikan kesungguhan pemerintah dan warga menjadikan setiap aspek kehidupan bermakna. Mereka  bersungguh-sungguh mewujudkan Pulau Bali sebagai pusat wisata namun  tetap mempertahankan nilai-nilai luhur budayanya. Banyak wisatawan manca negara sangat mengenal  Bali tetapi kurang tahu Indonesia.
Lombok menyajikan wisata budaya yang unik dan alamnya yang indah. Aku sangat menikmati  setiap sisi pantai alami dan bersih. Â
Manado menyuguhkan  wisata rohani dan alam yang luar biasa. Kutahu cita rasa kulinernya menggetarkan lidah, menantang dan juga sensasional. Aku ingin lagi menikmati indahnya alam laut Bunaken.
Nusa Tenggara  Timur bagian barat,  menyuguhkan wisata alam yang exotic. Panorama alam asri memanjakan mata. Puncak bukit yang menanjak di Pulau Padar membuatku seperti di atas awan. Saat di atas puncak, kubebas menikmati keindahan perairan dan juga lekukan lembah bukit. Aku tahu persis komodo dan habitatnya. Aku bersyukur bisa menyaksikan langsung hewan purba dan sangat langka.Â
           Â
Puluhan ribu pulau dan ribuan suku adalah  mutiara  bumi pertiwi. Â
Sejuta rasa tidak akan cukup mengungkapkannya tuk mensyukuri.
Kuberdoa, semoga seluruh anak bangsa selalu berjuang dan mencintai.
Dan generasi penurus bangsa ini  terus memajukan Indonesia  dan abadi
     Â
Ditulis oleh
J. P. Sitanggang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H