Mohon tunggu...
Amakusa Shiro
Amakusa Shiro Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

A masterless Samurai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Baju

3 Juli 2017   12:49 Diperbarui: 3 Juli 2017   13:13 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
koleksi dan design pribadi

Puutaro memang orang yang tidak perduli pada mode. Dia terbiasa berpakaian sekenanya saja dengan mengabaikan segala dalil mode. Dia bisa seenaknya memakai celana pendek bututnya dan bersandal walaupun suhu kota Tokyo sudah berada di bawah 10 derajat celcius dimana sebagian besar orang sudah mulai menyalakan heater nya di rumah.

Jum'at malam hari ini dia merebahkan dirinya di couch yang ditaruh dekat jendela beranda apartemennya yang sempit di Komae, daerah bedtown pinggiran Tokyo. Dengan pendapatannya sekarang dia tak sanggup untuk membayar apartemen di tengah kota. Hari ini dia bisa pulang lebih cepat dari biasanya, walaupun "cepat" disini bukan berarti dia bisa beranjak dari kantor saat matahari baru saja terbenam. Jarum jam sudah menunjuk ke pukul 9 malam saat dia tiba di kamarnya. Keberuntungan pulang cepat ada padanya karena laporan akhir untuk project terbaru yang ditanganinya sebagai freelance programmer bisa diselesaikan lebih awal.

Sambil menenggak kopi pahit yang dibelinya di doutor sepulang kerja , dia mengambil koran asahi edisi pagi yang belum sempat dibacanya. Matanya berlompatan dan men-scan dengan cepat dari satu halaman ke halaman lain. Sepertinya dia tidak sedang mencari suatu topik atau berita tertentu. Memang dia agak segan membaca koran hari ini karena sebetulnya dia capek setelah seminggu bekerja dan agak sedikit mengantuk. Kopi American yang diminumnya pun kelihatannya tidak bisa mengusir rasa kantuknya. Lagipula, kebiasaannya adalah hanya membaca berita headline di halaman pertama lalu dengan cepat membaca ke halaman terakhir. Di halaman terakhir ini dia agak telaten membacanya, karena disini ada jadwal acara televisi harian. Dia berharap siapa tahu ada acara yang menghadirkan artis puja'an nya Yonekura Ryoko di lajur-lajur acara dari beberapa stasiun televisi yang tertera disitu.

Tak lama kemudian, dia mencampakkan korannya dengan cepat setelah mengetahui bahwa tidak ada acara televisi yang menarik malam ini. Ditambah berita-berita headline koran yang dia pikir memang agak monoton. Dia juga sedikit muak karena banyaknya berita yang memuat tentang pembunuhan dan pertikaian , yang sedikit bayak berhubungan dengan keyakinan yang dianut akhir-akhir ini.

Sebagai orang Jepang yang dilahirkan dan mendapat pendirikan di Jepang, selama ini dia tidak terlalu peduli dengan apa yang diyakininya.  Walaupun orang tuanya yang menganut Joudo Shinshu selalu mengajaknya dikala ada ritual-ritual keagamaan, namun dia selalu mengelak dengan 1001 macam alasan.

Walaupun dia malas ikut ritual keagamaan, namun dia percaya tuhan itu ada dan berada di mana-mana. Walaupun rasa keingintahuan dia akan penjelasan yang lebih luas dan dalam mengenai apa yang dianutnya (setidaknya apa yang dianut oleh orang tuanya) kadang muncul, namun dia juga tidak mau bersusah payah untuk mencarinya penjelasan itu sendiri, misalnya mengunjungi kuil dan melalukan tanya jawab dengan obousan. Ah, seandainya di sekolah ada pelajaran agama, pikirnya. Tentunya mau tidak mau dia bisa, paling tidak mengetahui lebih luas lagi tentang keyakinannya.

Dengan pengetahuan tentang apa yang diyakininya yang hanya secuil itu, dia juga sadar, bahwa tentunya mustahil untuk bisa memahami mengapa headline di koran-koran belakangan ini selalu ada saja yang memberitakan orang yang menyakiti orang lain karena keyakinan. Hal inilah yang menjadi teka-teki besar baginya.

Puutaro memejamkan mata dan berusaha keras untuk mengalirkan lebih banyak oksigen ke otaknya, karena dia setidaknya ingin sedikit memahami dan memecahkan teka-teki itu. Dia berpendapat bahwa keyakinan, alias hubungan manusia dengan Tuhannya, hakikatnya adalah hubungan secara vertikal. Dan hubungan vertikal itu seharusnya merupakan hubungan pribadi yang tentunya tertutup (private), antara suatu pribadi dan penguasa jagad yang diatas dan bukan untuk wacana publik. Apa yang dia komunikasikan dan yakini secara vertikal itu, merupakan haknya dan kewajiban dia kelak harus mempertanggungjawabkan sendiri mengenai hubungannya itu, apa yang selama ini dia telah perbuat. Tidak ada peluang dan tidak ada hak selain diri orang itu sendiri yang bisa masuk diantara hubungan yang vertikal dan sakral itu.

Hubungan sosial antar manusia di dalam masyarakat adalah hubungan yang horizontal. Tentunya hubungan ini bersifat terbuka, dan sangat duniawi. Karena di dunia ini, susah untuk mencapai hakikat dari hubungan horizontal ini jika masing-masing bersifat tertutup. Jika masing-masing orang tertutup, maka kadang orang akan segan membuka akses hubungan horizontal .

Hubungan horizontal dan vertikal ini arahnya berbeda (selain sifatnya juga berbeda antara yang duniawi dan sakral) serta tegak lurus satu sama lain, dan seharusnya tidak mungkin bersinggungan. 

Dia masih ingat pelajaran fisika yang digemarinya ketika duduk di bangku SMA dulu mengajarkan kaidah tangan kanan(kiri) Fleming dimana  bila ada arus listrik dan medan magnet bekerja, maka hasilnya ada pergerakan tenaga yang tegak lurus dari arah arus listrik dan medan magnet tadi. Arahnya tegak lurus, tidak bisa bersimpangan. Ini sudah sah terbukti dalam science. Sudah sah karena telah terbukti dari hasil usaha para ilmuwan yang bersusah payah melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam.

Tapi.....terkadang penjelasan science memang kurang klop kalau dipakai untuk menerangkan sesuatu yang sifatnya transendental, pikirnya.

Kopi ditangannya semakin menipis. Rasa kantuk kembali menyerangnya. Dia menyesal kenapa tadi tidak memesan kopi yang berukuran M yang isinya lebih banyak daripada ukuran S di doutor. Sekejap kemudian dia bergegas ke dapur, sekedar melihat apakah dia masih menyisakan kopi kaleng wonda yang dia beli satu lusin waktu itu karena sedang ada diskon. Untunglah tampaknya masih ada sisa beberapa kaleng. Dia mengambil beberapa, kemudian meletakkannya di meja dekat couch-nya, membuka satu dan menenggaknya untuk kembali mengusir kantuk.

Tetapi, tetap saja teka-teki horizontal-vertikal yang bisa bergesekan itu tidak bisa dipecahkannya. Andaikata conan, tokoh film animasi yang jenius pemecah teka-teki yang berbadan kecil akibat minum obat racikan musuhnya itu ada di dunia nyata, aku pasti sudah meng-email nya untuk ikut memecahkan teka-teki misteri ini, khayalnya.

Tiba-tiba saja dia serasa tersetrum dan muncul suatu imajinasi di pikirannya. Mungkin sa'at ini pompa oksigen ke otaknya mencapai maksimal.

Ah, andai saja orang bisa selalu "telanjang", pikirnya.

Ya, "telanjang". Melepas dan mengabaikan baju dan segala atribut-atributnya tanpa terpengaruh olehnya. Karena bajunya itulah mungkin orang menjadi terbebani oleh hal-hal yang sepele dan duniawi. Bajunya menyebabkan orang panik karena keberatan dan selalu sehingga lupa bahwa hubungan vertikal dengan penciptanya diatas itu seharusnya sesuatu yang tidak bakal bisa bersinggungan dan/atau terpengaruh oleh hubungan horizontal.

Pendapatnya, melepas baju bisa meringankan beban orang dan membuatnya bisa "bebas". Kebebasan itu bisa membuatnya lebih arif untuk memahami perbedaan yang terjadi dalam hubungan itu. Bahwa semuanya berdiri sendiri dan tegaklurus tanpa bercampur !

Kalau selalu pakai "baju", maka "baju" itu bisa lecek dan kumal, bahkan menimbulkan bau, sehingga membuat seseorang linglung yang berakibat dia bisa mencampuradukkan segalanya karena semua sudah tertutupi oleh bau bajunya itu.

Baju bisa menjadi basah walaupun memakai payung dikala hujan. Baju bisa juga jadi lecek dan bau ketika ketika naik Yamanote Line di saat rush hour di pagi hari. Baju juga bisa menyebabkan gerah dan kalau tak pandai mengaturnya, misalnya memakai baju berlapis yang tidak ber-resleting, kadang bisa membuat basah kuyup berkeringat walaupun suhu belum dingin tajam menusuk, yaitu di akhir musim gugur. Dia juga teringat bahwa baju bisa juga tidak pas, terlalu besar ataupun sebaliknya terlalu kecil, seperti ketika ibunya membelikan baju baru yang sedang di sale di Shimamura untuk dipakainya saat kelulusan SD. 

"Baju" hanya hiasan luar.

"Baju" bahkan bisa dipakai untuk sekedar menutup borok seseorang.

Harusnya orang-orang itu "telanjang". Ber-sosialisasi tanpa dibungkus "baju". Meninggalkan atribut-atribut duniawi yang nyatanya hanya menimbulkan sekat dan sumber gesekan.

Dia kemudian sedikit tersenyum, membayangkan bahwa sebenarnya dia juga tidak peduli baju, karena dia tak acuh  juga pada mode. Mungkin juga ini yang menyebabkan dia tidak menemui kesulitan dalam bergaul, dan jarang bergesekan dengan teman-temannya.

Malam mulai larut. Dia merasa setan kantuk yang menghantuinya sudah mulai hilang. Dia baru sadar bahwa sudah ada 3 kaleng wonda yang kosong diatas meja. 

Ah, peduli amat. Besok kan Sabtu, hari libur, pikirnya.

Kemudian dia teringat bahwa dia baru saja membeli game Street Fighter versi Nintendo Switch yang baru saja dirilis. Dia gembira karena Street Fighter adalah game yang dia amat gandrungi dimasa ronin bertahun-tahun yang lalu. 

Lima menit kemudian, dia larut dalam permainan game nya. Meskipun dia agak susah payah untuk berusaha mengingat-ingat bagaimana dia bisa mengeluarkan jurus shouryuuken untuk menjatuhkan lawannya,namun dia kelihatan menikmatinya. 

Sepuluh menit kemudian, hanya suara teriakan kegirangan atau kekesalan dari Puutaro, dan suara game Street Fighter yang terdengar dari kamar apartemen di pinggiran Tokyo itu. Puutaro sendiri sudah lupa akan tumpukan baju bekas pakai-nya yang berserakan karena dia orang yang super sibuk dan tidak ada waktu untuk sekedar merapikannya. Bahkan dia lupa mencuci, karena biasanya dia memasukkan baju-baju berserakan yang sudah dipakainya dari hari Senin itu ke dalam mesin cuci sebelum tidur tiap hari Jum'at malam. 

--

puutaro : nama tokoh fiksi cerita ini
joudo shinshu : salah satu aliran Buddha di Jepang
obousan : pendeta agama Buddha
rounin : artinya sebenarnya adalah julukan bagi samurai yang tak bertuan. namun kini dipakai untuk julukan bagi lulusan sma yang tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi dan biasanya sedang mempersiapkan untuk menempuh ujian lagi di tahun berikutnya.
shouryuuken : jurus mematikan dari character ryuu di game street fighter yang memerlukan kombinasi tekanan tombol yang agak susah untuk menggunakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun