Energi listrik merupakan kebutuhan utama bagi masyarakat dunia, listrik memiliki peran penting dalam setiap aktivitas manusia. Semakin tinggi aktivitas manusia, maka semakin tinggi pula kebutuhan energi listrik. Permintaan listrik yang tinggi dewasa ini tentu akan mempengaruhi ketersediaan listrik dan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik saat ini menjadi gejolak ditengah pelayanan ketersediaan listrik yang belum memuaskan. Pemadaman listrik masih sering terjadi dibeberapa daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia (RI) (2009) dalam Master Plan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010 – 2014, Provinsi Sumatera Utara diduga mengalami defisit listrik sebesar 6,4 MW (tidak termasuk pasokan listrik dari Sistem Sumatera Bagian Utara/Sumbagut). Adapun keseluruhan Pulau Sumatera juga mengalami defisit yang berkisar 224,85 MW. Berdasarkan data Kementerian ESDM tersebut, Indonesia diduga mengalami defisit listrik sebesar 228,34 MW dari total defisit listrik dibeberapa daerah sebesar 497,82 MW dan surplus listrik beberapa daerah sebesar 269,48 MW.
Tidak diragukan lagi, berdasarkan data tersebut, Indonesia akan mengalami krisis energi beberapa tahun yang akan datang, jika Indonesia tidak memanfaatkan sumber-sumber energi lain untuk memasok energi listrik. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam tidak terbarukan maupun terbarukan yang mampu dikembangkan sebagai sumber energi listrik. Namun, cadangan sumber energi yang berasal dari energi tidak terbarukan diperkirakan akan habis, minyak bumi diduga habis sekitar 12 – 13 tahun kedepan, gas alam 30 – 31 tahun kedepan, dan batubara sekitar 60 – 70 tahun kedepan.
Keterbatasan energi fosil tersebut harus dipertimbangkan, mengingat kebutuhan listrik semakin meningkat yang diduga disebabkan oleh pertumbuhan sektor industri dan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan data Pusdatin Kementerian ESDM RI (2010), permintaan energi masa mendatang akan didominasi oleh permintaan sektor industri (47,3%), diikuti oleh sektor transportasi (29,8%) dan rumah tangga (14,1%).
Percepatan pengembangan energi baru terbarukan memang sangat diperlukan dan telah direncanakan dalam bauran energi (mix energy) nasional pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akan tetapi, implementasi energi baru terbarukan tidak secara nyata terealisasi pada skala besar untuk mencukupi kebutuhan ataupun kekurangan energi listrik di Indonesia.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) menjadi tumpuan Pemerintah dalam menjalankan program-program Pemerintah untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Peraturan Presiden tersebut menyatakan bahwa bauran energi nasional untuk minyak bumi sebesar 20%, batubara sebesar 33%, dan gas sebesar 30%, serta energi baru terbarukan (EBT) sebesar 17% yang selanjutnya dikembangkan sesuai perencanaan bauran energi 2015 – 2050. Bauran energi terbarukan tahun 2015 – 2050 disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, terjadi peningkatan rancangan bauran energi terbarukan nasional, sehingga besaran energi terbarukan sebesar 31% pada tahun 2050. Kondisi tersebut merupakan hal positif dalam rencana pengurangan pemanfaatan energi fosil. Akan tetapi, dengan kondisi ketidakpastian peningkatan permintaan energi, fluktuasi harga energi fosil dunia, dan keterbatasan sumberdaya, maka Indonesia membutuhkan percepatan pemanfaatan energi baru terbarukan dalam skala besar atau industri agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Perencanaan bauran energi baru terbarukan (Tabel 1) menggambarkan sumber-sumber energi yang termanfaatkan saat ini. Diversifikasi energi ini masih didominasi oleh energi yang bersumber dari Biomassa Biofuel, Biomassa Sampah, dan Panas Bumi, serta kedepan rencana pemanfaatan energi Nuklir juga cukup besar. Hal tersebut tentu mempertimbangkan potensi sumber energi yang tersedia. Akan tetapi, melihat potensi Indonesia sebagai Negara Maritim, maka potensi energi laut seharusnya mampu dikembangkan sebagai sumber energi utama kedepan.
Visi membangun Negara Maritim merupakan visi penting memandang Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumberdaya kelautan. Salah satu potensi tersebut adalah energi laut.Potensi energi laut Indonesia berdasarkan data Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) secara teoritis energi panas laut (OTEC) sebesar 57 GW, gelombang laut sebesar 510 GW, dan arus pasang surut sebesar 160 GW. Potensi energi ini seharusnya mampu dikembangkan secara optimal, sehingga dapat menutupi defisit energi PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Pengembangan energi laut saat ini membutuhkan teknologi pembangkit listrik energi laut, infrastruktur energi laut yang memadai, meningkatnya akses masyarakat terhadap energi, dan meningkatnya efisiensi penggunaan energi.Kebutuhan tersebut adalah bagaimana Pemerintah berani berinvestasi pada instalasi pembangkit listrik yang bersumber pada energi laut.
Investasi instalasi pembangkit listrik energi laut diperkirakan untuk energi Arus Laut sebesar USD 210.000/kW dengan kapasitas terpasang 70 kW, energi Gelombang sebesar USD 811.111,11/kW dengan kapasitas terpasang 100 kW, energi Pasang Surut sebesar USD 175.000/kW dengan kapasitas terpasang 70 kW, dan energi Panas Laut (Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC) sebesar USD 6.000.000/kW dengan kapasitas 1.000 kW (Luhur et al., 2013).
Kondisi Indonesia saat ini dengan peningkatan permintaan energi dan penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak/BBM), serta terjadinya defisit listrik PT. PLN adalah hal yang krusial untuk melakukan percepatan pengembangan energi baru terbarukan terutama energi laut.Pemanfaatan energi baru terbarukan merupakan solusi utama dalam mengatasi permasalahan energi dan mencegah terjadinya krisis energi di Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) mencantumkan lima (5) poin penting kebijakan energi antara lain, (1) Perubahan paradigma bahwa energi tidak lagi komoditi; (2) Pengurangan ekspor energi fosil secara bertahap; (3) Pengurangan subsidi yang melekat pada harga energi; (4) Prioritas pembangunan energi; dan (5) Kewajiban pemerintah menyediakan cadangan energi. Kebijakan tersebut diharapkan mampu dilanjutkan dan diimplementasi pada Pemerintahan Indonesia yang baru.
Dalam bauran energi nasional menunjukkan sasaran pemerintah yaitu penurunan pemanfaatan energi fosil dan peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Oleh karena itu, perlu adanya percepatan program diversifikasi energi, dengan potensi yang ada di Indonesia maka energi laut seharusnya menjadi prioritas dalam riset dan pengembangan energi.Hal ini dalam rangka mewujudkan visi Maritim Indonesia, mencukupi kebutuhan listrik dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H