siswa SMP/SMA Negeri atau yang setingkat di Tangerang dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat dan lain-lain kota di Jawa sudah reda karena campur tangan Kemdikbudristek maupun Pemda setempat. Kisruh yang selalu muncul pada  saat penerimaan para calon siswa melalui aturan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) yang berkaitan  dengan kewilayahan (zonasi) kediaman calon siswa dengan calon SMP/SMA Negeri bersangkutan. Para orangtua calon siswa menganggap, banyak kecurangan dikalangan kepala sekolah/guru sekolah bersangkutan yang korup dengan menerima calon siswa yang berasal dari anak pejabat/oknum anggota lembaga legislatif atau relasi, berikut juga kemudian para anak orang-orang berduit yang mampu bayar duit sogokan. Tidak salah ada poster dari kalangan orangtua yang anaknya ditolak masuk ke  sesuatu sekolah meski zonasinya tidak disalahi dengan tulisan "PPDB bukan untuk kewilayahan, tetapi untuk relasi".  Demo demi demo terjadi, sehingga terseok-seoklah pendaftaran untuk siswa baru. Bersukur kini kasusnya selesai karena campur tangan Pemerintah. Aparat Hukum diminta menindak kecurangan alias korupsi yang terjadi dikalangan sekolah maupun orangtua yang  "memalsukan" tempat tinggal anaknya dari luar zonasi itu kedalam zonasi yang dibolehkan.
Bersukur akhirnya sengkarut antar para orangtua calon   Lalu pertanyaannya, apa yang benar dan apa yang salah? Zaman modern nampaknya sudah merubah banyak pikiran, kebutuhan dan mental manusia Indonesia.
Para guru yang dulu dianggap berpenghasilan kecil-kecil, berdeikasi seabagai pendidik dan panutan, bagi yang hidup diperkotaan, etosnya banyak berubah. Contoh kecil dikota Jakarta dan Surabaya, para guru SMA Negeri yang dulu untuk mengajar disekolah, cuma berkendaraan sepeda ontel, kini rata-rata sudah bermobil. Terutama para guru dari sekolah-sekolah yang dianggap "unggulan" atau "favorit". Dari gajinya? Jelas diragukan. Tapi kalau itu dari "duit sumbangan" dari penerimaaan para siswa baru yang seharusnya tidak bisa masuk kesekolah itu, bisa dimungkinkan. Atau "sumbangan wajib" dari berbagai program ekstra-kurikuler yang dibuat oleh sekolah itu, bisa juga. Jadi punya mobil dan itu yang dipakai kesekolah tempat dia mengajar, boleh-boleh  saja. Sebab banyak muridnya kesekolah diantar dengan mobil pribadi orangtuanya, jadi mengapa gurunya tidak juga punya dan menggunakan mobilnya untuk kesekolah itu? Ada rasa malu bagi guru itu kalau tak mampu bersaing dengan yang dipunyai muridnya.
   Para orangtua siswa juga punya harapan berdasar cita-citanya agar anaknya bisa bersekolah yang "berkelas" alias "favorit". Harapannya bisa terdidik dengan baik, apalagi kalau berharap anaknya bisa kelak diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang juga para rektorat disana memperhatikan nilai-nilai calon mahasiswa dan asal sekolah mereka. Jadi tidak salah juga berebut agar anaknya bisa masuk zonasi PPDB yang dikehendaki dan diterima di SMP/MA Negeri yang dikehendaki. Selalu kepingin anak-anaknya bisa menjadi "pemuda-pemudi harapan bangsa". Sayangnya, dengan cara pa saja demi terwujudnya cita-cita atau ambisi itu.
   Namun, keluh-kesah orangtua siswa yang sudah diterima di SMP/SMA Negeri masih juga muncul. Soal pakaian seragam anak-anaknya. Kainnya harus dibeli melalui koperasi-sekolah. Tidak lebih murah dari harga-pasaran.. Perkara penjahitnya, cari dan bayar sendiri. Contoh  tidak ceria, dikota tidak besar seperti di Tulungagung (Kabupaten di Jawa Timur), harga kain seragam SMA Negeri yang dibeli lewat sekolahnya mencapai diatas Rp. 2 juta. Cukup berat ditanggung para orangtua di lokasi kota seperti itu. Untung di Jawa Timur, Pemprov dan Pemkota Surabaya kemudian  melarang koperasi-sekolah jual kain seragam. Artinya, para orangtua siswa sekolah SMP/SMA Negeri dan juga Swasta bebas beli dipasaran.
Meskipun uang-sekolah bebas bagi SMP Negeri yang ditanggung Pemkab atau Pemkota setempat dan SMA Negeri tanggungan Pemprovinsi, tapi masih ada istilahnya "sumbangan" untuk ekstra kurikulum atau kegiatan lainnya yang ditanggung murid. Jadinya, buat para orangtua yang "kurang mampu", sulit bisa mewujudkan anaknya bersekolah dan jadi unggulan, apalagi sampai meraih menjadi mahasiswa. Suatu problematika buat Pemerintah kalau ingin mendapatkan  manusia-unggulan berasal dari keluarga berkesulitan ekonomisnya. Begitu sulitnya sekarang jadi orangtua yang punya anak. Jangan berharap, anaknya sesudah jadi mahasiswa  didorong menjadi warganegara Singapura yang punya fasilitas menjadikan pemuda unggulan dalam otaknya.
   Buat pak Menteri Dikbudristek, memang sulit menghilangkan semua sengkarut,  terutama muncul diawal penerimaan siswa/mahasiswa baru. Penerimaan lewat PPDB saja sudah sulit, meskipun peraturan itu sudah agak cukup untuk menjaga tidak berjubelnya sesuatu "sekolah favorit" dengan para siswa berasal dari luar zonasi/luar kota. Mungkin yang utama, membuat SMP/SMA yang masuk kategori "tidak favorit" yang jadi sasaran. Terutama terhadap kepala-sekolahnya, tidak mlempem, sudah puas terima gaji,tanpa melakukan motivasi para guru sekolahnya memajukan murid-murIdnya  bersaing dengan sekolah-sekolah yang digolongkan "favorit". Kesemua upaya harus sesuai ketentuannya. Upaya maju itu harus dipacu dan diawasi oleh Dinas-Dinas Kemdikbud Provinsi dan Kabupaten/Kota setempat. Para Kepala dan Staf dinas itu jangan ngurusi administrasi saja dan merasa cukup mapan terima anggaran dan gaji. Itu semua kalau punya jiwa dan semangat membuat generasi milenial sebagai generasi unggulan! Atau cuma slogan busyet melulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H