Malam minggu dengan rindu seperti anggur pada cawan atau kopi hitam dan cangkirnya pada bekas bibir sahabat di suatu senja di antara deru ombak dan bibir pantai.Â
Sembari mengcover lagu lawas kita menceritakan bagaimana yang monoton menggerus akal sampai lupa kalau selepas magrib ketika gelap kembali rebah di dada Malam, ada malam paling syaduh pun kembali menyapa ; membawah ingin sampai dingin lalu syair rindu itu mengaduh gaduh.
Mengapa demikian sendu, lantas takut menikmati rimaNya ??? Bukannya sebuah kesyukuran, bisa jatuh cinta kembali setelah remuk yg terlanjur mengunci ???
Saya ingat betul disore itu Ia datang menagih janji tentang kopi hitam dan sua yang terlanjur kami kemas di beranda maya. Saya yakin Ia pasti datang dengan hijab menutup aurat sebab setahu saya, Ia per-EMPU-an berAgama yang cukup talaten merawat akal dan hati lantas harga diri.Â
Lalu akhirnya kami bersua tepat saat arak-arak awan menghantar matahari kembali keperaduannya. Senja yang menua menghamparkan jingga yang ranum tak kuasa memalingkan pandanganku dari lentik alis dan sorot mata indah bak bola pimpong. Menatap lekat matanya. Mencermati gerak bibir natural, sembari mendengar bagaimana perempuan tangguh itu mengulas detail hatinya lalu beralih karier.
Kali ini Ia datang lagi dibawah atap langit kota yang saya tempati untuk berkarier, tapi kali ini tanpa riuh kabar setelah sehari lamanya melintas di jalan-jalan yang pernah saya lalui. Lampu hijau diberanda maya menandakan Ia aktif dunia maya. Entahlah mungkin lelah seharian menggulung jarak, lalu menjadi dekat tanpa ada.
Akh !!! Mari sejenak jadi bahu rebah letih, agar saya dapat menyeduh nikmat anggur kerinduan dari cawanmu. Lantas memelas iba, sebab air-air kearifan itu hanya berasal dari ranum buah dadamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H