Mohon tunggu...
Ama Kewaman
Ama Kewaman Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Lahir di Lembata, NTT, pulau terpencil bagai kepingan surga di bumi pada awal oktober 1994. Sekarang mengembara dalam jejak-jeak rantau.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Oktober yang Sepi

31 Juli 2021   11:42 Diperbarui: 31 Juli 2021   11:58 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://pixabay.com/)

Cahaya bulan remang-remang membias dari kaca jendela, menusuk mataku. Udara begitu hangat. Mataku semakin perih. Aku meraba pipiku yang cekung. Air mataku terjatuh. Aku tak tahu apa sebabnya. Aku melihat jam di teleponku, pukul 6: 36. Tak ada pesan atau telepon yang masuk. Aku melihat layar ponselku tak ada yang berubah. Hanya waktu yang terus berjalan, saling bergantian detik ke detik merubah jarum panjang yang menunjukan menit dan menggeser jarum pendek sebagai penunjuk jam. Mereka saling bergantian. Begitu pun seterusnya.

Aku sama sekali tak mengharapkan ucapkan selamat darimu ibu, tetapi perhatian dari orang-orang yang kukasihi sepertimu yang aku butuhkan. Aku tak mengharapkan engkau menanyakan sudah sarapan atau belum, yang kuharapkan adalah kehadiranmu saat ini disisiku. Atau barangkali engkau lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku, ibu. Aku sama sekali tak yakin akan hal itu. Kalaupun tak ada kabar darimu hari ini, atau engkau lupa ibu, aku akan mengatakan pada diriku sendiri, aku akan baik-baik saja. Lalu aku akan bercerita kepada waktu yang telah membeku dengan kerinduanku ini. Aku hanya menjalani kehidupan dengan cinta dan hanya untuk cinta. Dan dengan cinta kepada ibu aku merindu dan kepada kekasih aku melepas nafsu. Mungkin inilah pemahamanku dan caraku sendiri memaknai kehidupan.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan sekuat tenaga. Air mataku pun terus berjatuhan. Kamarku gelap, diluar bulan semakin tinggi dan redup. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Tak ada yang istimewah pada hari ulang tahunku. Ingatanku lenyap dalam lelah dan mengantarkan ragaku dalam tidur. Air mataku pun mongering begitu saja. Aku terkapar bagai serdadu yang mati terhunus pedang.

"kamu tahu nak, hari ulang tahun adalah bertepatan dengan hari kematianmu, hari dimana kamu akan kembali kepada-Nya dalam rupa roh. Hari dimana jiwamu akan lepas dari raga dan kosong.  

Hari ulang tahun adalah hari yang istimewa dimana kamu akan mendapatkan segalanya yang mungkin kau inginkan, tapi ingatlah nak, tidak sedikit yang meninggal saat merayakan ulang tahunnya. Tahukah engkau nak, kematian ada di setiap hari-hari hidupmu, tetapi hari ini kematian akan memburumu lebih kejam. Lebih dekat. Mungkin dibalik kesenanganmu.

Hari ini adalah hari dimana mautmu bertarung melawan doa ibumu, sebab mereka saling membutuhkan engkau. Doamu sendiri tak dapat mengalahkan maut. Ibumu membutuhkanmu dan maut juga membutuhkanmu. Maut adalah milik tuhan dan dia akan mengambilmu kapan pun dia kehendaki dan kamu adalah milik ibumu. Ibumu tak punya kuasa untuk menahan maut, sebab tidak hanya dirimu, ibumu juga sedang diburu maut.   

Oktober adalah doa berantai yang telah kau siapkan dari hari-hari sebelumnya. Oktober adalah kelahiran, oktober adalah kehidupan dan mungkin pula oktober adalah kematian.

Kelahiran telah  menghadirkan engkau dalam kehidupan dari palungan rahim ibumu, dan maut akan selalu mengawasi perjalananmu. Jika tuhan menghendaki kehidupanmu sampaai disini, maut akan menjemputmu. Tapi jika kehidupan masih menjagamu dengan doa ibumu, maka engkau harus memperbaiki kesalahanmu dan berbakti kepadanya." 

"Aku ingin hidup sekali lagi. Aku berjanji akan memperbaiki kesalahanku di masa lalu. Aku berjanji. Sumpah" Jawabku dengan terbata-bata. 

"Jikalau engkau mau, aku akan menuntunmu kesana, ke pangkuan waktu, ke hariban maut." Orang tua itu berusaha membujukku. "Kita akan berdiskusi disana lalu kita akan bertukar jiwa. Kau menjadi aku dan kita akan mati bersama. Berdua. Maukah kau ikut denganku, nak ?"

Aku terjaga dengan napas terengah-engah. Mataku masih berat untuk ku buka. Bayangan orangtua berjenggot putih dan panjang itu masih tergambar jelas dalam sisa kantukku. Ia memburuku bagai maut. Atau barangkali orangtua itu adalah rupa maut. Kamarku masih gelap. Aku menyalakan lampu. Aku melihat jam pada ponselku. Pukul 23: 46. Aku mengusap muka dengan kedua telapak tanganku. Aku menghadap cermin dan berharap semuanya tak akan terjadi. Wajahku begitu muram dan kusam. "hanya mimpi." Kataku sambil sekali lagi mengusap wajah dengan telapak tanganku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun