Pendapat ini perlu saya sampaikan atas dasar keberadaan dan kesetaraan bangsa Indonesia, menanggapi pernyataan aktivis Masyarakat Adat Indonesia yang mengritik Presiden Joko Widodo yang mengenakan pakaian adat Suku Badui  saat menyampaikan pidato pertanggungan jawab Pemerintah 16 Agustus lalu di Sidang Istimewa MPR-RI, DPR-RI dan DPD-RI.Â
Pada akhir pidatonya pada siang hari, Presiden menjelaskan mengenai pakaian adat Suku Badui itu yang dinyatakan antarallain sederhana tetapi juga yang mengenakannya merasa bebas bergerak. Dalam upacara Detik-detik Proklamasi RI ke-76 pada 17 Agustus 2021,, Presiden juga mengenakan pakaian adat masyarakat lainnya.
Bukan masalah yang mengenakannya bebas bergerak dan sederhana, akan tetapi filsafati yang bisa dipetik dari kesederhanaan itu. Meskipun tidak jelas apa latarbelakang dan tujuan para aktivis Masyarakat Adat mengritik Presiden dengan mengenakan pakaian adat (sejak beberapa tahun lalu Jokowi terbiasa mengenakan pakaian adat suku-suku bangsa di bumi kita ini dalam upacara/acara resmi bersifat nasional guna menunjukkan ragam dan filsafati suku-suku bersangkutan melalui pakaian adatnya).
Jadi pertanyaannya, apa yang ada dalam pikiran kelompok pengritiknya itu? Apakah masyarakat Badui dianggap "tidak berbudaya" alias "masyarakat yang liar"?.
Bukankah mereka termasuk salah satu kelompok masyarakat kita? 747 sukubangsa  kita yang tinggal di 34 Provinsi, sebagai yang terbanyak di sesuatu negara didunia ini? Kalau tinjauan "berbudaya" hanya dari gaya kehidupan dan berpakaian gemebyar, kiranya salah.Â
Masyarakat Badui dengan kesederhanaan kehidupan dan adatnya, justru dikenal sifat dan sikapnya yang santun dan menghindari kejahatan.Â
Lalu, cobalah "meraba" sendiri dalam kehidupan suku-suku yang menggabungkan diri dalam kelompok Masyarakat Adat itu, apakah ada pelanggaran dalam hukum atau tidak dari masyarakat masing-masing? Â
Apajah adat masing-masing tidak tercemari atau sekurang-kurangnya tercampuri oleh pengaruh kebiasaan atau adat dari luar negeri  melalui kekuasaan pemerintahan masa lalu ataupun keagamaan?
Jadi, sekali lagi perlu kejelasan sikap dari para aktivis yang mengiritik Presiden karena berpakaian adat Badui, meskipun kita dan khususnya saya bukan dari suku itu. Kalaulah Presiden "berpakaian" model hanya mengenakan koteka, itu boleh dikritik, karena kurang patut.Â
Dan jenis koteka itu bukanlah termasuk yang disebut 'pakaian'. Disebabkan kesetaraan berbangsa dan bertanah air hendaknya menjadi dasar kita berbangsa Bhinneka Tunggal Ika dalam NKRI ini, tidak ada cela kalau Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat suku Badui itu. Â
Adanya pikiran untuk mengritik itu sebagai pendapat/dasar pemikiran yang dulu-dulunya juga digunakan oleh Belanda sejak era kekuasaan VOC hingga ke Hindia Belanda dengan politik "belah bambu" alias divide et empera alias politik memecah-belah.
Hendaknya kita sadari bersama, bahwa Adat dari lebih 747 sukubangsa kitaini justru kita gunakan untuk mendorong NKRI kita yang saat ini (dalam tekanan pagebluk covid-19) perlu dan serempak menengadahkan wajah dan membusungkan dada sambil bersemboyan "Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H