Mereka juga menolak tergantung pada nasi saja sebagai makanan pokok. Para santri telah terbiasa menggantikan nasi dengan ketela, jagung, pisang muda, dan sorgum. Yang juga tak kalah menarik, demi tetap mempertahankan kedaulatan pangan, mereka membatasi jumlah santri paling banyak tiga puluh orang.
Kedua, mereka berusaha melestarikan keanekaragaman hayati. Di pesantren itu, kita dapat menemukan pelbagai varietas tanaman dari hampir seluruh daerah di Indonesia.Â
Di sawah mereka, misalnya, pelbagai varietas padi ditumbuhkan. Sistem pertanian mereka juga multikultur. Contohnya, dalam suatu lahan kita dapat melihat padi, cabai, dan terong ditanam bersamaan. Nissa Wargadipura, istri Kyai Ibang yang juga pemimpin pesantren, meyakini bahwa sistem multikultur lebih baik untuk daya tahan tanaman sekaligus kesuburan tanah.
Hijrah Ekologis
Diskusi selama acara diperkaya pula dengan perspektif dari ajaran agama Katolik, inspirasi dari bidang pendidikan, cerita sukses pengusaha kopi, musisi sampai aktivitas organisasi mahasiswa.Â
Semua peserta pada akhirnya menyadari pentingnya kembali menaruh perhatian pada lingkungan hidup. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat tidak ada artinya jika alam yang menjadi wahana untuk hidup telah rusak dan tidak mampu lagi menyokong kehidupan. Inilah titik berangkat untuk berhijrah secara ekologis.
Hijrah ekologis adalah gerakan yang bermuara pada kehidupan, persaudaraan, dan cinta kasih, bukan malah sebaliknya. Kiranya pasti jika inilah wujud hijrah yang sesuai dengan hakikat hijrah yang semestinya. Jadi, berminat hijrah? Hijrahlah secara ekologis! (amd)
Artike ini pertama kali tayang di ISLAMI.co (islami.co)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H