Mohon tunggu...
Nature

Ecotourism Surga Bawah Laut Raja Ampat

10 November 2018   13:24 Diperbarui: 10 November 2018   13:30 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem laut yang dianggap paling beragam dan kompleks. Kondisi terumbu karang banyak memberikan pengaruh pada wilayah pesisir. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi ekologis dan ekonomi antara lain: sebagai pelindung terhadap terjadinya erosi, sebagai tempat penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berlindung, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota karang, serta sebagai supporting system bagi masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan pelaku wisata bahari. Terumbu karang juga memiliki berbagai macam biota karang yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan tiram mutiara.

Tidak dapat dipungkiri ekosistem terumbu karang mengalami penurunan besar di seluruh dunia karena tekanan alami dan antropogenik. Beberapa hal yang menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan atau penurunan kualitas antara lain: overfishing, laju sedimentasi, pembuangan limbah dan sampah serta kegiatan wisata. Pariwisata dinilai memberikan dampak yang rendah tetapi menguntungkan bagi negara untuk mendapatkan nilai dari sumber daya laut mereka. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, pariwisata pesisir dapat menjadi tidak berkelanjutan dengan akumulasi dampak pada lingkungan dari konstruksi, transportasi, polusi dan kegiatan rekreasi. Kegiatan wisata yang berhubungan langsung dengan terumbu karang dan ekosistemnya adalah wisata selam dan snorkeling.

Foto : liveaboard.com
Foto : liveaboard.com
Wisata Bahari Raja Ampat

Raja Ampat? Pasti semua orang sudah sering mendengar bagaimana keindahan wisata alam di Raja Ampat. Indonesia bisa berbangga hati memiliki perairan Raja Ampat yang mana termasuk dalam Kawasan segitiga coral dunia dengan lebih dari 500 jenis terumbu karang. Tingginya tingkat keanekaragaman serta keindahan bawah laut yang memikat menjadikan Raja Ampat menjadi salah satu destinasi wisata bawah laut yang poluler.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2016 tercatat sebanyak 70,44 % wisatawan yang datang berasal dari Asia, 21,38% dari Eropa, serta Amerika dan Australia sebanyak 3,14%. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat juga kian meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik pada periode Tahun 2011 hingga 2015 tercatat peningkatan jumlah wisatawan yang cukup pesat yakni pada tahun 2015 terdapat 14.190 wisatawan dengan lebih dari 80% merupakan wisatawan mancanegara. Hal ini membuktikan bahwa peminat wisata bawah air di Raja Ampat sangat tinggi.

Dampak 

Tingginya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif tentunya dapat dilihat dari segi ekonomi. Dampak negatif yang ditimbulkan salah satunya adalah terjadinya pengerusakan terhadap terumbu karang akibat lemahnya pengawasan yang terdapat di sekitar daerah wisata, meningkatnya polusi, sedimentasi dari erosi koral serta penumbuhan yang berlebih.

Sumber : Giyanto et all,2017
Sumber : Giyanto et all,2017
Berdasarkan data statistik Status Terumbu Karang Indonesia pada Tahun 2017 pada gambar 1 terlihat bahwa sebagian besar terumbu karang yang tersebar di wilayah timur khususnya Raja Ampat memiliki status tutupan karang yang cukup hingga jelek. Salah satu kasus kerusakan yang terparah adalah kandasnya kapal Caledonian Sky pada 04 Maret 2017 di perairan kampung Arborek yang menyebabkan rusaknya terumbu karang lebih dari 1.600 m2. Hal ini tentunya berdampak negatif karena dibutuhkan lebih dari 30 tahun untuk merehabilitasi terumbu karang. Ketika terumbu karang sudah rusak, kemampuan mereka untuk mendukung makhluk lain dalam membangun rumah menjadi berkurang. Hal ini tentunya akan menurunkan minat wisatawan, karena terumbu karang lah yang menjadi objek utama dalam wisata. Masihkah anda rela merusak wisata bahari kita?

Wisata selam dan snorkeling merupakan salah satu kegiatan wisata bahari yang memanfaatkan keindahan terumbu karang. Meningkatnya peminat wisata bahari (wisata selam dan snorkeling), dapat mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang. Penelitian di beberapa negara menunjukan bahwa kegiatan wisata bahari wisata selam dan snorkeling memberikan kontribusi terhadap kerusakan terumbu karang. 

Menurut Barker (2003) kontak fisik wisatawan dengan terumbu karang biasanya terjadi pada saat 10 (sepuluh) menit pertama menyelam karena 10 menit pertama wisatawan sedang beradaptasi didalam air. Kegiatan wisata bahari (wisata selam dan snorkeling) dapat mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung diakibatkan oleh aktivitas wisata (penyelaman) itu sendiri seperti penambatan jangkar kapal di karang dan perilaku wisatawan yang merusak terumbu karang. Penyebab tidak langsung disebabkan oleh pembangunan infrastruktur penunjang wisata seperti penginapan, restoran dan lain-lain.

Pengembangan Ecotourism

Pentingnya pengembangan ekonomi berbasis masyarakat lokal, keadilan konservasi, dan keterpaduan aspek ekonomi dan lingkungan. Perlindungan secara menyeluruh serta manajemen lingkungan yang baik tentunya akan mendukung potensi wisata serta meningkatkan kepedulian wisatawan akan pembangunan berkelanjutan pada ekosistem perairan di wilayah tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan adalah dengan menerapkan ecotourism pada daerah wisata tersebut. Ecotourism memfokuskan pada wisata yang berkelanjutan dengan berlandaskan konservasi dan presenvasi diantara turis (Miler, 1978). Aktivitas wisata diciptakan dengan pemahaman kultur serta budaya dengan menekankan pada kepedulian ekosistem sehingga meningkatkan minat baik bagi turis, warga local maupun pemerintah terhadap upaya konservasi alami yang dilakukan

Menteri Dalam Negeri pada tahun 2009 juga menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah yang berisi tentang ekowisata, prinsip-prinsip pengembangan ekowisata di daerah maupun pengaturan lainnya terkait pengembangan ekowisata di daerah. Dalam peraturan ini juga dinyatakan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata sebagai indikator pengembangan kawasan wisata dengan pendekatan ecotourism.

Prinsip pengembangan ekowisata di daerah di Indonesia, adalah sebagai berikut: 1) kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata; 2) konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata; 3) ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan; 4) edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; 5) memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; 6) partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan 7) menampung kearifan lokal

 Menurut World Conservation Union's World Commission on Protected Areas (2003), sebagai penggerak utama dalam pencapaian tujuan konservasi beberapa upaya yang akan dilakukan antara lain peningkatan dukungan baik dari turis, pemerintah lokal setempat maupun warga disekitar daerah kawasan, pemeliharaan dan peningkatan kesadaran akan banyaknya nilai penting dari Kawasan lindung termasuk didalamnya nilai ekologi, budaya, spiritual estetika, rekreasi serta nilai-nilai ekonomi sehingga mengintegrasikan kegiatan konservasi sebagai upaya perlindungan biodiversitas, integritas ekosistem serta warisan budaya.

oleh : Amala Kusumaputri, Daniel Putra, Isna Fadillah

Sumber

Barker NHL, Callum M. Roberts. 2003. Scuba Diver Behavior and Management of Diving Impact on Coral Reefs. Elselvier.

Clark AM, D. Gulko. 1999. Hawai's State of The Reefs Report 1998 Honolulu, Hawai, Departement of Land and Natural Resources.

Connell, J. H. 1978. Diversity in tropical rain forests and coral reefs. Science, 199, 1302-1310

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

de-Miguel-Molina, B., de-Miguel-Molina, M., Rumiche-Sosa, M.E., 2014. Luxury sustainable tourism in small island developing states surrounded by coral reefs. Ocean Coast. Manag. 98, 86--94.

Dixon JA, Fallon Scura, L van't Hof T. 1993. Meeting Ecological and Economic Goal. Marine Park in Carribean.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun