Ditengah persoalan hajat hidup masyarakat desa yang multiaspek dan intervensi pusat yang langgeng lewat hegomoni prosedural, dibutuhkan seorang pemimpin yang bukan saja paham mekanisme dan sistem kerja desa tapi harus prinsipil dan punya nyali. Masyarakat dituntut untuk memberikan pilihan politik bukan karena ada unsur paternalistic (baca; kekeluargaan), memilih bukan karena diberi uang atau politik transaksional dan memilih bukan karena ada pressure structural (baca; tekanan structural) serta politik balas budi atau politik etis. Kendatipun budaya politik itu lahir dari budaya masyarakat setempat.
Hajatan demokrasi enam tahunan di desa memiliki tensi politik yang cukup mengguras isi kepala para calon kepala desa, namun kalah dan menang dalam setiap kompetisi politik merupakan hal yang lumrah. Jika kalah mesti dengan legowo menerima kekalahan dengan lapang dada, kalaupun menang mesti merangkul kembali yang tercerai berai. Upaya rekonsilasi jedah pertarungan politik desa mesti diupayakan seadem mungkin untuk menjaga stabilitas proses penyelenggaraan desa berkelanjutan. Mengutip pesan Rm. Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, SJ bahwasanya politik bukan untuk memilih yang terbaik, namun sebuah upaya untuk memastikan orang-orang yang buruk tidak bakal terpilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H