Sahabat yang satu itu mendahului saya diiringi kenangan pahit, manis, baik dan ejekan. Harmoko, kelahiran kecamatan Patianrowo, Kertosono, Â kabupaten Nganjuk (Jawa Timur) itu saya kenal sewaktu saya bertugas di Jakarta pertengahan tahun 1964.Â
Dia baru saja keluar dari harian 'Merdeka' pimpinan BM Diah karena tidak sejalan selaku staf redaksinya dan karikaturis. Waktu itu, saya bertugas selaku wakil pemred majalah-politik 'Sketsmasa' (Surabaya). Sejak itu, saya dan dia lalu ditambah rekan Zulharmans (alm.) menjadi sekawan bersama seorang Letkol. TNI-AD Sugianto menjadi sefaham: melawan kekuatan PKI melalui pers.
Kami bertiga waktu itu sama-sama kelompok berduit minim. Saking minimnya, kami bertiga pernah untuk makan siang cuma beli nasi dan bumbunya saja kepada langganan kami, penjual sate ayam di Pasar Senen. Penjual satu ayam asal Madura itu bisa memaklumi "kemiskinan" kami bertiga dan dengan rela melayani pesanan itu.Â
Baru agak berduit menjelang akhir 1965, usai peristiwa pemberontakan G30S/PKI, ketika Zulharmans dan kawan-kawannya mendirikan "Harian KAMI" (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Akhirnya kami bisa berbincang atau diskusi di Balai Wartawan Jakarta (dipavilyun Balai Kota DKI Jakarta , Jl. Merdeka Selatan Jakarta), terkadang diruang kerja harian itu. Di Balai Wartawan itu saya berkenalan baik dengan wanita kepala-sekretariat BW, yang kelak menjadi Ibu Harmoko.
Dalam perjalanan Harmoko yang selaku Ketua PWI Cabang Jakarta dan kemudian terpilih menjadi Ketua PWI Pusat, saya yang menjadi Ketua PWI Jawa Timur dan Ketua Badan Kongres PWI untuk Jatim, mengenal Harmoko sebagai sosok yang benar-benar bisa saja katakan sebagai "dalang" bagi wartawan (dan malahan kelak ketika menjadi Menteri Penerangan menjadi "dalang pers Indonesia" Â masa itu). Dia membentuk watak wartawan dalam pola pertanggung-jawaban sosialnya saat itu.Â
Bagi saya, ternyata dia bisa berkepala-batu. Tak dipedulikannya sindiran atau semacam ejekan buat dia. Lalu yang mengherankan, ketika berjumpa, dia bisa mengingat nama-nama para ketua atau beberapa Pengurus PWI Cabang-cabang dari Aceh hingga Ambon. Beberapa sindiran  gaya 'ludrukan jombangan' juga sering dilontarkan.
Antaralain menyebut saya sebagai "inventaris kongres", karena saya selalu hadir dalam kongres, konferensi kerja nasional (Konkernas), rapat PWI-Pusat & BPK se Indonesia dan lain-lain.Â
Daya ingatnya yang tajam itu mungkin terbawa jiwanya bagaikan dalang wayang kulit. Bukankah para dalang selalu ingat siapa nama anak-wayang yang dimainkannya? Mungkin itu bawaan Harmoko hasil ketika mengenyam pendidikan Seni Pewayangan pada suatu Akademi Seni di Solo sebelum menjadi wartawan di Jakarta.
Dia "menjadi besar' berkat kejeliannya. Dalam berbincang-bincang dengan Hans G. Rorimpandey, pemimpin umum harian "Sinar Harapan" (dimana saya selaku wartawan & kepala perwakilannya di Jatim) dan ketua Serikat Grafika Pers (SGP) Pusat, Rorimpandey menyampaikan gagasannya, bahwa untuk masyarakat Ibukota seharusnya ada suatu suratkabar khusus mengenai kota itu. Gagasan itu ternyata menarik Harmoko yang mengajak kawan-kawannya mendirikan harian "Poskota" yang sukses besar dibawah pimpinan redaksi yang dipegangnya, dan bersirkulasi diseluruh Jakarta dan sekitarnya.