Setelah pulang dari Mekkah tahun 1915, di Citangkil Kyai Syam'un menyusun kekuatan, memimpin perjuangan, mendidik kader dan menggerakkan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia melalui Pesantren Citangkil yang ia dirikan. Pesantren Citangkil merupakan pesantren tradisional yang memiliki karakteristik dan pola pengajaran yang sudah ada di dunia pesantren tradisional pada umumya di Indonesia.Â
Hal ini dapat terlihat dari gambaran bangunan fisik pesantren yang sederhana dan terpisah dari kehidupan masyarakat sekitar. Di komplek pesantren terdapat rumah kediaman Kyai Syam'un selaku pengasuh pesantren, pondok atau asrama santri, dan Masjid Agung Citangkil, sebagai tempat ibadah, ruang belajar mengajar serta pusat kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.Â
Jumlah santri yang pertama kali menimba ilmu di Pesantren Citangkil sekitar 25 orang yang tidak hanya berasal dari Cilegon, tapi juga daerah lain di Banten seperti Serang, Pandeglang, Lebak, bahkan ada dari Sumatera. Santri-santri inilah yang dibina secara militan dan dengan semangat patriotik untuk kemudian dapat menyebarkan ilmu agama dan umum di daerah asalnya masing-masing.Â
Kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Citangkil sebagian besar tentang fiqih yang bermazhab syafi'i, tauhid dan tasawuf. Di samping itu, diajarkan kitab tentang gramatika bahasa Arab (Jurumiyah, Al-fiyah, Qawa'idul Lughowiyah) kitab-kitab tafsir Jalalain, mantiq, kitab Hadits, Ushul Fiqih, dan Aqidah Akhlaq.Â
Perubahan bersejarah terjadi pada tanggal 5 Mei 1925 bertepatan dengan 12 Syawal 1343 H, tatkala Kyai Syam'un mengubah sistem pesantren salafiyah yang dikelolanya menjadi sistem pendidikan formal modern yang diberi nama "Madrasah Al-Khairiyah Citangkil". Nama Al-Khairiyah diambil dari nama bendungan sungai Nil yaitu Qanathiril Al-Khairiyah di Qalyubiyah Mesir. Dengan harapan Madrasah Al-Khairiyah menyebarkan manfaat kepada masyarakat sebagaimana air yang dialirkan melalui bendungan Qanathiril Al-Khairiyah.Â
Madrasah Al-Khairiyah menjadi lembaga pendidikan modern kedua di Banten setelah Mathlaul Anwar yang didirikan KH. Mas Abdurrachman di Menes, Pandeglang tahun 1916. Kelak lembaga ini menjadi cikal bakal lahirnya ormas Islam PB Al-Khairiyah yang secara usia setahun lebih tua dari Nahdlatul Ulama yang didirikan 1926 oleh KH. Hasyim Asy'ari dan tiga belas tahun lebih muda dari Muhammadiyah yang didirikan tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman, Jogjakarta.Â
Pesan yang selalu Kyai Syam'un sampaikan kepada para santrinya:
"Ngebangun manusia iku ore cukup karo jampe lan banyu kendi, tapi kudu karo elmu. Lamun sire mengko gede nduwe elmu lan bergune karo wong, mending sire mati waktu cilik supaye sire ore ngentekaken beras."
Yang artinya:
"Membangun manusia itu tidak cukup dengan jampi dan air kendi, tapi harus dengan ilmu. Kalau kamu nanti dewasa tidak punya ilmu dan berguna bagi manusia, lebih baik kamu mati waktu kecil supaya tidak menghabiskan beras."
Referensi:
-Brigjend KH. Syam'un: Tokoh 3 Dimensi (Machdum Bachtiar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H