Pembentukan Hubungan Diplomatik
Pasca merdeka di tahun 1946, Filipina menjalin hubungan diplomatik dengan Pemerintah Nasionalis Tiongkok dan berlanjut hingga pemerintahan ini kehilangan daratan dan terpaksa harus pindah ke Pulau Formosa setelah kekalahannya di Perang Saudara China di tahun 1949. Kedua negara yang sama-sama memandang Komunis Tiongkok sebagai ancaman ini tetap mempertahankan hubungan bilateralnya. Sampai pada tahun 1970-an Filipina mulai mempertimbangkan untuk menormalisasi hubungannya dengan Republik Rakyat Tiongkok dan kemudian mengakui negara komunis ini pada tanggal 9 Juni 1975 dengan penandatanganan komitmen bersama oleh para petinggi dari kedua negara.
Awal Hubungan
Sejak terjalinnya hubungan diplomatik, sering terjadi pertukaran kunjungan tingkat tinggi yang dilakukan oleh para pemimpin dari masing-masing negara ini. Selain perjanjian kerja sama, baik dari Filipina maupun Tiongkok juga acapkali membuat kesepakatan untuk mempertahankan hubungan yang baik. Hal ini dapat terlihat dari output yang diperlihatkan dari kunjungan beberapa petinggi Tiongkok ke Filipina. Contohnya adalah pada saat kunjungan presiden ketiga Republik Rakyat Tiongkok, Jiang Zemin pada tahun 1996, pada saat itu pemimpin dari kedua negara bersepakat untuk membangun hubungan kerja sama yang baik berdasarkan ketetanggaan yang baik dan rasa saling percaya sebagai bekal utama untuk mempererat hubungan Filipna-China menuju abad ke-21. Pertemuan tersebut menghasilkan konsensus dan pemahaman penting tentang bagaimana kedua negara berkompromi untuk menangguhkan konflik ketika berbicara tentang kerja sama bilateral.
Hubungan di Awal Abad 21
Filipina-China memutuskan untuk terus menandatangani pernyataan bersama mengenai kerangka kerja sama bilateral di abad dua puluh satu. Joint statement ini menegaskan hubungan kerja sama bilateral kedua negara yang dibangun atas dasar rasa saling percaya dan keuntungan bersama. Pada kunjungan kenegaraan China ke Manila oleh Presiden Hu Jintao pada tahun 2005, kedua negara sepakat untuk membangun kerja sama yang strategis dan kooperatif yang bertujuan untuk pembangunan dan perdamaian. Selanjutnya kesepakatan ini dipertegas kembali saat Perdana Menteri Wen Jiabao datang ke Filipina pada Januari 2007.
Memburuknya Hubungan di Masa Presiden Benigno Aquino III (2010-2016)
Pada masa pemerintahan Benigno Simeon "Noynoy" Cojuangco Aquino III ini lah hubungan Filipina dengan China memasuki fase terburuknya. Hal ini diakibatkan oleh semakin intensnya konflik yang terjadi di Laut China Selatan. Benigno Aquino III membawa kasus ini ke ranah arbitrase setelah claim China atas wilayah Filipina di LCS (Laut China Selatan). Sengketa Laut China Selatan ini didasari oleh pengakuan China atas nine dash line yang diklaim secara sepihak atas dasar faktor historis. China yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 pada nyatanya tetap tidak mau mengakui adanya Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE dari negara-negara yang masuk ke dalam nine dash line yang diklaim oleh China atas dasar sejarah masa lalu.
Akibatnya Filipina yang masuk ke dalam nine dash line itu membawa naik kasus sengketa ini ke Mahkamah Arbitrase setelah China mengklaim kepemilikan atas Laut China Selatan sampai ke Kepulau Spratly yang kemudian menyulut kemarahan sang Presiden Benigno Aquino III. Setelah masuk ke ranah arbitrase, kasus ini pun pada akhirnya dimenangkan oleh Filipina. Walaupun masih menjalin kerja sama di sektor ekonomi dan perdagangan, secara umum hubungan Filipina dengan China di masa ini sedang berada pada titik nadirnya.
Rekonsiliasi di Masa Presiden Rodrigo Duterte (2016-2022)
Setelah Presiden Benigno Aquino III berakhir di tahun 2016, Rodrigo Duterte secara resmi diangkat sebagai Presiden Republik Filipina. Tidak seperti pendahulunya, Duterte tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang berlebihan kepada barat (Amerika Serikat). Pada masa pemerintahan Rodrigo Duterte, Filipina terlihat berusaha untuk membangun kembali hubungan baik dengan Tiongkok. Pendekatan yang dilakukan oleh Duterte bahkan seringkali dianggap terlalu lunak terhadap China. Duterte yang selalu menunjukkan pendekatan diplomatis lah yang dianggap terlalu lunak oleh banyak pihak. Dalam hal sengketa Laut China Selatan, Rodrigo Duterte selalu mengingatkan bahwa jalan terbaik adalah menyelesaikan sengketa ini melalui jalur damai sesuai dengan konvensi PBB tentang hukum laut.