Penyakit infeksi pada babi merupakan kendala sangat besar dalam mengelola peternakan babi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Para peternak telah melakukan berbagai program pencegahan penyakit infeksi. Bahkan Pemerintah Indonesia  telah  mengucurkan dana untuk program pencegahan penyakit, baik berupa vaksin, desinfektan, maupun obat-obatan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas anak babi masih cukup tinggi, terutama pada peternakan rakyat. Hasil pengamatan di lapangan  pada beberapa peternakan rakyat di Indonesia menunjukkan bahwa induk yang melahirkan 10-12 ekor anak, setelah disapih anaknya rata-rata hidup 6 - 7 ekor. Dengan kata lain, angka mortalitasnya sebesar 30-41,7% ( Ardana, 2012, data tidak dipublikasikan).
Tingginya mortalitas  ini disebabkan oleh banyak faktor, terutama serangan penyakit infeksi yang terjadi mulai anak babi lahir sampai setelah disapih. Kuman penyakit mampu masuk ke dalam tubuh babi melalui berbagai tempat masuk (port dientry) seperti saluran pencernaan bersama makanan dan air minum, pernapasan, dan kulit.
Berdasarkan fakta tersebut, tingginya angka mortalitas anak babi dapat mengindikasikan bahwa usaha pencegahan penyakit infeksi belum sepenuhnya berhasil, populasi kuman penyakit di lingkungan kandang jelas tinggi, kekebalan anak babi terhadap jenis penyakit  mungkin rendah, serta  usaha peternak untuk membunuh kuman  di dalam tubuh anak babi belum maksimal. Karena itu, kuman berkembang dengan leluasa dalam tubuh, selanjutnya  membunuh anak babi tersebut.
Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tindakan pencegahan penyakit agar anak babi terhindar dari serangan penyakit dan tumbuh serta berproduksi secara maksimal. Kiranya mutlak dilakukan strategi pencegahan penyakit, yang bertujuan untuk menurunkan populasi kuman (bakteri, larva cacing, oosit, virus, jamur dan lain sebagainya) di areal kandang (bioskuriti), peningkatan kekebalan anak babi terhadap berbagai jenis penyakit (vaksinasi), serta membunuh kuman yang berhasil masuk ke dalam tubuh babi (medikasi).
Strategi pencegahan penyakit dengan konsep biosekuriti, vaksinasi, dan medikasi tersebut akan diuraikan secara rinci dalam artikel ini.
DASAR PEMIKIRAN
Ternak babi dipelihara di dalam kandang babi dengan ukuran tertentu, sesuai dengan umur dan tipenya. Lingkungan kandang ternak di Indonesia pada umumnya memiliki suhu dan kelembaban yang sangat cocok untuk berkembangnya kuman (germ), baik bakteri, virus, parasit, maupun jamur.
Bila kondisi tubuh inang (babi) kurang prima dan titer antibodi terhadap  penyakit tertentu rendah, maka infeksi akan sangat mudah terjadi, yang pada giliran selanjutnya akan  menyebabkan babi menjadi sakit. Rantai kejadian seperti itu sering disebut sebagai segi tiga epidemiologi, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1.
Pada Gambar 1, ditunjukkan bahwa pengendalian infeksi dilakukan melalui tiga tindakan, yaitu  menurunkan populasi agen penyebab penyakit padalingkungan kandang dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi (biosekuriti), mendorong pembentukan antibodi terhadap penyakit tertentu dengan tujuan agar babi kebal terhadap infeksi  (vaksinasi), dan membunuh agen penyebab penyakit (germ) yang masuk ke dalam tubuh babi yang tidak kebal terhadap agen penyakit tersebut (medikasi). Secara ringkas, disajikan beberapa penyakit infeksi yang telah menyerang ternak babi di Indonesia seperti yang diuraikan pada Tabel 1.
PEMBAHASAN
Penyakit infeksi pada babi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit (cacing, ektoparasit, dan protozoa), serta jamur secara teoritis dapat dicegah dengan menerapkan tindakan biosekuriti, vaksinasi, dan medikasi. Berikut ini disampaikan uraiannya secara rinci.
Biosekuriti
Biosekuriti berasal dari kata bio artinya hidup, dan sekuriti (security) artinya perlindungan. Secara umum, biosekuriti adalah perlindungan hidup yang pada hakikatnya, berupa serangkaian tindakan yang dirancang untuk mencegah masuk dan menyebarnya penyakit ke dan dari sebuah peternakan.
Intinya adalah proses menjauhkan kuman dari babi dan menjauhkan babi dari kuman. Ada beberapa penyakit pada babi yang perlu dicegah seperti disampaikan pada Tabel 1. Agen penyakit masuk ke peternakan akan menyebabkan penyakit klinis, penyakit sub-klinis, dan zoonosis.
Agar populasi agen penyakit pada peternakan dapat ditekan, maka lakukan tindakan ke-5 elemen biosekuriti yaitu: (1) Isolasi/pemisahan, (2) Sanitasi, (3) pengendalian lalu-lintas berbagai objek yang terkait dengan peternakan, (4) pengendalian vektor, dan (5) pembuangan bangkai babi.
Tindakan isolasi atau pemisahan bertujuan menciptakan suasana lingkungan kandang yang terisolir agar babiterhindar dari agen pembawa penyakit (carrier), seperti manusia, hewan hewan liar, unggas liar, udara dan air tercemar, dan pembawa penyakit lainnya.
Tindakan nyatanya meliputi: (1) pengaturan jarak antara lokasi peternakan dengan pemukiman penduduk, yaitu sekitar 400 -- 1000 meter; (2) pengandangan hewan di dalam lingkungan peternakan yang terkendali (adanya terali besi pemisah antara babi dengan hewan lain, seperti misalnya anjing, kucing, tikus, dan lain-lain); (3) pembuatan pagar di sekeliling peternakan untuk mengendalikan lalu-lintas manusia dan hewan lain;
(4)pemisahan babi berdasarkan kelompok umur dan area, di sebuah peternakan yang memelihara babi dengan berbagai umur atau stadium pertumbuhan; serta (5) melakukan sistem manajemen all in --all out(masuk kandang dengan umur sama dan dikeluarkan bersamaan)pada pemeliharaan babi penggemukan. Tindakan ini akan lebih berhasil bila juga dibarengi oleh tindakan sanitasi, seperti berikut ini.
Tindakan sanitasi meliputi pembersihan dan desinfeksi secara teratur terhadap material kandang, peralatan, kendaraan, dan orang yang memasuki peternakan, dengan menerapkan pola sebagai berikut ini.
Pertama adalah membersihkan dan mencuci semua benda-benda organik dengan menggunakan deterjen, kemudian gunakan desifektan yang sudah disetujui oleh dokter hewan penanggung jawab kesehatan dengan mengikuti kadar dan jumlah yang sudah direkomendasikan oleh pabrik pembuatnya.
Adapun jenis dan cara kerja berbagai jenis desinfektan dapat dilihat pada Gambar 2 Ilustrasi Cara Kerja Desinfektan berikut ini:
1) Wilayah yang akan didesinfeksi dalam meter persegi (m2). Perhitungan untuk mencari luas wilayah penyemprotan termasuk semua dinding, lantai, dan langit-langit dilakukan dengan dua langkah. (a). Langkah 1: menghitung luas lantai kandang babi dengan rumus: Panjang (m) x Lebar (m) misalnya 40 m2. (b). Langkah 2: menghitung luas ruangan kandang (termasuk semua dinding, lantai, dan langit-langit) dengan rumus: Luas lantai x 2,5 = Luas permukaan semua dinding, yaitu 40 m2 x 2,5 = 100 m2.
2) Menghitung jumlah air yang diperlukan (berapa banyak air). Jika ingin menggunakan jumlah air 300 ml (0,3 liter) per meter persegi, maka rumusnya adalah jumlah air yang digunakan adalah 300 ml (0,3 liter) x luas total kandang. Terakhir, karena luas keseluruhan adalah 100 m2, maka jumlah air yang diperlukan adalah 100 x 0,3 lt = 30 liter.
3) Menghitung tingkat pengenceran desinfektan yang benar dan sesuai dengan rekomendasi pabrik (berapa banyak disinfektan dan air). Dengan melihat label produk desinfektan, misalnya nama produk yang ada dipasaran DES HPR, ditulis 1 ml/liter air, pengencerannya adalah 1 ml DES HP dalam 1 liter air. Bila jumlah airnya 30 liter, maka DES Hp yang dibutuhkan = 30 ml. Contoh lain bila pada label ditulis pengenceran zat x : 1%, maka diambil 1 gram dilarutkan 100 ml air atau 10 gram zat itu  dalam 1.000 ml (1 liter) air. Jadi, bila air yang dibutuhkan adalah 30 liter untuk total luas kandang 100 m2, maka zat x yang diencerkan = 300 gram.
Kegiatan sanitasi lainnyaadalah memelihara kebersihan pekerja dengan cara mencuci tangan, kaki, sepatu, dan lain-lainnya secara rutin dengan sabun sebelum mulai menangani babi. Pekerja wajib mengganti pakaian dan sepatu sebelum mulai bekerja.Pekerja diwajibkan untuk menangani makanan babi terlebih dahulu sebelum menangani kotoran babi, peralatan yang terkontaminasi, dan babi yang mati (bangkai).
Pengaturan lalu-lintas dalam kandang adalah berupa mengendalikan lalu- lintas manusia, hewan, peralatan, dan kendaraan yang masuk dan keluar peternakan, dan di dalam area peternakan itu sendiri. Tidak diperbolehkan orang lain dan kendaraan masuk tanpa ada kepentingan yang pasti. Pola lalu-lintas memberi makan dan pengontrolan dipeternakandimulai dari ternak babi yang paling muda (piglets)ke ternak yang dewasa atau induk dan juga mulai dari babi yang kondisinya sehat ke babi yang sakit.
Elemen pengendalian vektor dan pembuangan bangkai wajib dilakukan. Jenis vektor (agen pembawa penyakit) seperti tikus, kucing, anjing, kecoak, lalat, burung liar, dan lain-lainnya perlu dikendalikan karena vektor dapat menularkan penyakit. Contohnya, tikus dapat menularkan toxoplasma dan salmonella. Burung liar dapat menularkan flu burung. Pembuangan bangkai ternak dilakukan dengan membakar atau dikubur, yangdapat menekan penyebaran kuman dalam kandang.
Tindakan Vaksinasi
Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (antigen) ke dalam tubuh babi untuk membentuk zat kebal yang spesifik (antibodi spesifik) untuk membunuh agen penyakit yang spesifik, yang mampu masuk ke dalam tubuh (seperti Hog Cholera, Mycoplasma, Pasteurella/SE, Eschericia coli, dan lain lain). Cara vaksinasi adalah dengan menginjeksikan vaksin/ bakterin dari agen penyakit yang spesifik secara terprogram, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Program vaksinasi akan sukses tergantung kepada: status antibodi  maternal induk babi, antigenesitas vaksin (dosis, cara pemberian, cara menyimpan, dan pengangkutan/transport dan ajuvant yang dipakai), dan kondisi babi (genetik yaitu faktor MHC I dan MHC II, status gizi, dan kesehatan babi).
Tindakan Medikasi
Tindakan medikasiadalah suatu tindakan pemberian suplemen dan antibakteri, atau antifungi, atau antiparasit pada babi secara terprogram untuk menjaga kondisi kesehatan babi tetap baik dan untuk membunuh mikroorganisme yang ada dalam tubuh babi yang secara fisik tampak sehat.
Pemilihan dan waktu pemberiam antimikroorganisme dan suplemen tersebut sangat bergantung kepada jenis mikroorganisme yang ada diwilayah peternakan dan kondisi babi yang dipelihara di sana. Oleh karena itu, program medikasi ini tidaklah baku, dan dapat berubah atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan, umur babi, dan stadiumpertumbuhan/status induk. Contoh program medikasi dapat dilihat Tabel 3 berikut ini.
Pengendalian penyakit infeksi pada ternak babi wajib dilakukan, yaitu berupa tindakan pencegahan secara utuh dan menyeluruh, mulai dari tindakan lima elemen biosekuriti, program vaksinasi secara teratur, dan ketepatan memilih jenis obat dan waktu pemberiannya dalam penerapan program medikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bindseil, E. 1972. On The Development of Interstitial Hepatitis ("Milk Spots") in Pigs Following Infection with Ascaris suum. Nord.Vet. Med. (23) : 191- 195.
Brander, G. C., Pugh, D. M., and Baywater, R. J. 1980. The Veterinary Applied Pharmacology Therapeutics, 4th Ed. Bailliere Tindall, London.
Close, W.H, (2001). Feeding and management strategies to improve sow productivity. Asian Pork Magazine. Vol : 1 (10)
Hastasi Wuryastuti. (2002). The Importance of Colostrum / Milk in Swine. International Seminar On Pig Farming " Awakening the Sleeping Giant". Benoa, Denpasar, Bali. Indonesia.
Johnstone, C. 2001. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals. (Parasites of Swine). University of Pennylvania. Diakses Tanggal 30 Februari 2014
Leman. A.D., B.E. Straw, W.L. Mengeling, S. D"Allaire and D.J. Taylor (1996). Diseases of Swine. 7th Ed. Iowa StateUniversity Press / Ames, Iowa U.S.A.
NRC.  (1979).  Nutrient  Requirements  of  Swine.  Eight  revised  edition,  1979. National Academy of Sciences, Washington, DC.
Swenson  M.J.  1970.  Duke's    Physiology of Domestic Animals. Edisi ke--8. CornellUniversity Press, Ithaca, New York.
SCA, (1987). Feeding Standards for Australian Livestock. Pigs. CSIRO Printing Centre. Collingwood, Victoria.
Sihombing.  D.T.H.(1997) Ilmu   Ternak       Babi.  Cetakan     Pertama. Gajah MadaUniversity Press.
Srigandono, B., K. Praseno, dan Soedarsono, (1992). R.D. Frandson. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Gajah Mada University Press.
Supar. 2002 . Escherichia coli dan Kolibasilosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor
Schwabe, Calvin W., Hans P. Riemann,Charles E. Franti. (1977)Epidemiology in Veterinary Practice. Lea & Febiger, Philadelphia.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthrophods and Protozoa of Domesticated Animals 7th. Ed. Bailliere Tindall,London.
Tizard. 1992. Veteriner Immunology: An Introduction. 4 th Ed. W. B. Saunders Company. Philadelphia, Tokyo.
Sumber: www.berbagiilmupeternakan.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H