Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pelanggaran Paslon: Demi Menang atau Mati

9 September 2020   18:28 Diperbarui: 9 September 2020   18:22 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020 | jurnalpresisi.pikiran-rakyat.com

Mungkin keberanian, kenekatan ataupun kebodohan membuat sekurang-kurangya antara 141-243 pasangan calon (paslon) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang sedang mendaftar ke Badan membawa atau diikuti rombongan besar pendukungnya dengan berbagai cara berhiruk-pikuk menunjukkan "kebesaran" paslon itu. 

Apakah paslon jabatan Gubernur /Wakilnya, Bupati/ Wakilnya ataupun Walikota/Wakilnya, yang masing-masing mau menunjukkan keunggulan dan banyaknya pendukung mereka. Itu boleh-boleh saja kalau kondisi kehidupan masyarakat sedang normal. 

Bukannya saat ini, yang dilakukan dalam bulan September 2020 ini. Saat pandemi corona virus (covid)19 sedang merajalela dan di Indonesia justru akhir-akhir ini meningkat. Saat penderita positifnya awal September lalu 184.268, meninggal lebih dari 7 ribu orang dan kurang dari seminggu kemudian mencapai 196.989 positif, 140.652 sembuh tetapi meninggal jadi 8.130 orang. Tercatatlah Indonesia sebagai negara yang punya angka kematian tertinggi akibat covid-19 di Asia Tenggara.

Banyak orang memang mempertanyakan, mengapa dalam kondisi tekanan maut pandemi itu kok pemerintah tetap menentukan Pilkada serentak tetap diadakan pada akhir Desember 2020 mendatang dan kampanyenya mulai bulan ini. 

Para orang yang menyebut dirinya "wakil rakyat" di DPR memang mendesak agar pemerintah tidak menunda pemilu itu. Hanya saja syaratnya, dalam proses pendaftaran ke Badan Pemilu apalagi berkampanye dan nantinya pelaksanaan pemungutan suara, harus tetap berpedoman mematuhi  "Protokol Kesehatan".    

Baru pada langkah pertama para paslon itu akan berlaga, yakni mendaftarkan diri ke Badan Pemilu yang dimulai sejak awal September 2020, sudah tercatat ratusan paslon di seluruh Indonesia ini yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan. 

Meskipun paslon itu bermasker, tetapi pendukungnya banyak yang tidak bermasker, berdesak-desakan dan tingkah-laku yang melanggar protokol kesehatan. 

Mereka tidak mempedulikan sanksi dari Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bahwa paslon yang melanggar protokol itu akan ditindak. Antara lain penundaan pelantikannya. Meskipun Mendagri sudah memperingatkan sekurang-kurangnya 69 kepala daerah yang mencalonkan lagi untuk jabatan kedua (sebagai petahana) karena melanggar protokol itu. Presiden Jokowi pun memperingatkan, bahwa protokol kesehatan itu wajib. Dalam proses Pilkada harus ditegakkan. Tidak ada tawar menawar, katanya.

Pada awal tahapan Pilkada, dimana para calon harus memeriksakan kesehatannya, sudah  37 calon gugur terinfeksi positif covid-19. Terbanyak di Jawa Tengah. Pendaftaran calon kini sedang dilakukan, dan bakal disusul pemeriksaan kesehatan jasmani dan psikologis mereka. 

Namun, pada tahap awal saja, yakni peristiwa pendaftaran diri ke KPU, sebagian besar dari mereka dengan pendukungnya dari kelompok-kelompok partai politik pendukungnya yang bisa dikenali dengan bendera-bendera atau lambangnya yang dibawa, sudah melanggar protokol kesehatan. 

Untuk mendaftarkan diri sebenarnya sudah cukup dilakukan oleh sepasang calon dan beberapa orang tokoh parpol pendukungya sebagai saksi. Tetapi itu dianggapnya kurang menggambarkan "kebesaran" sang calon maupun parpol-parpol pendukungnya. Lalu dikerahkanlah orang-orang pendukungnya meski mereka harus diberi uang saku atau uang makan dan uang transport. Belum lagi karena menuju KPU harus dinaikkan becak atau kereta kuda sampai pun yang diusung tandu yang dihias. 

Perkara memakai masker penutup mulut-hidung kalau yang ingat saja. Saling berdesakan, menyanyi-nyanyi, berteriak-teriak sebagai kelengkapan prosesi yang sama sekali berlawanan dengan ketentuan protokol-kesehatan. Tidak perlu digubris perintah Presiden, ancaman Mendagri maupun ketentuan KPU: harus menetapi protokol-kesehatan demi kepentingan masyarakat.

Masyarakat yang menyaksikan dan merenungkan tindakan "berpesta demokrasi" gaya seperti itu cuma bertanya:

1. Masih jadi calon kepala daerah/wakilnya sudah tidak menetapi disiplin. Bagaimana mereka (seumpama terpilih/jadi kepala daerah)  bisa mengatur orang lain dan rakyatnya agar berdisiplin demi kesejahteraan rakyatnya?

2. Gaya unjuk kekuatan sewaktu mendaftar sebagai bagian dari kampanye politik itu prinsipnya cuma satu:menang! Tak peduli, akibat tidak menjalankan protokol tersebut, pengikutnya dan masyarakat sekitar tertular covid-19 dan berakibat kematian! 4. Akan banyak pertanyaan lagi yang sifatnya meragukan Pilkada itu bertujuan "mencari pemimpin yang terbaik".

Jawaban berbagai pertanyaan itu tergantung dari mentalitas pimpinan Parpol yang memilih calon-calonnya. Memang tidak bisa dibantah, dalam alam demokrasi, partai politiklah yang berkuasa!

Ikut berduka cita atas wafatnya Bpk. Dr Jakob Oetama. Seorang lagi rekan PWI Pusat menghadap Tuhan YME, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan hati. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun