Judul film ini mengelitik saya, sehingga memutuskan untuk menontonnya. Jika rasa ingin tahu menjadi alasan mengapa judul film ini dibuat, maka marketing mereka berhasil. Masa iyah sich, khan cuma saya yang tertarik. Ingat yah, satu pelanggan saja terpuaskan maka itu menjadi satu modal untuk terus meningkatkan pendapatan. Bisa jadi, bisa jadi...
Back to the point yah, sepertinya The Perfect Husband ini hendak meramaikan film-film yang bermunculan dengan mengangkat tema drama romansa masa anak SMA, sebut saja diantaranya: Dilan dan Temen Tapi Menikah. Tapi, memang saya yang separuh baya ini, tidak mengingkari bahwa film romansa anak SMA selalu mendapatkan tempat bukan hanya bagi anak-anak remaja namun juga mereka yang hendak sedikit bernostalgia dengan masa SMAnya dulu, malah curhat, hehehehehe...
Baiklah, ingat yah saya tidak ingin menilai sebuah film dari segi teknisnya, namun apa manfaat film itu buat saya, lalu saya bagikan dengan harapan bisa menjadi insight juga untuk semua.  The Perfect Husband bergenre  drama komedi. Dua karakter utama pada film The Perfect Husband yakni Arsen dan Ayla diperankan Dimas Anggara dan Amanda Rawles. Selain Dimas dan Amanda,ada beberapa bintang yang lainnya seperti: Maxime Bouttier, Slamet Rahardjo, Tanta Ginting, Maya Wulan, Dolly Martin, dan Bunga Zainal. Meskipun tidak melulu romantis namun diselingi beberapa humor disana-sini dalam rangkaian filmnya, The Perfect Husband menyajikan tontonan ringan namun bermakna.
Awalnya, saya mempertanyakan, benarkah ada suami yang sempurna? lalu sampai juga pada pikiran, kalau film ini akan menunjukkan inilah contohnya suami yang sempurna. Wow, It is deep, isn't it? Namun, seperti biasanya saya selalu berusaha untuk melihat sisi yang saya dapatkan dan bukan hal yang teknisnya. Ok, ini yang saya dapatkan dari The Perfect Husband:
Pertama, menentukan pilihan. Sebagai orang tua, ayah Ayla telah melakukan tugasnya dengan baik. Sebagai seorang single parent tentunya tidak mudah untuk membesarkan anak seorang diri. Ia dan seluruh orang tua di dunia ini menghendaki yang terbaik bagi anak-anaknya, dan bukan sebaliknya. Disinilah letak persoalan yang terjadi di film ini, harapan orang tua dan keinginan anak tidak selalu berjalan beriringan. Ayah Ayla tidak menghendaki anak bungsunya untuk menjalin hubungan dengan pacarnya yang bernama Aldo, yang notabene seorang Rocker. Hal itu ditunjukkan dengan memanggilnya begundal. Tentu saja ini membuat berang anak bungsunya, sampai-sampai harus menyelinap keluar jendela demi menonton konser Aldo.Â
Dibagian lainnya, ayah Ayla telah memiliki calon yang menurutnya adalah calon suami sempurna buat Ayla, Arsen, pemuda ganteng yang mempunyai profesi sebagai seorang pilot. Anak temannya sendiri. Arsen merupakan pemuda keturunan ningrat. Film ini memang menunjukkan kontradiksi bak langit dan bumi. Pilihan yang memang berat sebelah, pilihan yang sepertinya sudah pasti akan jatuh pada Arsen dan bukan Aldo. Pilihan yang memang kebanyakan orang tua akan mengatakan, ada apa dengan Ayla sampai cuek dan jutek pada Arsen dan memilih Aldo.
Disinilah yang menarik, tanpa disadari saat memilih tentunya pilihan kita akan menjadi prioritas dan bukan pilihan orang lain buat kita, sesempurna pilihan orang lain tidak akan pernah bisa dikatakan cukup oleh pikiran kita, sekalipun itu adalah pilihan orang tua. Apalagi disini adalah cinta yang dipertaruhkan, semakin runyam dunia.
Sret, saya bawa sedikit kedunia nyata yah, kita tidak akan pernah tahu, Aldo atau Arsen yang akan bisa menjadi suami sempurna buat Ayla. Sempurna disini standarnya apa? Mengapa harus sempurna jika yang tidak sempurna saja sudah cukup membahagiakan. Sempurna juga banyak yang berakhir dengan ketidakbahagiaan. Lalu bagaimana? Setiap pilihan pasti ada resikonya, silakan memilih dan hadapi resikonya, itu saja.
Kedua, menyikapi pilihan. Ayla memang memilih Aldo awalnya, karena memang dia adalah pacarnya. Alih-alih cinta menjadi alasan dia memilih pacar rockernya, itu juga menjadi senjata untuk melawan keinginan ayahnya dan usaha Arsen untuk mendapatkan simpati dan cintanya. Potensi baik dan buruk selalu ada pada setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi ini.Â
Dalam film ini memang Ayla digambarkan sebagai seorang gadis keras kepala, pembangkang dan tidak dewasa. Ayla memberi porsi untuk memilih menjadi gadis keras kepala, pembangkang dan tidak dewasa, sebagai sebuah protes atas pilihan dan keinginan ayahnya. Apakah Ayla memang demikian adanya? Bisa jadi.
Ayla selalu memiliki pilihan untuk bertingkah sebaliknya, namun itulah yang dipilihnya. Pilihan itu pun ahirnya berakhir tragis dengan kepergian ayahnya untuk selama-lamanya. Pilihannya itu pun ternyata tidak seperti yang pernah dipikirkannya, meskipun dia sempat sadar, namun dia menepis itu semua, karena dia ingin untuk tetap memilih apa yang menjadi pilihannya.
Arsen sebagai lelaki keturunan ningrat, ganteng dan mapan pun juga memiliki pilihan. Yah, awalnya memang pilihannya itu adalah sekadar mengikuti permintaan ayah dan teman ayahya, yaitu ayah Ayla. Pilihan Arsen ini pun membawanya pada serangkaian pilihan-pilihan yang sulit dan tidak mudah. Arsen memilih untuk tetap dan pantang menyerah pada pilihannya itu. Dia mewakili orang yang mau memilih dan memperjuangkan pilihannya itu dengan sekuat tenaga.
So, apapun pilihannya, bukan tergantung apa minumannya, namun bergantung sikap dalam menjalani pilihan tersebut.
Ketiga, The Perfect Husband, memang ada? Saya secara pribadi menyatakan tidak ada, nobody perfect. Ada banyak wanita yang terjerat dengan katagorial ini. Mereka merelakan menunggu yang tepat sampai pada akhirnya lupa tujuan dari menikah itu sendiri. Tidak akan ada the perfect husband jika tidak ada istri yang memang bisa menerima suaminya demikian adanya.Â
Pernikahan tidak akan pernah ada jika menunggu the perfect husband. Segebok qualifikasi tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan mereka, suami yang sempurna. Hasilnya lebih pada kontra produktif, alih-alih mencari suami yang sempurna, namun akan mendapatkan luka dan rasa sakit karena qualifikasi-qualifikasi tersebut.Â
Sibuk mencari yang sempurna mengabaikan perhatian-perhatian sederhana dari sekitarnya. Sesaat setelah janji pernikahan dan tiga bulan masa bulan madu, suami yang sempurna menjadi sirna karena hanya berfokus pada kata perfect daripada menggali sesuatu yang dapat dilakukan untuk menolongnya menjadi perfect.
Akhir film ini memang sedih sekaligus bahagia, namun demikianlah hidup. The Perfect Husband is not there but here in your heart and how you help him to become one.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H