Sekarang terbukti, pawai puluhan bersepedamotor (29/5) di Cawang, Jakarta Selatan dan sebagian kota-kota  Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh  kelompok "Khilafatul Muslimin" itu dinyatakan  Kepolisian "murni melanggar hukum". Spanduk-spanduk dipunggung para penunggangnya  bertuliskan ungkapan-ungkapan menentang/kebencian pada Pancasila/Pemerintah, sekaligus mengganggu arus lalulintas, menjadikan masyarakat melontarkan kritiknya :  "Dimana Polisi? Siapa itu orang-orang Khilafatul Muslimin?"
Polda Metro Jaya,-- juga Polda-Polda lainnya-- yang kecolongan itu buru-buru mengusut pawai gelap tersebut. Diawali memburu pimpinan Khilafatul Muslimin (KM) yang lari dari Jakarta. Tim Polda Metro Jaya bisa menangkapnya diponpes suatu kampung di Bandarlampung, Sumatera. Meskipun mendapat perlawanan dan kericuhan pengikut KM, namun Abdul Qadir Hasan Baraja, pimpinan Ponpes yang membuat "kantor/markas pusat" KM dan menghimpun banyak pengikutnya, Polisi (6/6) dapat menangkapnya berikut 4 orang pentolan KM dan menemukan uang organisasi lebih dari Rp.2,3 milyar. Langsung digelandang ke Jakarta.
Abdul Qadir ternyata residivis teror pemboman Candi Borobudur (1979). Usai dibebaskan, mengulang  radikalisme mendirikan KM. Menurut Kepolisian, melalui dakwah-dakwah mengajak masyarakat berideologi "khilafah" dan memusuhi Pancasila.
Menariknya, tindakan tegas itu menjadikan halaman Mapolda Metro Jaya  dihiasi banyak karangan bunga kiriman orang/organisasi yang memujinya. Kapolri Jenderal Pol.  Listyo  Sigit Prabowo angkat bicara: "Khilafatul Muslimin tidak boleh berkembang!"
Polda-Polda lain juga menindak markas/pimpinan/anggota KM setempat. Antaralain Polresta Solo menutup markas KM Lawean Solo; Polres Brebes menangkap anggota KM; Polres Wonogiri menangkap 7 anggota KM; Polresta Cirebon Raya menetapkan pimpinan KM Â tersangka; Polda Jawa Timur menetapkan Aminuddin Machmud (ketua KM Jatim) Â tersangka, juga Polda-Polda di Kalimantan. Kesemuanya mengusut aktivitasnya yang bertujuan menentang Pancasila dan Pemerintah serta meneliti status keabsahan KM.
Dari pelanggaran terhadap Pancasila, UU Ormas & Keonaran, UU ITE, ditambah lagi UU Pendidikan, Kapolri menginstruksikan pengusutan tuntas orang/organisasi KM, termasuk jalur penghimpunan dana melalui "kotak-kotak amal masjid" (Baithul-mal). Ternyata bermunculan banyak fakta pelanggaran hukum KM.
Tokoh cendekiawan Islam, Said Aqil selaku Ketua BPIP mengatakan(7/6) : "Orang-orang yang tidak setuju Pancasila silakan pergi dari Indonesia." Â Â
Pimpinan Ponpes Ngruki (Jogjakarta) yang nama-belakangnya  'Baraja' kebakaran jenggot. Buru-buru membantah punya kaitan dengan KM/pimpinannya. Maklum, Ponpes Ngruki  selalu disoroti Polisi, karena tokohnya terdahulu, Abubakar Baasyir,  masih dipenjara karena dipidana selaku teroris.
Kementerian Agama  juga menegaskan, KM tidak tercatat sebagai organisasi.  KM didirikan tahun 1997, beranggotakan di 25 provinsi yang bergiat disegala profesi dari petani hingga dokter. Menariknya, 25% karyawan/ASN dan penyebaran fahamnya lewat sekolah sejak jenjang SD.
Bukti-bukti kejahatan KM: (1) membuat 'kartupenduduk' sendiri, tidak mengakui e-ktp RI (2) membentuk 'kabinet', contoh ketua KM Jatim sebagai "menteri pendidikan" (3) penghimpunansini dana gelap (4) Pemerintah Republik Mesir mengeluarkan "red notice" pada Interpol untuk 6 buronan KM yang kabur.
Apakah KM bagian teroris "ISIS" Timteng? Â
Di sini pasti tujuannya membentuk "Negara Islam Indonesia", berpola  radikalisme. Perbuatan makar. Mengherankan, meski sudah diketahui, KM belum dilarang. Seolah "organisasi gendruwo", karena "ada tapi taknampak dan menakutkan". Buktinya, BNPT menyatakan KM bukan organisasi teroris, masih intoleran. Menko Polhukam: penanganan terhadap KM tetap perhatikan HAM.
Jadi, maksud di balik karangan bunga berterimakasih kepada POLRI itu  terkandung harapan, agar KM bisa dilibas berkegiatan sosial/politik/budaya Indonesia.
KM bisa leluasa mengumpat-umpat Pemerintah, sesumbar Aparat Negara tidak punya nyali melarangnya. Dijaman pemerintahan Presiden Sukarno, mereka disebutnya "anti-revolusioner/plintat-plintut" yang perlu hilang. Dijaman Presiden Suharto, bila ketahuan, sudah pasti amblas. Â Era selanjutnya, bebas muncul menggerogoti Pancasila/NKRI berdalihkan "demokrasi, hak bersuara" dan HAM.
 Pertanyaannya, apakah pihak Berwenang/Lembaga-lembaga Hukum/Peradilan berani secara hukum melarang KM sebagai organisasi radikal/teroris bertujuan makar  berkedok Agama? Apakah kini Polda Metro Jaya menggandeng Kodam Metro Jaya dan MUI Pusat mampu mengatasi kejahatan itu dengan pelarangan KM? Lebih afdol kalau terbukti ada Parpol pendukungnya, dibuka saja identitasnya agar tidak "slintat-slintut"! Kemenag ingin "menyadarkan" anggota KM menganjurkan  organisasi-organisasi Islam "merangkul/menyadarkan" bernegara NKRI. Perlu berhati-hati! Jangan sampai malah pihak sebaliknya yang terpengaruh! Juga masih perlu diawasi para anggotanya yang berbalik "sumpah setia" pada PS/NKRI. Murni atau mau berlindung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H