Mohon tunggu...
Alzeiraldy Idzhar Ghifary
Alzeiraldy Idzhar Ghifary Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

"Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut" –M. Natsir

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Intelektual Organ(ik)

8 Agustus 2023   06:12 Diperbarui: 8 Agustus 2023   06:45 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari bersinar tak begitu terik.
Saatku tiba jam 11.25 lewat beberapa detik.
Kampus sepi ditinggal mahasiswa mudik.
Sebab sedang libur kalender akademik.

Lalu hujan turun rintik-rintik.
Ku duduk di pelataran masjid berlantaikan keramik.
Seorang kawan menyapa, ia kenakan baju batik.
Pakaian khas Indonesia yang diakui dunia sangat estetik.
Dengan beragam motifnya yang unik. 

"Kok masih ke kampus, ada agenda apa?," tanyanya, mengulik.
"Biasalah.." 
jawabku berbisik.
"Bimbingan skripsi ya," 
sautnya sambil cekikik.
"Lagi pengen main aja," 
ujarku spesifik.

Kami lanjut berbincang, menjaga pikiran agar selalu terpantik.
Sebab mahasiswa punya karakteristik:
Menghidupkan tradisi intelektual yang dialektik.
Istilah Gramsci, "Intelektual Organik",
Kalau kata Kuntowijoyo, "Intelektual Profetik".

Tanpa cemilan kripik,
Kami berbincang beragam topik;
dari soal politik,
Mistik,
Tanaman hidroponik,
Sampai tugas akhir yang belum lanjut diketik.

Tak seperti seorang pejabat-cum-narapidana yang kerap bilang "taik!"
Atau para elit yang bertikai saling mengadu delik.
Jika berbeda pandangan, kami saling berargumen dengan baik-baik.
Pokoknya, Asik!

Sedikit berbincang sepakbola, soal strategi-taktik.
Kecewa, klasemen tim favorit tak kunjung naik.
Ceritakan Chelsea yang permainannya juga kurang cantik.
Mengundang tawa menggelitik.

Lalu agak serius, menyinggung kondisi negara yang sedang paceklik.
Persoalan bukan hanya pemimpin yang tak karismatik,
Atau para pembantunya yang kapitalistik.
Tapi, ketidakmampuan menyelesaikan masalah secara holistik.
Itu, patut kita kritik!

Saat di rezim sekarang banyak orang tak berkutik.
Karena barangkali takut diculik.
Kita butuh media yang setia kode etik jurnalistik.
Lantang bersuara menjadi pilar demokrasi secara sistemik.

Tentu kita tak butuh komika yang mengaku agnostik.
Diciduk karena konsumsi barang haram lewat disuntik.
Pada istilah "toleransi" dan "open minded" ia berintrik.
Menghasilkan polarisasi masyarakat, yang kian menukik.

Dalam Teater perebutan kekuasaan yang kerap membuat jijik.
Masyarakat terkadang sekedar pernak-pernik.
Dimanfaatkan orang-orang yang seolah patriotik,
Ketika ditagih janji, mereka panik.
Rasanya ingin menghardik!

Masyarakat kita kerap bersikap fanatik.
Memuji jagoan politik bak pahlawan heroik.
Membuat kegaduhan di tengah publik.
Saling mencaci di media sosial, lupa UU ITE tengah membidik.
Seperti kurang piknik!

Fenomena yang membuat rajutan persatuan tercabik-cabik.
Padahal yang kerap menjadi korban sesama wong cilik;
dari petani, nelayan, pedagang, hingga buruh pabrik.
Yang terkadang susah buat makan dan bayar listrik.
Sungguh klasik!

Kita butuh Ulama yang pada kekuasaan tak tertarik.
Berani menentang orang-orang fasik dan munafik.
Ulama yang selalu lantang memekik,
Setiap kali keadilan masyarakat terusik.
Barangkali, Habib Rizik?!

Yang pasti kita butuh negarawan autentik.
Mereka yang bisa menjadi penengah konflik,
Orang-orang yang tak suka berpolemik,
Tapi fokus memberi solusi permasalahan bangsa dengan cerdik.
Begitulah cara negarawan merawat republik.

Tiba-tiba, ringtone HP di kantong berbunyi ritmik.
Teringat, harus menjemput adik.
Buka WhatsApp, balas "Tungguin ya" titik.
Alhasil perbincangan harus berakhir secara fisik.
Kita sambung nanti lewat media elektronik,
Tak lupa salaman ala pertemuan diplomatik.

Sebelum balik, pasang handsfree setel musik.
Izzatul Islam-Jejak, begitu apik.
Untuk dinikmati di sepanjang jalan, lirik demi lirik.
Agar membangkitkan semangat enerjik.

Khawatir mengganggu berkendara–celaka–masuk klinik.
Volume suara musik harus diatur tak berisik.
Setelah HP selesai diutak-atik.
Masukkan ke tas, nyalakan motor, lekas putar balik.
Gas dengan ciamik!

Sedikit pesan dari yang bukan pakar linguistik;
Dunia kita mungkin relativistik,
Tapi kehidupan ini bukan mekanika klasik.
Perjuangan hidup harus deterministik,
Dengan kesungguhan, tanpa hukum probabilistik.
Tentunya, juga dengan tawakal pada Sang Khalik.

Itulah sedikit cerita di kampus calon pendidik.
Yang terkenal dengan gedung kembar tak identik.
Besok ku harus malpraktik;
Mahasiswa fisika tapi mengajar matematik.
Tak apalah, kan masih segenetik.

Sebelumnya mohon maaf jika kurang artistik.
Maklum, sekedar menyalurkan kata-kata yang di kepala berakrobatik.
Jika tak berkenan dengan tulisan di blog ini, bisa ingatkan pemilik.
Semoga kita senantiasa mendapat taufik.
Wallahul muwafik ila aqwami thorik.

Tabik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun