Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Panik, Bentuk Sikap Siaga?

3 April 2020   08:33 Diperbarui: 4 April 2020   08:53 2788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PANIK, sikap siaga demi lindungi warga bermunculan, sering membuat bingung orang dari luar daerah. Malahan terkadang dari daerah itu sendiri. 

Masalahnya, satu dengan lain daerah melakukan "Karantina Wilayah" dengan cara berbeda-beda. Malahan ada yang dianggap berlebihan menghadapi bahaya virus mematikan itu. 

Tidak salah apabila ada yang menyebutnya "lockdown daerah", meskipun pemerintah tidak melakukan keputusan demikian dan hanya mengistilahkan "Darurat Sipil".

Kita tidak bisa menyalahkan keputusan para kepala daerah, bupati atau walikota, sampaipun ada beberapa desa melakukannya atas keputusan kepala desa/kampung, melakukan "karantina wilayah" dengan dasar pemikiran dan inisiatif mereka beserta stafnya. Karena saat itu pemerintah pusat pun tidak mengeluarkan aturan apapun mengenai karantina kesehatan itu. 

Mereka sudah berinisatif untuk melindungi kesehatan dan jiwa warga daerahnya terhadap bahaya sebaran virus itu yang bisa saja dibawa oleh orang-orang yang datang dari luar daerahnya. 

Hanya karena tidak ada pedoman terpadu, jadi masing-masing membuat cara masing-masing mencari beberapa pola atau kiat untuk bertindak "mengamankan warganya" dari sebaran covid-19.  

Baru ketika Presiden Jokowi (30/3) mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Status Kedaruratan Kesehatan yang didasarkan UU no. 26/2018 dan isinya dapat digunakan dalam mengatur pelaksanaan Karantina Wilayah, maka menjadi jelas bagaimana kalau sesuatu wilayah (kabupaten, kota) melaksanakan "lockdown daerah" itu. 

Prosesnya harus didasarkan usulan gubernur atau bupati atau walikota kepada Menteri Kesehatan  dan berkordinasi dengan Ketua Gugus Tugas untuk PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). 

Dari situlah ditetapkan apa saja yang bisa dilakukan di daerah yang ditetapkan terkena "karantina wilayah" itu. Dengan landasan PP itu, maka apa yang ditindakkan oleh para kepala daerah tersebut dapat dilandasi oleh hukum

Apapun dampak keputusan para kepala daerah yang menetapkan karantina wilayahnya sebelum ada PP itu, yakni apakah yang dapat dianggap merugikan kepentingan beberapa pengguna jalan ataupun barang dagangannya, ataupun mereka yang bisa mengerti mengapa dilakukan penutupan wilayah tersebut, hendaknya dapat memaklumi dan menghargainya. 

Mereka berusaha berbuat yang mulia bagi warganya. Hanya saja belum ada pedoman bagaimana harus berbuat untuk mencegah penyebaran covid-19 itu memasuki daerahnya, sehingga masing-masing menentukan sendiri caranya. Hal demikian apabila dibandingkan ada kepala daerah yang sama sekali tidak berupaya demikian, meskipun daerahnya rentan menjadi sebaran virus itu.

Hanya saja, untuk urusan "karantina desa/kampung" yang tidak diatur dalam PP. Itu juga inisiatif mulia dari kepala desa/kampung berikut jajarannya untuk berusaha menghindarkan warga desa/kampungnya tertular virus tersebut.

Itu adalah urusan kepala daerah masing-masing. Yang penting tidak justru merugikan warga desa/kampung itu sendiri ataupun muncul tindakan-tindakan yang bersifat anarkis. 

Begitu pula perlu kiranya Pemerintah Pusat mengeluarkan pernyataan mengenai bagaimana tata cara pemakaman jenasah penderita virus itu dan ada/tidaknya dampak virus itu sesudah jenasah dimakamkan. Ini masih ada masyarakat didaerah yang mempersoalkan, sehingga keluarga yang ditinggalkan bisa lebih menderita batin.

Bisa kita maklumi betapa "ngerinya" virus pencabut nyawa itu apabila dilihat dari angka-angka resmi korbannya. Di awal April saja masih tercatat 1790 orang penderita positif di rumah sakit, 170 meninggal dan 170 dapat disembuhkan. 

Dokter kita yang menangani wabah itu sudah ikut meninggal 11 orang yang dianggap selaku Pahlawan Kesehatan (keterangan Ikatan Dokter Indonesia).

Barangkali tindakan mengkarantina itu bisa dimaklumi bila melihat latarbelakang kondisi disiplin masyarakat, seperti yang masih suka berkumpul-kumpul dan ngrumpi sehingga harus dibubarkan oleh aparat keamanan, nekad mudik dan macam-macam. 

Apalagi untuk melakukan tindakan-tindakan pengamanan diri seperti mencuci tangan, menyemprot disinfektan dan sejenisnya sebagaimana tercantum dalam 8 cara yang dianjurkan. 

Sedihnya, pemerintah kini juga sibuk ngurusi persediaan pangan. Terutama buat masyarakat kota, karena menyusutnya alat transportasi. Padahal, kalau ada yang dirawat sampaipun ada yang meninggal, maka  jadi urusan dan duit Negara. 

Sebab itulah, kesadaran dan tekad kita harus mampu "memenangkan the silent war" melawan covid-19. Semboyan "kita bisa" wajib dibarengi displin untuk kesehatan diri dan masyarakat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun