Artinya, tidak bisa dibayangkan jumlah orang yang bisa positif tertular dan jumlah pasien yang tidak rtolong nyawanya. Kalau secara nasional, menjelang akhir September yang tertular memegang rekor 4.824/hari  dan meninggal 113/hari sehingga berjumlah 10.218 orang meninggal, entah berapa puluhlagi tambahan nyawa melayang karena proses kampanye politik nanti.
Nampaknya pandemic dan Pilkada berpengaruh juga pada nasib pendapatan para guru. Terutama guru sekolah swasta. Khususnya di Surabaya. Ada selentingan, sudah 3 bulan mereka tidak menerima hponor dari dana BOPDA (Bantuan Operasional Pendidikan Daerah) dari Pemkot Surabaya.Â
Katanya, Walikotanya tidak mau menandatangani daftar persetujuan dana tersebut dengan alasan karena "suasana" Pilkada. Kalau memang benar alasannya, apakah dana itu dialirkan untuk Pilkada, sambil berharap calon dari sang Ibu Walikota itu bisa dimenangkan meski ada bau kurang sedap dalam penggunaan keuangan Pemkot itu?
Kesemua para calon yang berkontes perebutan suara dalam Pilkada itu tidak ada yang merasa bertanggungjawab apabila para pendukung maupun pemilihnya rentan tertular covid-19. Kalau pendukungnya yang tertular, itu memang sudah niatnya demi kepatuhan pada parpol ataupun calon yang dipilihnya.Â
Akan tetapi, bagi para pemilih? Mereka yang diharapkan berbondong-bondong ke TPS. Namun bagi yang sadar ancaman covid-19 Â akan menjadi ragu-ragu, sehingga pimpinan Parpol maupun calon-calon itu bisa memaklumi dalam Pilkada 2020 ini bakal banyak yang tidak memilih alias golput. Lebih baik selamat dari covid-19 daripada menjadi korbannya. Terkecuali bila Pilkada ditunda waktunya. Menunggu pandemi usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H