Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Epilog 4 Babak Hari Pahlawan

2 November 2020   18:56 Diperbarui: 2 November 2020   19:06 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kurang lengkap apabila tidak mengisahkan akhir sejarah pertempuran Surabaya (akhir November 1945 sebagai awal Revolusi bersenjata dan Perang Kemerdekaan I. Kisah-kisah ini sebagai bagian yang mengisi makna Hari Pahlawan dan Perang Kemerdekaan I-II serta kembalinya kedaulatan RI. Ada beberapa kejadian yang saya alami dan ingat dalam kisah dibawah ini:

  • Sewaktu Arek Suroboyo dan para pemuda dari beberapa daerah Jawa Timur bertempur melawan Inggris/Belanda di Surabaya yang menyebabkan ribuan mereka gugur dan rakyat tewas, terjadilah eksodus penduduknya (terutama wanita dan anak-anak) mengungsi arah kota Mojokerto (45 km dibarat) dan kota Sidoarjo (24 km diselatan),termasuk keluarga saya. Alat transportasi pengungsi itu  terbanyak gerobak roda ban yang ditarik sapi, kereta api dan berjalan kaki. Terbanyak dilakukan malam hari, takut ditembaki pesawat musuh. Satu rangkaian kereta api mengangkut pengungsi dalam perjalanan arah Malang, sesampainya di Gedangan, Sidoarjo, diberondong senapan mesin pesawat pemburu Belanda. Jatuh beberapa korban tewas dan luka-luka, termasuk kakek kerabat keluarga saya yang tertembak kakinya, dirawat di RS Sidoarjo dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. Di Sidoarjo pula muncul noda pertama revolusi yang mengerikan. Lelaki bertubuh besar yang selalu menyandang pedang samurai dan pistol ex-Kenpetai bernama Sabaruddin, bersama anakbuahnya mengaku "Polisi Militer". Pada November-Desember 1945, mereka menjadi algojo gelap yang menangkap beberapa lelaki dan perempuan pengungsi dari Surabaya dengan tuduhan "mata-mata Nica" dan katanya ada stempel ayam-jago hijau (logo Divisi-5 Sekutu) ditubuh orang itu lalu langsung dibunuh. Ditembak mati, dipenggal kepalanya dengan pedang Sabaruddin, ditusuk bayonet atau mati diseret mobil keliling kota. Bahkan menantu Bupati Sidoarjo saat itu dituduh mata-mata karena bisa berbahasa Belanda. Kepalanya dipenggal dialun-alun kota. Ketika medan pertempuran bergeser kearah Sidoarjo, Sabaruddin dan pasukannya menghilang. Tahu-tahu bercokol dikota peristirahatan pegunungan di Tretes, kabupaten Pasuruan. Mereka menawan beberapa perempuan Indo-Belanda dijadikan penghibur. Ketika pasukan Belanda  menguasai Tretes, pengacau itu mengembara dan selalu menghindari kontak senjata dengan pasukan Belanda, tetapi beberapa kali terjadi tembak--menembak dengan TNI (perubahan nama dari TKR). Ketika RI kembali berdaulat sekitar tahun 1949, pasukan Kolonel Sungkono (ingat pertempuran Surabaya) yang diangkat Mabes TNI sebagai Panglima Divisi 7 Jatim (kemudian menjadi Kodam VIII Brawijaya) berhasil menangkap Sabaruddin, putera Aceh itu, untuk diajukan kepengadilan militer yang dilaksanakan dikantor Kabupaten Jombang. Dia dijatuhi hukuman mati.
  • Perang Kemerdekaan I (1945-1948) sebagai kelanjutan pertempuran Surabaya, pasukan NICA/ Belanda berhasil menguasai kota Mojokerto hingga batas kawasan situs Kerajaan Nusantara Majapahit (1293-1478; yang bersemboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' & 'Tan Hana Dharmma Mangrva' = Beraneka Tetapi Satu & Tidak Ada Kebenaran yang Bermuka Dua).  Dilokasi itu jalan raya digali sedalam 2 meter dimaksud anti-tank Belanda. Disitulah dibuat Garis Statusquo (hasil perundingan Komisi Tiga Negara/PBB) yang memanjang hingga kecamatan Sumobito (kabupaten Jombang). Pada era tersebut, militer Inggris berikut pasukan Gurkha (disebut "the Indian Army") sudah ditarik dari Indonesia akibat protes dan desakan tokoh-tokoh politik India maupun di Inggris dan dunia internasional. Dalam awal Perang Kemerdekaan I, lawan kita sepenuhnya kekuasaan militer Belanda (KL/Koninklijke Landsmacht) dan pasukan pribumi (KNIL/Koninklijke Nederlands Indiesche Landsmacht). Garis statusquo itu kemudiannya  dilanggar Belanda dalam menjelang Perang Kemerdekaan II guna menguasai seluruh wilayah Jatim.

(3)  Dalam pemerintahan pengungsian, Gubernur Suryo (tokoh pimpinan Jatim dalam perlawanan terhadap Inggris di Surabaya), berkantor dikota Madiun. Pada September 1948, partai PKI pimpinan Muso yang baru kembali dari Moskow, bersama Amir Syariffudin (Menteri Pertahanan) melakukan pemberontakan berdarah melawan Pemerintah RI pimpinan Sukarno-Hatta di Jogjakarta. 

Mereka memusatkan perlawanannya di Karesidenan Madiun. Beberapa pimpinan pemerintahan provinsi di Madiun ditangkapi dan sebagian dibunuh, sementara Gubernur Suryo pada 10 September 1948 menaiki mobil-dinasnya menuju Jogjakarta untuk melapor. Tetapi dihutan jati antara Ngawi dengan Solo didesa Pelanglor kecamatan Kedunggalar Ngawi, mobilnya dicegat gerombolan PKI. Diseret keluar, kemudian Suryo ditembak mati disitu. 

Tempat itu oleh pemerintah kelak dijadikan monumen dinamai "Tahura Suryo" (seluas 32 ha, meski baru 8 ha dikelola Perum Perhutani Unit II Jatim), sekaligus taman wisata. 

Dalam pemberontakan itu,  keluarga kami kehilangan sepupu bernama Suprihadi yang bersama pasukannya menuju front pertempuran melawan Belanda,  dicegat gerombolan PKI Muso dihutan antara kota Ngawi dengan kecamatan Padangan kabupaten Bojonegoro. Dia termasuk yang ditembak mati gerombolan itu. Akhirnya pemberontak PKI Muso itu digempur TNI, terutama oleh Divisi Siliwangi (Jawa Barat) yang dikirim pemerintah. Para tokoh berikut banyak anggotanya ditembak mati.

(4). Militer NICA menghentikan yang disebutnya "Politieniele Actie" (kita sebut Perang Kemerdekaan I) pada 21 Juli 1947. Ketika terjadi pengkhianatan PKI Muso itu, dianggapnya melemahkan kekuatan RI di Jawa. 

Karenanya dilancarkan  "Politieniele Actie" kedua (18 Desember 1948) yang disebutnya "Doorstood naar Jogja" (Mendobrak ke Jogja) dengan pasukan payung  menduduki Jogjakarta dan seluruh wilayah Jawa. 

Itulah Perang Kemerdekaan II. Kitapun melakukan perang gerilya sebagai "perang rakyat semesta" (istilah Jenderal AH Nasution). Namun tidak ada lagi pertempuran gerilya-kota, meskipun kota Jogjakarta sebagai ibukota-pengungsian RI yang diduduki Belanda, pernah disusupi selama 6 jam oleh pasukan pimpinan Kolonel Suharto. Akan tetapi tembak-menembak terjadi hanya dibeberapa lokasi. Tujuannya lebih bersifat tekanan politis keluarnegeri, bahwa RI  masih ada dan punya kekuatan militer melawan NICA/Belanda.

Presiden Sukarno dalam Penetapan Pemerintah no. 9/Um. di Jogjakarta 31 Oktober  1946 memutuskan 10 November 1945 sebagai HARI PAHLAWAN. Kelak, sekitar tahun 1950-an, Presiden juga menetapkan dibangunnya Tugu Pahlawan di lokasi bekas gedung Pengadilan Negeri Surabaya/ Markas Kenpetai yang terbakar habis di Jalan Pahlawan Surabaya.

Beberapa tokoh pejuang pertempuran Surabaya kemudiannya memegang jabatan. Dr. H. Roeslan Abdulgani selaku Menteri Kordinator Penerangan (era Presiden Sukarno), saat 1945 sebagai salah seorang tokoh pemuda, dekat dengan anggota TRIP pimpinan Mas Isman, komandan Brigade-17/TRIP yang  kemudian berpusat dikota Blitar. 

Saya sempat jadi kurir dikomandemen kota Kediri. Roeslan Abdulgani paling aktif menulis pengalamannya dan  menghimpun data dari dalam dan luarnegeri (Inggeris). Beberapa data saya ambil dari salah satu bukunya "Seratus Hari Di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia" (Jakarta, 1994)

Doel Arnowo, pemuda rekan Roeslan Abdulgani yang mendampingi Gubernur Suryo saat itu, pada 1950-1952 ditunjuk sebagai Walikota Surabaya yang kemudian digantikan R. Moestadjab Soemowidagdo (1952-1956).  

Sebagaimana mereka yang mengungsi dan kembali ke Surabaya sesudah Indonesia Berdaulat Kembali (1949/1950), demikian juga keluarga kami. 

Rumah kami yang paling besar berhalaman sekitar 1,5 ha di Jl.Juwingan itu sebagian belakang terbakar. NICA maunya membakar habis rumah kami, karena digunakan sebagai markas pemuda, ditemukannya senjata berikut 5 butir granat-tangan yang disembunyikan ayah saya dibelakang kamar mandi, diruang tamu terpampang sederetan foto pimpinan Partai Nasional Indonesia era Hindia-Belanda, dimana ayah saya R. Ibnu Soemoatmodjo, meskipun pegawai De Javasche Bank.

Akan tetapi aktivis PNI era itu. Setiap orang yang ke Jl. Juwingan saat itu, pasti mengenal nama ayah saya, karena dijaman Jepang, ditunjuk menjadi ketua RW Juwingan. Menurut cerita tetangga yang tidak mengungsi, NICA mendatangkan truk mengangkut petibesi serta tombak pusaka dan beberapa barang yang dianggap berharga. 

Sisanya, seperti kursi, almari sampaipun tempat tidur amblas diambili "pasukan gotong-gotong". Dari keluarga "punya" menjadi "tidak punya" karena harus menjual rumah itu yang kini dijadikan kompleks Gedung Olahraga Bulutangkis. Anggap saja Revolusi membawa pengorbanan demi kedaulatan Negara dan Bangsa.

Ada yang unik. Kakak saya perempuan bersuamikan Alimun (gugur sewaktu perebutan senjata Jepang, Oktober 1945) waktu itu hamil, melahirkan dipengungsian anak lelaki bernama SE. Kakak yang lulusan MULO Praban (Hindia Belanda) banyak mempunyai kawan alumni yang jadi anggota TRIP, sehingga dipengungsian bekerja di Divisi-7/Kodam VIII Brawijaya. 

SE Ketika dewasa justru  mempersunting puteri berayah Jepang, Kapten TNI-AD Harsono Tanimoto (dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya) ibu dari Jawa.  Begitulah kisah yang saya alami menjelang Hari Pahlawan. Selamat berjuang dan maju. Kenang-kenanglah arwah para pejuang kemerdekaan kita. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun