Bisa saya maklumi, kalau membicarakan masalah pagebluk (pandemic) covid-19, sudah pasti membosankan. Masalahnya, virus corona sudah mengepung kehidupan kita (dan rakyat seluruh dunia) sehari-hari. Justru seolah menyatu menjadi bagian dari kehidupan kita untuk menjadi sehat dan berhati-hati.
Namun, disebabkan justru kepungan virus itu bisa membawa arwah ke alam baka, jadilah kasusnya wajib selalu diwaspadai. Di negara kita saja, sudah mencapai di atas 500 orang meninggal setiap harinya akibat corona. Cukup mengagetkan, 3 dosen Universitas Negeri 11 Maret (Solo) meninggal dalam Juni ini karenanya.Â
Lalu jumlah penderita mendadak meningkat di Jakarta dan sekitarnya, peningkatan tinggi penderita di Jawa Barat (terutama kota Bandung), Â di Jawa Tengah (dari Kudus ke Demak, Jepara, Pati, Sragen, Blora, Brebes, Tegal, Grobogan membawa virus varian 22), DI Jogjakarta, Jawa Timur di Kabupaten Bangkalan (Madura) yang menulari warga kota Surabaya maupun kabupaten-kabupaten sekelilingnya, yakni Sidoarjo, Gresik, Lamongan.Â
Masalahnya, banyak warga asal Madura, khususnya Bangkalan, yang bekerja dan berdiam di kota dan kabupaten itu. Sayang, ketika orang-orang Madura  yang menuju Surabaya lewat Jembatan Suramadu, karena merasa terhalang oleh pemeriksaan dan swap covid-19, mengamuk dan merusak pos penjagaan dan pemeriksaan itu (18/6).Â
Pelonjakan virus  itu di Surabaya bertambah-tambah karena kepulangan para pekerja migran dari berbagai negara, terutama negara-negara Asia. Bertumpuklah covid-19 varian baru. Seperti yang di Bangkalan itu, adalah "varian Delta", covid-19 asal India.Â
Satgas Covid-19 kebingungan, karena tercatat (15/6) 29 kabupaten/kota kasus covid-19 membludak tetapi fasilitas-kesehatan (faskes) seperti jumlah rumah sakit, ruangan-ruangannya, tempat tidur serta peralatan pengobatan, menjadi kolaps.Â
Contoh antara lain RS di Jepara dinyatakan "ditutup", meskipun tidak ada RS tutup. Hanya saja ruangan dan fasilitas perawatan berikut tenaga kesehatannya sudah tak menampungnya. Habis. Sebenarnya masih panjang kisah tragis dampak peningkatan covid-19 di Indonesia, terutama di pulau Jawa.
Yang terbukti, semua itu dampak liburan panjang dan acara-cara tradisional sebelum dan sesudah Lebaran dengan cara mudik, berkumpul (terlebih ada pemeo Jawa: "Makan nggak makan asal kumpul!") dalam hajatan atau ziarah, adalah benar sebagaimana dikawatirkan para ahli kesehatan dan pemerintah. Sampai Presiden pun sudah menganjurkan untuk berhati-hati dan tidak mudik. Tetapi rendahnya kesadaran dan disiplin diantara masyarakat sendiri yang melanggarnya. Sekarang pun, Satgas Covid-19 mencatat "penurunan kepatuhan" protokol kesehatan di 85 kabupaten/kota.
Melonjaknya jumlah penderita virus itu berikut yang meninggal, jelas dampak dari mudik dan kerumunan dalam suatu acara tradisional. Mereka bukan dari kalangan masyarakat tidak berpendidikan. Hanya saja, percaya diri menjadi pemudik atau yang dimudiki, bahwa tak mungkin virus itu mendatanginya. Atau ada yang merasa sakti-mandraguna.Â
Kalaulah kini terkapar di tempat tidur karena menderitanya, siapa yang yang mau disalahkan? Justru mungkin ada orang-orang mematuhi anjuran dan larangan pemerintah itu untuk tidak mudik dulu dan berkerumun serta berdisiplin mematuhi prokes, yang dalam hati bisa "menyalahkan" mereka yang menderita akibat mengabaikan prokes dan mudik itu. Mereka bisa menuduh orang-orang yang akhirnya menjadi korban infeksi dan meninggal akibat covid-19 itu sebagai yang mengabaikan, bahwa virus itu justru bisa sangat meningkat seperti saat ini.