Mohon tunggu...
Alzeiraldy Idzhar Ghifary
Alzeiraldy Idzhar Ghifary Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

"Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut" –M. Natsir

Selanjutnya

Tutup

Sosok

KH. Syam'un: Pendiri Al-Khairiyah Cilegon

18 Juni 2023   12:50 Diperbarui: 18 Juni 2023   23:53 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi  

"Ngebangun manusia iku ore cukup karo jampe lan banyu kendi, tapi kudu karo elmu. Lamun sire mengko gede nduwe elmu lan bergune karo wong, mending sire mati waktu cilik supaye sire ore ngentekaken beras" —Brigjen KH. Syam'un

Dalam catatan PB Al-Khairiyah, Kyai Syam'un lahir pada 5 April 1894 atau 29 Ramadan 1311 H di Kampung Beji, Bojonegara, Kabupaten Serang. Ayahnya bernama Alwiyan bin H. Ahmad bin Rafei berasal dari Cinangka, Kabupaten Serang. Sementara Ibunya, Siti Hadjar, merupakan anak pertama dari Ki Wasyid (w. 1888), tokoh ulama yang menjadi pimpinan perang dalam peristiwa Geger Cilegon. 

Melalui jalur Ki Wasyid nasabnya menyambung pada Ki Mas Jong—tangan kanan Prabu Pucuk Umun, Raja Pajajaran—yang setelah kekalahan Kerajaan Sunda oleh Kesultanan Banten masuk Islam dan diangkat menjadi Panglima Perang Kesultanan Banten pada masa Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Faktor keturunan tersebut membuat keluarga Syam'un mendapat predikat terhormat di kalangan masyarakat. 

Namun, keadaan ini di satu sisi justru membuat kehidupan diri dan keluarganya tidak aman. Setelah peristiwa Geger Cilegon tahun 1888, pemerintah Belanda tak berhenti berusaha menghabisi keturunan Ki Wasyid, termasuk Syam'un kecil. Tetapi upaya Belanda selalu gagal, karena keluarga Ki Wasyid selalu lolos dari kejaran Belanda. Belanda sering dikelabui dengan mengganti Yasin (adik Siti Hadjar) dengan orang lain. Karena berkali-kali gagal menemukan keluarga Ki Wasyid, sebagai gantinya Belanda akhirnya membumihanguskan Kampung Beji tempat tinggal mereka. 

Mengingat di Kampung Beji sudah tidak aman, Siti Hadjar kemudian membawa Syam'un yang masih bayi pindah ke Citangkil. Di Kampung Citangkil Syam'un kecil dididik, dibesarkan, dan mendidik diri serta melatih kedewasaan di bawah asuhan ibunya. Syam'un hidup bagaikan anak yatim karena ayahnya tidak diketahui keberadaannya, masih hidup atau sudah wafat. 

Meski demikian ia tetap tabah dan sabar menghadapi pahit getir kehidupan. Syam'un selalu patuh mengikuti bimbingan dan asuhan ibunya yang hidup dalam suasana amat kekurangan. Sebab meski keturunan keluarga terpandang, orang tuanya tergolong tidak kaya. Terlebih saat itu selalu mendapat pengawasan dan tekanan penjajah. 

Kehidupan pada masa kanak-kanak tak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia dikenal sebagai anak yang patuh, periang, dan rajin belajar. Hidup sederhana, memiliki karakter pemberani dengan watak pribadi yang kuat, otak cerdas, serta berkeinginan keras menjadi pemimpin agama. Ilmu Alquran dan bahasa Arab menjadi minat dan perhatiannya. 

Musafir Ilmu

Sumber: Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi  
Sumber: Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi  

Keseriusan dalam menuntut ilmu ia wujudkan. Setelah diasuh, dididik, dan dibimbing ibunya, Syam'un kemudian memulai menjadi musafir ilmu. Pertama kali ia belajar agama kepada kakeknya H. Ahmad bin Rafei di Kampung Kosambi, Desa Karang Suraga, Kecamatan Cinangka. Selanjutnya belajar di pesantren pamannya, Ki Yasin Beji di Kampung Solor, Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara. 

Pada tahun 1898-1900, Syam'un menimba ilmu di pesantren KH. Sa'i di Kampung Delingseng, Desa Kebonsari, Kecamatan Pulomerak. Tahun 1901-1904 memperdalam ilmu agama di pesantren KH. Djasim di Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka. Setelah itu, Syam'un yang haus ilmu berguru pada Buya Thoyib di Kampung Pangoreng, Bojonegara.  

Pada tahun 1905, di usia sekitar 12 tahun, Syam'un muda melanjutkan studi ke Mekkah mendalami ilmu keislaman, berguru pada beberapa ulama termasuk Syaikh Nawawi Al-Bantani. Bermodal dasar bahasa Arab yang diperoleh di beberapa pesantren di Indonesia ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, bahkan beberapa bulan setelahnya sudah lancar berbahasa Arab. 

Menuntut ilmu di Mekkah merupakan keinginan yang sangat diidamkan Syam'un dan para santri Indonesia waktu itu. Karena dimotivasi banyak hal, di antaranya Mekkah tempat lahir agama Islam dan bertemunya kaum muslimin saat musim haji. Sehingga kesempatan itu membuat Syam'un belajar dengan semangat yang tinggi. 

Selepas belajar di Mekkah, pada tahun 1912 ia melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar Kairo hingga lulus tahun 1915. Kemudian dengan berbekal pengetahuan yang mumpuni, ia sempat kembali ke Mekkah untuk menjadi guru di Masjidil Haram. Namun tak lama, ia kemudian pulang ke tanah air yang masih berada dalam genggaman kolonial Belanda. 

Kepulangannya sempat dihalangi Van Limburg Stirum (Gubernur Jendral Hindia Belanda) karena khawatir menjadi penggerak pemberontakan seperti kakeknya Ki Wasyid. Namun, setelah diupayakan susah payah oleh Kartawirana putra Ki Sarim, Syam'un dapat pulang ke kampungnya. Kartawirana—yang kemudian menjadi KH. Abdul Aziz sampai diminta menjaminkan lehernya oleh Belanda jika Syam'un dan pamannya Yasin melakukan pemberontakan. 

Keluarga

Setiba di Banten tahun 1915, Kyai Syam'un tinggal di Kampung Citangkil bersama ibunya. Kemudian menikah dengan Nafisah putri H. Abdul Karim dari Kampung Pangoreng, Bojonegara, dan tidak memiliki keturunan. Pernikahan ini tak berlangsung lama karena Nyi Nafisah wafat. Tahun 1919 ia menikahi Nyi Hasunah binti Sama'un dari Caringin, Labuan, Pandeglang yang juga tidak dikaruniai anak—Nyi Hasunah inilah yang hidup mendampingi Kyai Syam'un di pendopo Bupati Serang ketika menjadi Bupati Serang tahun 1945-1949. 

Tahun 1920 Kyai Syam'un menikah lagi dengan Hj. Adawiyah binti Rasdam, dikaruniai anak yaitu Rachmatullah dan Ahmad Athaullah. Tahun 1936 menikahi Hj. Fauzah binti Abdul Fatah dikaruniai dua anak, Faridah dan Fathullah. Istrinya yang terakhir adalah Nyi Mahdiyah binti Yasin, menikah tahun 1940 dikaruniai dua anak yaitu Abdul Qasid dan Abdul Karim. 

Meskipun Kyai Syam'un beristri lima, tapi tidak dinikahi dalam waktu bersamaan, karena Nyi Nafisah istri pertama wafat sebelum ia menikah dengan Nyi Hasunah, dan dengan istri keempat bercerai tahun 1945. Di Banten poligami merupakan tradisi yang umumnya dilakukan oleh para kyai, jawara, atau jaro (lurah). Meskipun secara ekonomi Kyai Syam'un bukan orang berada, tapi bagi masyarakat Cilegon atau Banten dinikahi oleh kyai atau keturunannya merupakan kebanggaan, karena selain dianggap "ngalap berkah" juga mendapat keturunan yang baik. 

Mendirikan Al-Khairiyah

Sumber: Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi
Sumber: Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi

Setelah pulang dari Mekkah tahun 1915, di Citangkil Kyai Syam'un menyusun kekuatan, memimpin perjuangan, mendidik kader dan menggerakkan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia melalui Pesantren Citangkil yang ia dirikan. Pesantren Citangkil merupakan pesantren tradisional yang memiliki karakteristik dan pola pengajaran yang sudah ada di dunia pesantren tradisional pada umumya di Indonesia. 

Hal ini dapat terlihat dari gambaran bangunan fisik pesantren yang sederhana dan terpisah dari kehidupan masyarakat sekitar. Di komplek pesantren terdapat rumah kediaman Kyai Syam'un selaku pengasuh pesantren, pondok atau asrama santri, dan Masjid Agung Citangkil, sebagai tempat ibadah, ruang belajar mengajar serta pusat kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. 

Jumlah santri yang pertama kali menimba ilmu di Pesantren Citangkil sekitar 25 orang yang tidak hanya berasal dari Cilegon, tapi juga daerah lain di Banten seperti Serang, Pandeglang, Lebak, bahkan ada dari Sumatera. Santri-santri inilah yang dibina secara militan dan dengan semangat patriotik untuk kemudian dapat menyebarkan ilmu agama dan umum di daerah asalnya masing-masing. 

Kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Citangkil sebagian besar tentang fiqih yang bermazhab syafi'i, tauhid dan tasawuf. Di samping itu, diajarkan kitab tentang gramatika bahasa Arab (Jurumiyah, Al-fiyah, Qawa'idul Lughowiyah) kitab-kitab tafsir Jalalain, mantiq, kitab Hadits, Ushul Fiqih, dan Aqidah Akhlaq. 

Perubahan bersejarah terjadi pada tanggal 5 Mei 1925 bertepatan dengan 12 Syawal 1343 H, tatkala Kyai Syam'un mengubah sistem pesantren salafiyah yang dikelolanya menjadi sistem pendidikan formal modern yang diberi nama "Madrasah Al-Khairiyah Citangkil". Nama Al-Khairiyah diambil dari nama bendungan sungai Nil yaitu Qanathiril Al-Khairiyah di Qalyubiyah Mesir. Dengan harapan Madrasah Al-Khairiyah menyebarkan manfaat kepada masyarakat sebagaimana air yang dialirkan melalui bendungan Qanathiril Al-Khairiyah. 

Madrasah Al-Khairiyah menjadi lembaga pendidikan modern kedua di Banten setelah Mathlaul Anwar yang didirikan KH. Mas Abdurrachman di Menes, Pandeglang tahun 1916. Kelak lembaga ini menjadi cikal bakal lahirnya ormas Islam PB Al-Khairiyah yang secara usia setahun lebih tua dari Nahdlatul Ulama yang didirikan 1926 oleh KH. Hasyim Asy'ari dan tiga belas tahun lebih muda dari Muhammadiyah yang didirikan tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman, Jogjakarta. 

Pesan yang selalu Kyai Syam'un sampaikan kepada para santrinya:
"Ngebangun manusia iku ore cukup karo jampe lan banyu kendi, tapi kudu karo elmu. Lamun sire mengko gede nduwe elmu lan bergune karo wong, mending sire mati waktu cilik supaye sire ore ngentekaken beras."

Yang artinya:
"Membangun manusia itu tidak cukup dengan jampi dan air kendi, tapi harus dengan ilmu. Kalau kamu nanti dewasa tidak punya ilmu dan berguna bagi manusia, lebih baik kamu mati waktu kecil supaya tidak menghabiskan beras."

Referensi:
-Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi (Machdum Bachtiar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun