Mahasiswa ; Akademik, Organisatoris dan Aktivis
Di dunia yang serba relative seakan menuntut adanya skala prioritas diri yang handall agar apapun yang kemudian dijadikan konklusi atas setiap persoalan yang hadir warnai perjuangan selalu positif dan dipertimbangkan secara matang berdasarkan segala probabilitas dari apa yang menjadi konklusi atas persoalan hidup yang kita hadapi.
Beberapa persoalan yang kemudian dikaji berdasarkan latarbelakang hadirnya persoalan tersebut kadang dan kebanyakan memberikan nuansa yang berbeda, asumsi yang berbeda, statement yang berbeda pula tergantung  pemahaman dari setiap elemen yang berperan sebagai eksekutor maupun mereka yang hanya berperan sebagai penonton dalam setiap skenario yang kita lakukan. begitu pula yang kemudian berkembang dikalangan kaum-kaum intelektual dalam hal ini orang yang menyandang status sebagai mahasiswa terlebih-lebih orang--orang yang mengklaim dirinya seorang organisatoris maupun aktivis.
Kalau kita mencoba mengkaji lebih jauh terkait label yang disandang para mahasiswa saat ini baik akademis, organisatoris maupun aktifis sekalipun, kadang pemahaman yang mereka hadirkan itupun beraneka baik dari segi mainset ataupun pola pikir dalam menyikapi suatu persoalan pun beraneka ragam, baik itu dari mahasiswa yang orientasinya hanyalah akademis semata, baik itu dari mahasiswa yang notabenenya seorang organisatoris maupun mahasiswa yang berlabel seorang aktivis. Peran dan juga fungsi serta ruanglingkup  prosesnya pun berbeda-beda. Dari kacamatanya saya selama saya menyandang status sebagai seorang mahasiswa kebanyakan mahasiswa baik akademisi, organisatoris maupun aktifis kadang cenderung untuk mengkritisi setiap persoalan yang kemudian hadir baik dalam ruanglingkup kampus maupun dalam ruanglingkup masyarakat dan juga pemerintah sebagai bentuk manifestasi peran dan fungsinya sebagai seorang mahasiswa baik itu sebagai Agen of changes (agen perubahan), Agen of control (agen pengontrol), Agen of analitik (penganalisa) yang kemudian terinklut dalam perannya sebagai mahasiswa yakni Moral of force. Kalau kita kembali melihat serta mengkaji peran serta fungsi dari seorang mahasiwa diatas jelas bahwa apa yang kemudian menjadi latarbelakang atas kritikan-kritikan yang dihadirkan seorang mahasiswa baik itu terhadap kampus,masyarakat dan juga pemerintah itu sudah menjadi tanggungjawab moral sebagai seorang mahasiswa yang menempati posisi sebagai middle class dalam strata masyarakat, yang mana kalau dalam tataran kehidupan masyarakat yakni masyarakat, mahasiswa dan pemerintah. Tapi kalau dalan tataran kampus yakni mahasiwa, LEMKA, birokrasi kampus. Itulah yang kemudian menjadi objek dari peran dan fungsi dari mahasiwa yang kemudian memacu adanya kritikan-kritikan hinggah berujung pada aksi (demonstrasi). Setiap tindakan-tindakan mahasiswa tersebut kadang mendapat respon ataupun tanggapan positip, ada yang negative bahkan ada yang menolak secara spontanitas. Pertanyaan sederhana yang kemudian mau saya kemukakan disini yaitu "kenapa demikian ??? karena jelas apa yang kemudian menjadi alasan kenapa semua tindakan mahasiswa baik hanya sebatas kritikan hingga berujung aksi saya kira semua sudah terinklut dalam peran dan fungsi dari mahasiswa itu sendiri. Pertanyaan sederhana semacam ini harus kemudian kita kaji secara matang karena realitas kembali menjelaskan bahwa itu semua jelas terjadi saat ini.
Ada satu hal yang kemudian menjadi keresahan saya selama kurun waktu saya menyandang status sebagai mahasiswa yaitu kebanyakan mahasiwa entah apapun labelnya baik itu akademis, organisatoris dan juga aktifis lebih cendrung bahkan kebanyakan mengeluh atas kebijakan-kebijakan yang dihadirkan baik dalam kehidupan kampus maupun dalam kehidupan masyarakat dan meluapkannya dalam bentuk kritikan hingga aksi, tapi tidak semua mahasiswa. Mahasiswa yang kemudian berpikir bagaimana solusi dari apa yang kemudian mereka kritisi dan mereka kebanyakan mengeluh tanpa kemudian berpikir bahwa mereka terkesan mengumumkan ketidakmampuan mereka dalam menghadirkan sebuah solusi atas persoalan yang tengah dihadapi. Hanya segelitir mahasiswa yang berpikir soal ini. Kemana yang lain koq yang mengkritisi banyak tapi yang cari solusinya koq hanya segelintir orang ??? inilah yang harus kita renungkan secara bersama-sama sebagai mahasiswa.
Maka mau jadi mahasiswa akademis,mau organisatoris,bahkan aktifis itu hak secara individual tidak ada otoriter kaku yang mengintervensi kebebasan berproses secara individual tapi harus digarisbawahi bahwa kita punya tanggungjawab moral baik itu kepada orangtua,masyarakat dan juga Negara maka harus kemudian diingat bahwa jangan pernah bicara soal adealisme, kalau kita tidak punya yang namanya prinsip.
Mungkin ketika asumsi seperti yang saya paparkan diatas secara spontanitas saya utarakan mungkin kemudian teman-teman berpikir bahwa saya sedang mngkambinghitam mahasiswa atas persoalan persoalan yang terjadi dan atas apa yang teman-teman lakukan terkait dengan persoalan yang terjadi demi mendapatkan sebuah solusi dan titik terang dengan cara-cara yang biasa kita lakukan bersama baik berupa kritikan hinggah berujung dengan aksi......serta mengklain diri saya layaknya seorang dewa ktika sebuah jalan yang dtempuh membuahkan hasil dan sebuah titik terang. Tapi harus kita pahami bersama bhwa apapun yang kita lakukan tersebut semata-semata sebagai bentuk kepedulian,loyalitas dan kecintaan kita terhadap kampus,masyarakat dan juga masa depan bangsa seperti apa yang kemudian disampaikan proklamator kita bung karno " seorang patriot bangsa mencintai tanah airnya tapi tidak menghilangkan kritik terhadap bangsanya" maka saya kemudian menyimpulkan bahwa apa yang kita lakukan itu tidaklah salah. Tapi alangkah lebih baik ketika apapun yang kita lakukan,apapun yang kita kritisi,isu apapun yang kita smua harus kemudian dikaji secara matang untuk mendapatkan sebuah kepastian serta kebenaran dari isu ataupun persoalan yang mau kita kritisi. Karena realita sekarang kembali menjabarkan kepada kita semua bahwa kadang banyak sekali kepentingan segelintir orang yang kemudian di sisipkan disitu,banyak sekali orang-orang yang memanipulasi isu demi kepentingan secara individual dan kelompok-kelompoknya. Bahkan harus kita ketahui bersama bahwa kadang itu hadir dan ada dalam komunitas mahasiswa itu sendiri. Ini kan anehhh ??? ketika kita menyuarakan suara banyak orang (masyarakat) tapi tho kita punya kepentingan-kepentingan yang kemudian bias merusak jati diri kita sebagai mahasiswa di kalangan masyarakat.
Dari persoalan persoalan yang coba saya angkat dalam ruanglingkup mahasiwa tersebut diatas bisa kemudian juga berimbas pada Nasionalisme mahasiwa itu sendiri cendrung menurun secara drastic ketika kita mncoba mnjadikan masa lalu,masa penjajahan sampai era reformasi sebagai barometer untuk kemudian membedakan bagaimana perjuangan kaum-kaum intelektual muda dahulu,bagaimana Nasionalismenya,bagaimana tujuan perjuangan,apa yang mnjadi latarbelakang pergerakannya,semua jelas sehinggah apapun yang mereka lakukan membuahkan hasil hinggah kita kemudian menghirup kebebasan. Kenapa saya tidak mngatakan bahwa kita mnghirup kebebasan bukan kemerdekaan krn belum secara totalitas kita mnikmati yang namanya kemerdekaan. Kita masih merasakan penjajahan secara mental,penjajahan secara polapikir dan lain sebagainya serta ruang lingkup proses dan juga pergerakan kita pun masih dibatasi sehinggah ruang untuk kita berkreasi dan mengaktualisasikan apa yang kita dapatkan pun diintervensi secara realitas. Maka benar apa yang di uatarakan oleh Bung karno dalam pidatonya pada saat proklamasi bahwa " perjuangKu lebih mudah karena mengusir penjahah dari tanah air tapi perjuanganMu akan lebih sulit karena kamu akan melawan bangsaMu sendiri ". Itulah yang harus kita pahami secara bersama-sama. Maka kembali saya tekankan bahwa Nasiaonalisme  itu sangatlah penting ketika yang mau diperjuangkan itu kepentingan banyak orang, kepentingan rakyat kecil dan masa depan bangsa.
Nasionalisme
Ketika berbicara mengenai nasionalisme dalam konteks Indonesia pada saat ini, tentunya tidak terlepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perkembangan kontemporer kita saat ini. Kedua hal ini masih terus mempengaruhi nasionalisme, baik itu dari aspek definisi atau aspek praktikal, dan tidak hanya saling mempengaruhi, namun juga akan memunculkan silang pendapat antara golongan yang berusaha menghidupkan kembali romantisme masa lalu dan golongan yang berusaha memahami realitas pada saat ini.
Perdebatan antara sejarah dan perkembangan saat ini dan kemudian muncul pro-kontra antara golongan yang satu dengan yang lain akan selalu memunculkan sebuah pertanyaan besar, yaitu: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia? Pertanyaan yang sebenarnya hanya membutuhkan kalimat selanjutnya yang cukup panjang ini, seakan tidak pernah tenggelam di antara isu-isu lain yang berkembang, karena pada akhirnya isu-isu tersebut bisa dikaitkan dengan nasionalisme.
Nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Dalam konteks Indonesia, pengertian ini dapat kita cocokkan dengan sejarah Indonesia ketika tahun 1945, yang pada saat itu para pendiri bangsa berusaha membuat sebuah nasionalisme yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah jajahan Belanda. Nasionalisme yang kemudian dihasilkan adalah sebuah nasionalisme yang berdasarkan kepada kesamaan nasib. Konsep yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut, berhasil untuk mempersatukan wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia pada saat ini.
Nasionalisme akan mudah untuk dimengerti dan diimplementasikan jika ada musuh bersama. Jika musuh ini hilang, maka ikatan nasionalisme akan mengendur dengan sendirinya. Preseden yang muncul di Indonesia mempertegas pendapat ini. Jika kita melihat ke tahun 1940-an, ketika Belanda masih berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I dan II, nasionalisme di kalangan masyarakat masih kuat, sehingga perjuangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar 1949 membuahkan hasil diakuinya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun pasca-KMB 1949, Indonesia kehilangan musuh bersama dan golongan-golongan dalam masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama masa tersebut. Nasionalisme sempat muncul meski sebentar, ketika Indonesia mengeluarkan sikap politik luar negeri terhadap Malaysia dengan Dwikora. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena kondisi internal dalam Indonesia memang sedang rapuh. Setelah itu, nasionalisme dapat dimunculkan kembali ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan sebagai musuh bersama karena dianggap sebagai biang keladi Gerakan 30 September. Lebih dari 30 tahun kemudian, Indonesia memperoleh kembali sebuah musuh bersama, yaitu Orde Baru, sehingga gerakan nasionalisme dapat menghasilkan reformasi dan demokrasi yang selama 30 tahun dikebiri. Namun ketika musuh bersama tersebut telah berhasil dilumpuhkan, kepentingan kelompok kembali muncul mengesampingkan nasionalsime itu sendiri. Kejadian-kejadian historis di Indonesia tersebut mempertegas bahwa nasionalisme dapat secara efektif diimplementasikan apabila masyarakat dalam sebuah negara memiliki musuh bersama.
Â
Gerakan Mahasiswa dan Nasionalisme masa kini
     Dari preseden yang ada mengenai nasionalisme, musuh bersama menjadi sebuah kebutuhan jika nasionalsime ingin mempunyai tempat dalam kehidupan Indonesia. Namun pencarian terhadap musuh bersama ini tidaklah sekadar mencari subyek ataupun obyek yang sekadar dijadikan tumbal caci maki oleh civil society (yang di dalamnya terdapat juga gerakan mahasiswa), melainkan juga harus mencari subyek atau obyek yang memang harus dijadikan musuh bersama karena pengaruhnya yang buruk bagi masyarakat. Nasionalisme akan selalu berkaitan erat dengan masalah kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan adalah sebuah hal yang mutlak dimiliki oleh sebuah negara dan tidak bisa diganggu gugat oleh negara atau pihak manapun. Pada perkembangan saat ini, kedaulatan negara tidaklah lagi menjadi hal yang mutlak untuk dipraktekkan. Karena dengan munculnya berbagai macam organisasi internasional (OI) dan semakin kuatnya posisi tawar negara-negara maju di dalam OI tersebut, kedaulatan negara menjadi semakin kabur. Prinsip koordinatif yang dikembangkan ketika awal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) muncul menggantikan Liga Bangsa-bangsa (LBB) tidak lagi tegas jika sudah berhadapan dengan kepentingan negara-negara besar. Nasionalisme telah digantikan oleh globalisasi sedikit demi sedikit. Globalisasi yang lahir dari budaya sebuah bangsa, dan dijadikan budaya tunggal dunia. Indonesia terkena dampak dari globalisasi ini. Hukum positif Indonesia tidak lagi menjadi kewenangan legislatif, melainkan harus mematuhi regulasi internasional yang dihasilkan oleh OI yang dikontrol oleh negara-negara maju.
Nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Negara-negara maju pada saat ini menekankan pentingnya nasionalisme ketika mereka sedang berada dalam posisi sebagai negara sedang berkembang. Ketika posisi mereka berubah, nasionalisme mereka tidak ikut berubah dan justru berusaha menyebarkan nasionalisme mereka ke negara lain. Jadi, ketika muncul pertanyaan: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia, hal ini harus dijawab dengan mudah jika melihat preseden dan memiliki visi yang tegas mengenai bangsa ini. Bangsa yang tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, akan selalu menjadi bangsa kelas dua di lingkungan internasional, akan selalu menjadi bangsa konsumtif yang dependen terhadap negara lain. Kedaulatan penuh dapat diwujudkan jika masyarakat dalam suatu bangsa memiliki visi yang kuat untuk mengarahkan bangsanya menjadi lebih baik. Sebuah visi yang kuat dapat lahir jika dilandaskan dengan nasionalisme. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini.
Lalu bagaimana mahasiswa Indonesia mewujudkan nasionalisme yang erat kaitannya dengan musuh bersama? Tindakan apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa Indonesia? Berbagai cara diwujudkan oleh civil society dalam mencari musuh pada saat ini untuk menunjukkan nasionalisme mereka, terlepas dari kepentingan yang mereka usung. Ada yang melalui tindakan elitis, persuasif, underground, sampai pada taraf anarkis. Isu yang muncul pun semakin beragam seperti program peningkatan kualitas pendidikan, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan multinasional, anti OI, dan lainnya. Tindakan mewujudkan nasionalisme melalui metode-metode dan isu-isu tersebut terjadi dengan mendasar pada kondisi yang berkembang pada saat ini. Mahasiswa Indonesia tidak harus terikat dengan metode-metode dan isu-isu yang ada. Kajian ilmiah menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa Indonesia yang merupakan civil society berbasis kaum intelektual untuk dapat mengidentifikasi musuh bersama yang ingin dikedepankan. Tanpa adanya kajian ilmiah yang mendalam, aksi dalam mengedepankan musuh bersama untuk membangkitkan kembali nasionalisme hanya akan menjadi aksi taktis yang tak ada kontinuitasnya. Kajian ini juga tidak hanya sekadar bergerak dalam isu-isu terkini saja, namun juga harus mampu mengantisipasi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, sehingga mahasiswa Indonesia tidak tergagap-gagap untuk menghadapi perubahan masyarakat yang drastis.
Ikhtiar Gerakan Mahasiswa dan  Nasionalisme masa depan
Kajian ilmiah yang menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa Indonesia dalam membangkitkan kembali nasionalisme, harus mampu diwujudkan jika mahasiswa Indonesia tidak ingin terjebak dalam romantisme masa lalu. Mahasiswa Indonesia harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas dirinya agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia. Ketika kualitas diri mahasiswa Indonesia meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat, mahasiswa Indonesia akan mampu menjadi Penopang bagi pergerakan nasionalisme di Indonesia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H