Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Babak Berdarah Jelang Hari Pahlawan (Bagian Pertama)

11 Oktober 2020   19:24 Diperbarui: 18 Oktober 2020   18:46 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemuda menyerbu Hotel Yamato dalam rekonstruksi peristiwa perobekan bendera merah putih biru pada 19 September 1945 di Jalan Tunjungan, Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (19/9/2018).

Tinggal ratusan saja mungkin para lansia berasal dari kota Surabaya yang tahu dan mengalami sendiri "terwujudnya" hari Pahlawan, 10 November 1945. Termasuk saya sendiri sewaktu berusia menjelang 15 tahun. Jadi, menjelang usia 90 tahun sekarang, berusaha mengungkap kembali ketegangan dan kondisi tragis rakyat Surabaya sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga harus meninggalkan rumah mengungsi ataupun melanjutkan perjuangan dalam Perang Kemerdekaaan I-II.

Sedikit yang mengetahui, Hari Pahlawan tidak tiba-tiba muncul.. Ada sedikitnya empat babak pertumpahan darah mengucur ke bumi Surabaya. Terbanyak darah pejuang dan rakyat kita.Lelaki, perempuan dan anak-anak. Peristiwa-peristiwa yang saya ikuti sendiri itu saya bagi dalam 4 babak sesuai kondisinya.

Babak I ini pada Agustus--Oktober 1945. Sejak awal 1945, beberapa pemuda pelajar SMP-SMA maupun yang sudah berprofesi, melakukan perjuangan dibawah tanah untuk kemerdekaan. Malahan dikalangan wartawan muda ada dua orang, antara lain Soetomo (Bung Tomo) dan A. Azis (kelak pendiri dan pemilik Surabaya Post). 

Para pemuda itu secara rahasia dari mulut ke mulut mendengar kekalahan berturut-turut militer Dai Nippon dipulau-pulau Samodera Pasifik maupun Asia Selatan. Informasinya disadap dari siaran radio luar negeri VOA, BBC, ABC. Saat pendudukan Jepang, semua radio milik rakyat disegel dan hanya bisa mendengar siaran radio Hosokyokai. 

Kalau ketahuan mendengarkan siaran radio luar negeri, siksaan dan nyawa taruhannya ditangan polisi rahasia Jepang, Kenpetai. Berita tragedi kehancuran kota Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom Amerika (8-10 Agustus 1945) sehingga Kaisar Hirohito menyatakan Jepang menyerah 13 Agustus 1945 kepada Sekutu pimpinan Amerika Serikat didengar dan disebar dibawah tanah. 

Sumber-sumber informasi demikian berkat para pemuda pejuang  yang bekejra sebagai ahli/teknisi radio di beberapa instansi strategis Jepang, antara lain di Sendenbu (Departemen Propaganda), Kantorberita Domei dan berita luar negeri.

Salah seorangnya ialah Alimun, kakak ipar saya selaku ahli teknik keradioan Sendenbu. Ketika Sendenbu dibubarkan dia membantu bagian teknik hubungan radio kantor berita Antara yang baru saja didirikan di Surabaya oleh pendirinya, Adam Malik. Kantornya diujung pertemuan Jalan Tunjungan dengan Jalan Embong Malang (kelak dijadikan Monumen Pers Surabaya). 

Berseberangan dengan Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit). Kawannya, Sutomo yang sebelumnya di Domei pun bergabung nongkrong disitu. Saat itu, proses dan jalur komunikasi semua dikuasai Jepang. Proklamasi Kemerdekaan saja baru didengar rakyat Surabaya 20 Agustus 1945 melalui Hosokyokai yang direbut para pemuda dan satu-satunya koran dibawah Sendenbu "Soeara Asia". 

Baru didengar instruksi-instruksi Pemerintah Pusat, antara lain untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR; kelak TNI) beranggotakan dari ex-kesatuan bikinan Jepang,  yakni PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, Gakukotai, serta mendirikan partai politik pemerintah/PNI. 

Di Surabaya, tokoh birokrat Residen Surabaya, Sudirman, bersama  para pemuda pejuang memproklamirkan Pemerintah Republik Indonesia Daerah Surabaya. Lepas dari pemerintahan militer Jepang. Instruksi pertamanya, semua perkantoran harus mengibarkan Merah Putih menggantikan bendera Jepang..

Informasi yang didengar Pemda dan BKR, Sekutu memerintahkan pucuk pimpinan militer Jepang agar semua persenjataannya diserahkan ke Sekutu, membebaskan dan melindungi kaum interniran (terbanyak Belanda dan Indo-Belanda). Pada cuaca panas September, suasana jadi tegang. Pimpinan RI di Surabaya berkeputusan: persenjataan Jepang harus kita miliki dan jangan sampai menjadikan bekas interniran berkuasa membentuk pemerintahan Hindia Belanda baru. 

Beberapa orang Indo-Belanda bekas interniran pimpinan Mr. Ploegman berkumpul di Hotel Yamato (dulunya: Oranje Hotel) dijaga beberapa serdadu Jepang bersenjata. Mereka berunding guna meminta kembali pertokoan, perkantoran dan lain-lain era sebelum dikalahkan Jepang. Terlebih lagi aksinya didorong ketika sebuah pesawat terbang Belanda dari Balikpapan (yang dikuasai Sekutu) terbang di atas kota menyebarkan selebaran berisi agar ex-interniran bersiap menunggu kedatangan pasukan Sekutu. Pamflet itu dihias bendera Belanda dan foto Ratu Wilhelmina. 

Orang-orang Indo-Belanda itu memastikan kekuasaan Belanda bakal kembali. Mr. Ploegman cepat-cepat ,mengambil tangga, menaiki menara-utara  hotel dan mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru. Bergaya sombong sambil berkacak pinggang mondar-mandir dimenara itu. Di Jalan Tunjungan, depan hotel, berduyun-duyun masyarakat menutupi pintu gerbang hotel. Sebagian bersenjata tajam dan terbanyak takeyari (bambu runcing). 

Saya diajak Alimun ke kantor Antara dan menyaksikan rakyat yang berteriak-teriak "Merdekaaa", "Siaaap!" sampaipun menyumpah-nyumpah, lalu  " berbondong memasuki lobby hotel. Beberapa serdadu Jepang  tidak berani mencegahnya. Tanpa banyak kata, perkelahian seru terjadi di lobby. 

Beberapa orang terluka. Mr. Ploegman yang turun dari menara dan langsung terlibat, akhirnya tergeletak. Mandi darah dan tewas.  Tiga orang kita menaiki tangga menara,, menurunkan bendera Belanda itu, merobek warna birunya dan mengibarkan kembali sebagai Merah Puith. Diiringi teriakan "Merdeka" di Jalan Tunjungan.

Hari itu, 19 September 1945,  disebut "Insiden Bendera" sebagai awal berdarah Hari Pahlawan.

BERSAMBUNG.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun