Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Kenal Jakob Oetama: Wartawan dan Filsuf

12 September 2020   18:51 Diperbarui: 13 September 2020   10:23 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MESKIPUN sudah lewat beberapa hari sejak beliau wafat, namun kenangan di hari-hari pertama dan selanjutnya yang tak terlupakan ini saya gali demi menghormatinya selaku rekan almarhum dalam profesi maupun kekerabatan.

Saat itu, kami, para wartawan delegasi yang terdiri dari pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari hampir seluruh Nusantara, sedang menunggu di lobby dan bersiap-siap memasuki ruang sidang guna menghadiri Kongres Luar Biasa PWI (KLB-PWI, November 1965). Sebulan setengah usai pemberontakan Gerakan 30 September 1965/PKI yang digagalkan TNI-AD. 

KLB diselenggarakan di gedung Press Centre, di sebelah utara Hotel Indonesia (kini jadi toko/mall). Tiba-tiba pintu depan lobby itu terbuka. Muncul P.K. Ojong, dengan langkah mantap memasuki lobby. Dibelakangnya diiringi lelaki yang berjalan agak membungkuk sambil tersenyum memandang keliling pada orang-orang yang berada disitu.

"Saudara-saudara! Saya kenalkan saudara Jakob Oetama, pemimpin redaksi yang baru koran kami, Kompas!" ujar Ojong lantang seperti kebiasaannya bila harus bersuara keras. 

Sambil mempersilakan lelaki yang ada di sampingnya itu, Ojong, penerbit dan pemimpin umum surat kabar besar Keng Po yang dilarang Komando Operasi Keamanan & Ketertiban (Kopkamtib) dan berganti menjadi harian 'Kompas' dibawah naungan Partai Katolik, sambil tertawa-tawa memperhatikan Jakob Oetama menyalami kami yang hadir di situ.

Itulah pertama kalinya kami, para wartawan pengurus PWI Cabang dan sebagian Perwakilan se Indonesia yang bisa hadir di Jakarta pada kondisi tersebut mengenal sosok Jakob Oetama. 

Lelaki asal Borobudur, Magelang (Jawa Tengah). Kisah dirinya yang terhembus, pria protolan Sekolah Kepastoran itu membelot memasuki Jurusan Publisistik FISIP (kemudian menjadi Fak. Komunikasi) Universitas Gadjah Mada Jogjakarta sehingga batal jadi rohaniawan karena tertarik menjadi wartawan. 

Nyatanya, begitu harian Kompas dipercayakan untuk dipegangnya, dapat berkembang menjadi harian yang utama di pelataran media massa Indonesia. Sejak berkuliah dia dikenal sesama rekan kuliahnya sebagai penekun buku-buku pengetahuan, selain tentang ilmu komunikasi dan jurnalistik juga ilmu filsafat dan lulus sebagai sarjana-publisistik  bernilai baik.

KLB PWI yang berkeputusan memecat ketua umum Karim DP dan sekjennya Satyagraha serta beberapa anggota pengurus yang kesemuanya tersangkut kegiatan PKI dan organisasi-organisasi kaitannya, mendudukkan ketua umum baru, H.Mahbub Djunaidi (pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat milik Partai NU).

Jakob Oetama tahun kemudiannya ditarik kedalam Kepengurusan PWI Pusat karena peranan medianya. Pada saat-saat itulah saya berada dalam aktivitas PWI Pusat selaku instruktur/pelatih pendidikan pada Karya Latihan Wartawan (KLW) bagi para anggota PWI se Indonesia. 

Mengenal beliau lebih dekat berlangsung ketika diadakan Konferensi Kerja Nasional (Konkernas 1969) PWI se Indonesia di kompleks Pesanggerahan Kinilow, lereng kawah Gunung Lok Sukon, antara kota Manado-Tondano. Kamarnya berdampingan dengan kamar saya. 

Saya pun memanggilnya "Mas Jakob" sampai dengan menjelang akhir hayat beliau disaat kami tidak pernah berjumpa lagi sejak tahun 2005-an, ketika usia kami sama-sama uzurnya, yang kelahiran 1931. 

Saya mengagumi pemikiran humanisme dan kecerdasannya. Ketika di awal-awal Kompas memasuki pasar media massa berbarengan dengan koran Sinar Harapan dimana saya selaku wartawan dan kepala perwakilannya untuk Jawa Timur, ialah suara santar dari kelompok orang menuduh istilah Kompas adalah singkatan dari "Komando Pastur". 

Mas Jakob tidak langsung mengeluarkan bantahan, bahwa korannya adalah 'koran umum'. Pertama-tama meniadakan rubrik seperti "Renungan Rohani" yang disiarkan setiap hari Sabtu, yang biasanya ditulis oleh rohaniawan Katolik. 

Demikian juga Sinar Harapan menghapus rubrik yang sama yang biasanya ditulis oleh rohaniawan Kristen-Protestan. Kemudian mas Jakob merekrut beberapa wartawan muda dari yang beragama Islam. 

Malahan beberapa dikirimkan untuk naik haji. Akhirnya suara sumbang itu hilang dan Kompas melejit. Terutama ketika Sinar Harapan dibredel oleh Presiden Soeharto tahun 1988.

Dasar kecerdasan dan filsafat humanismenya selaku wartawan selalu tercermin dalam ceramah-ceramahnya kepada para wartawan junior dalam KLW-PWI yang menghadirkannya. Juga dalam forum-forum seperti itu. 

Penekanan tentang etika jurnalistik selalu dikedepankannya. Suatu hari saya bertanya kepadanya, apa kiatnya di era media viral mengisi udara informasi masyarakat kita kini. Jawabnya, menjadikan isi Kompas lebih kepada artikel-artikel yang punya aktualitas dan berbobot.

Yang jelas, prestasi mas Jakob Oetama tidak bisa disangsikan. Dari penerbitan Kompas itulah kemudian dikembangkan badan usaha Gramedia yang melingkupi segala aktivitas bisnis persuratkabaran, perbukuan, cetak-mencetak, pertokoan, dan lain-lain. 

Demikian pula peran sertanya dalam perkembangan negara ini, terutama yang bersifat kemanusiaan.  Jadi, kalaulah penghormatan besar diberikan kepadanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dan komandan-upacara pemakaman adalah mantan Wapres, H. Jusuf Kalla, hal itu adalah wajar demi menghormati jasa dan prestasinya. (Amak Syariffudin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun