Mohon tunggu...
Amanda Mitchener
Amanda Mitchener Mohon Tunggu... -

Saya hanyalah seorang perempuan Bugis yang mengejarilmu dan mencari rejeki di negara orang sambil menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu dari seorang anak lelaki.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

'Berdamai' dengan Kematian

16 Juli 2010   06:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu, saya terlalu takut untuk menyebut kata kematian. Pamali, kata orang tua.

Tapi, selama tiga tahun terakhir. Kematian menjadi suatu hal yang terasa sangat dekat dan lebih dari sebuah kata bagi saya.

Diawali tahun 2007 saat seseorang yang sudah saya anggap sebagai guru, sahabat dan saudara, meninggal dengan tragis dalam kecelakaan pesawat Garuda di Jogjakarta.

Kemudian akhir 2007, ipar suami saya yang masih relatif muda, meninggal dalam tidur diakibatkan sumbatan darah di jantungnya.   Di tahun yang sama, sahabat yang juga rekan seperjuangan saya, beristirahat dalam damai setelah lelah bertarung melawan kanker hati yang dideritanya.

Agustus 2008, ibu mertua saya tercinta, tanpa terduga meninggalkan kami dalam tangis dan kerinduan mendalam yang masih terasa hingga kini.

Desember 2009, ibunda sahabat saya juga berpulang ke Rahmatullah dengan tenang.   Saya merayakan ulang tahun 2010 sambil membacakan Surah Yasin untuk ibunda sahabat saya itu.

Mei 2010 sekitar jam 10 malam,  mobil yang saya kendarai meluncur bebas dengan kecepatan sekitar 120 km/jam di atas jalan yang licin tanpa bisa saya kontrol.   Untuk menghindari tabrakan dengan mobil lain, suami saya memutar setir mobil ke arah pepohonan di perbukitan sepanjang jalan.   Mobil kami terputar, menabrak pohon dan terguling-guling kali sebelum akhirnya berhenti di bahu jalan.

Saat mobil saya terguling, segala doa permohonan maaf saya panjatkan. Saya menutup mata dan menyebut dua kalimat syahadat, berpikir, seandainya saya harus pergi, setidaknya saya bisa pergi sebagai seorang Muslimah. Terbayang wajah Mami, Papi, Kakek, Nenek dan saudara-saudara saya.   Sedih membayangkan bahwa tidak sempat berpamitan dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan saya.

Alhamdulillah, Allah SWT masih mengijinkan saya keluar dengan selamat dari dalam mobil kami yang hancur dan berasap.   Miracle, kata orang-orang yang menolong kami. Hati saya sibuk ber-istighfar saat mobil pemadam kebakaran, Polisi dan ambulans mulai mendatangi kami.   Saya mencoba tenang saat menjawab semua pertanyaan Polisi dan tenaga medis yang menolong kami.

Setelah tiba di rumah sakit, sesuai peraturan negara ini, saya harus menjalani tes napas dan tes darah untuk membuktikan bahwa saya tidak menyetir dalam pengaruh obat-obatan ataupun alkohol.  Alhamdulillah, hasilnya negatif. Saya dinyatakan bersih.

Celana panjang yang saya kenakan harus digunting oleh suster karena posisi pergelangan kaki saya yang patah tidak memungkinkan mereka mengeluarkan celan panjang saya seperti biasa.  Saya masih bisa tenang dan menjawab setiap pertanyaan dokter yang memeriksa saya.

Hingga akhirnya sekitar jam 3 pagi, setelah para suster dan dokter sibuk mempersiapkan kamar operasi dan meninggalkan saya seorang diri, tangis sayapun mengalir deras.   Perasaan takut, sedih dan sakit yang luar biasa membuat saya menangis dan terus menangis.

Astagfirullah, saya merasa sangat ngeri mengingat betapa dekatnya saya dengan kematian malam itu.  Saya merasa masih sangat tidak siap untuk menghadap Sang Pencipta.   Saya belum bisa mempertanggungjawabkan kehidupan yang sudah dipinjamkan kepada saya selama ini. Saya tidak akan bisa menjawab pertanyaan apa yang sudah saya lakukan selama hidup saya sebagai pengembara di dunia ini.

Sudah cukupkah saya membaktikan diri kepada kedua orang tua saya sebagai balas budi seorang anak?

Sudah cukupkah saya membahagiakan suami saya dan menjalankan amanah sebagai seorang istri?

Berbagai pertanyaan membuat saya menangis dan terus menangis.   Sampai sekarang pun, saya masih terus menangis saat melihat kaki saya yang terbalut dan belum bisa digunakan kembali.

Tapi, saya kemudian tersadar bahwa saya masih beruntung karena diberikan kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk 'panggilan' berikutnya.   Saya jadi terpikir bahwa kematian bukanlah hal yang bisa saya tawar.   Kita tidak akan pernah tahu kapan waktu kita untuk kembali pada-Nya.

Kini, saya mencoba 'berdamai' dengan kematian.   Kini saya menganggap bahwa kematian bukanlah hal yang harus kita takutkan melainkan hal yang harus kita perhitungkan dan persiapkan dengan baik.

Mencoba menghindari dan mengurangi perbuatan dosa sambil menjalankan segala perintah-Nya bukanlah hal yang mudah tapi juga bukan hal yang mustahil.   Paling tidak saya akan mencoba!

Saya terus mengingatkan orang-orang yang saya cintai betapa berartinya mereka dan betapa berterima kasihnya saya atas segala kebaikan mereka.   Setiap malam sebelum tidur, saya memeluk dan mencium tangan kanan suami saya yang terluka sambil meminta maaf atas kesalahan-kesalahan saya.

Sebelum menutup mata, saya bisikkan pernyataan cinta saya kepada suami.   Setelah menutup mata, saya panjatkan doa memohon maaf dan berterima kasih pada Sang Pemilik Kehidupan. Sekadar berjaga-jaga sekiranya kematian menjemput sebelum saya sempat melihat matahari pagi bersinar lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun