Memasuki barak itu memang mendapati  hal yang lucu. Garis kuning selebar kira-kira 20 sentimeter itu seolah merambat dari luar jendela, kemudian menuruni lantai dan juga sebuah meja besar yang ditaruh melintang dan "dibagi" oleh garis kuning itu. Di sebelah utara terdapat bendera kecil Korut dan di selatan bendera kecil PBB dan Korsel.  Ada lagi meja-meja kecil di belakang meja besar itu. Kesemuanya dilengkapi dengan kursi. Itulah barak-barak tempat perundingan antara pemerintah Pyongyang dengan Seoul dan Dewan Keamanan PBB. Pada masing-masing sisi, dijaga seorang tentara cuma bersenjatakan pistol yang berdiri tegap. Itu semua sesuai aturan bersama, karena gedung penjagaan masing-masing pihak hanya dibolehkan 35 orang tentara saja dan bersenjatakan non-otomatik.  Â
   Cuma barak-barak dan lorong diantaranya di Panmunjom itulah satu-satunya "gerbang" dua negara bermusuhan, Korut dan Korsel. Yakni seolah "pintu" yang berada di sepanjang Garis Demarkasi Militer (Demarcation Military Zone) yang selebar 2 km memanjang 250 km dari pantai ke pantai Semenanjung Korea. Garis hasil dari perundingan gencetan senjata Perang Korea (1950-1953). Karena saya menganggap garis dicat kuning itu, tangan sayapun dengan hati-hati sambil melirik arah tentara yang juga saling melirik saya, meraba garis kuning di meja tersebut.Â
   Bagi saya, kunjungan ke DMZ dari arah Korut itu menarik, karena hanya orang-orang tertentu yang diijinkan pemerintah Pyongyang waktu itu untuk bisa mengunjungi Panmunjom. Apalagi ke tempat tersebut harus melalui berkilo-kilometer dan menyeberangi sungai yang kesemuanya merupakan kawasan pertahanan militer mereka.
   Rombongan kami meninggalkan bandara Sunan di petang hari usai saling memberi sambutan dan saya sampaikanh rasa kurang puas kami karena selama lebih dari seminggu di Korut, paspor kami dipegang mereka dan kami tidak bisa berbincang-bincang dengan penduduk. Pesawat Ilyushin pun menerbangkan kami ke Moskwa malam hari, tetapi rutenya arah Kutub Utara dan hanya sekali harus transit di bandara Kabarowsky, kota paling utara di Rusia. Udara mulai terasa dingin, karena musim gugur sedang menimpa benua Eropa dan Asia.
     Â
Meraba Dari Selatan.
   Mungkin reportase saya di harian Sinar Harapan waktu itu dianggap justru merugikan pemerintahan Korut, sehingga Kedubes Korut di Jakarta menyampaikan protes ke Departemen Penerangan dan saya menjawabnya karena sebagai wartawan dan surat kabar bebas, menyampaikan apa yang saya alami dan lihat adalah sebagai hak kebebasan pemberitaan kami. Itu pula kemungkinannya, sebulan lebih kemudian saya bersendiri sudah berada di Shilla Hotel, Seoul, saat Semenanjung Korea sedang ditimbun hujan dan badai salju yang cukup lebat. Kisah itu diawali ketika Atase Pers Kedubes Korsel menelpon dan mengundang saya untuk ditawari ke Korsel usai ke Korut, sehingga bisa membandingkan segala sesuatunya yang menarik minat saya dibidang politik, sosial dan ekonominya. Hanya saja naik pesawat KAL (Korean Airlines) harus dari Hongkong, karena tahun itu belum ada hubungan penerbangan antara Jakarta-Seoul. Seminggu lebih berada di Korsel pada tahun itu,-- didampingi seorang anak muda dari Kementerian Luar Negeri Korsel,-- bagi saya nampak perbedaan kemajuan yang sangat mencolok dari sesama bangsanya di utara. Hanya saja, pada kawasan industri-industri berat, antara lain pabrik baja dan industri kapal tanker raksasa, saya tidak boleh memotretnya. Unsur sekuriti negara saat itu sangat tinggi. Saya bebas diarea Shilla Hotel, berbelanja dan jalan-jalan di mall besar, makan siang direstoran bersama ratusan karyawan perusahaan dan pegawai pemerintah, sampaipun dijamu makan mewah di kloub mewah pula oleh Wakil Menteri Penerangan Korsel dan beberapa stafnya, bebas berbincang dengan siapapun ketika naik kereta api ekspres Seoul-Busan maupun pesawat terbang rute nasional ke arah Seoul. Saya ungkapkan opini sesuai kenyataan melihat dan mengalami kondisi Korsel itu dalam wawancara khusus dengan KBS (Korean Broadcasting System), yang juga saya dengar-dengar menimbulkan protes Kedubes Korut di Jakarta. Maklum, dalam "perang informasi" merasa dirugikan.
   Membandingkan daya tarik sewaktu di Korut, saya menuju DMZ di Panmunjom sejauh hanya 60 km dari Seoul. Sama seperti ketika di Korut dulu, juga melalui gedung markas yang dijaga tentara Korsel dan PBB dan kemudian memasuki barak yang bergaris kuning. Barak yang sama tetapi dari arah yang berbeda yang saya masuki  sebulan lebih yang lalu. Saya pun agak usil, yakni juga mengelus garis kuning di atas meja itu sambil dilirik oleh dua tentara berbeda yang menjaga. Garis DMZ itu benar-benar sakral.
   Hanya saja ada tambahan "acara" di desa Panmunjom. Didampingi seorang perwira tentara Korsel bertubuh tinggi bersenjatana pistol disabuknya dan mengenakan helm, dengan sopan menyerahkan sebuah helm untuk saya pakai dan mengikutinya memasuki gua yang bagi orang bertubuh tinggi harus sedikit membungkuk. Demikian juga beberapa kali helm saya menggesek atap gua yang mengarah turun entah beberapa puluh meter dalamnya. Dalam kedalamannya itu, terdapat pancuran kecil air mineral yang bening dan bersih. Terdapat beberapa gelas plastic untuk digunakan meminumnya. Akhirnya setelah berjalan kira-kira seperempat jam, terhenti karena ditutup oleh palang besi dan jaringan kawat berduri, sepucuk senapan mesin kaliber besar yang dikendalikan secara otomatis yang dihadapkan arah seberang gua yang gelap, karena menurut perjanjian PBB, masuk dalam batas kawasan DMZ dan Korut. Lantai jarak senapan mesin dengan gua gelap itu ditanami puluhan ranjau darat berdaya ledak tinggi. Gua gelap itu adalah buatan tentara Korut yang secara sembunyi-sembunyi membuat jalan infiltrasi untuki pasukan maupun kendaraan militer ringan menerobos bagian bawah DMZ dan menyerbu Korsel. Tetapi upaya itu dapat dideteksi oleh pasukan PBB, dan dibuatlah terowongan "pencegat" terhadap terowongan Korut. Itulah terowongan atau gua yang saya masuki hari itu.   Â
   Kembali pada keberadaan lorong antara dua barak Panmunjom sebagai batas dua negara bermusuhan yang hanya dipisahkan oleh cat kuning itu,  bagi saya nampak angker. Yang melangkahinya pasti ditembak mati. Namun dalam perkembangan sejarah tahun 2020, terdapat perubahan signifikan senyampang usainya Perang Dingin beberapa tahun lewat, beriktu bubarnya pemerintahan Uni Sovyet menjadsi Federasi Russia. Ada tercatat perubahan dalam pemerintahan presiden Kim Jong Un, anak Kim Jong Il dan cucu Kim Il Sung . Pertama dalam sejarah, Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dijemput Presiden Kim Jong-Un melangkahi garis itu. Hebatnya lagi, disusul Presiden AS Donald Trump pada 30 Juni 2020 juga dijemput Kim Jong-Un melangkahi garis itu ke gedung markas "Desa Damai" Panmunjom. Dan saya merasa lega dapat meraba garis kuning itu dari arah yang berlawanan, sambil merenungkan, betapa tragisnya satu bangsa yang tinggal dalam satu semenanjung itu harus berpecah belah untuk saling bermusuhan sebagai dampak politik ingin berkuasa. Sebenarnya, Korea dapat dijadikan pelajaran pahit, betapa ada suatu bangsa yang harus menderita seperti itu hanya berasal dari kerakusan kekuatan politik praktis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H