Keluarga merupakan unit dasar dalam pembentukan perilaku dan karakter individu. Keluarga yang harmonis, yang didukung oleh hubungan yang sehat antara anggota keluarga, cenderung memberikan lingkungan yang stabil dan mendukung bagi perkembangan anak. Di sisi lain, anak-anak yang tumbuh dalam situasi broken home, di mana orang tua mereka tidak hidup bersama lagi, mungkin mengalami tekanan yang berbeda dalam pengembangan perilaku mereka.
     Purjosuwarno (1993:7) menyatakan bahwa broken home adalah keretakan dalam keluarga yang berarti hubungan keluarga yang hancur, sedangkan menurut Nurul Wahida (2021) mengatakan bahwa istilah "broken home" digunakan untuk menggambarkan hubungan keluarga yang tidak harmonis.Â
Broken home menunjukkan keluarga yang tidak stabil, tidak rukun, dan sering terjadi pertengkaran. Dewasa ini, banyak keluarga yang rentan terhadap broken home. Ini dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti perceraian atau kematian pasangan, bentuk keluarga yang utuh tapi tidak lagi harmonis, dengan anak sebagai korbannya.Â
Anak-anak dalam keluarga yang broken home mungkin tinggal dengan salah satu orang tua, kedua orang tua secara bergantian, atau dengan anggota keluarga lain, seperti wali atau kakek nenek. Situasi ini dapat menimbulkan kesulitan dan perubahan signifikan dalam kehidupan anak-anak, terutama dalam hal stabilitas, dinamika keluarga, dan pengasuhan.
     Sedangkan keluarga Harmonis menurut Gunarsa, didefinisikan sebagai ketika semua anggota keluarga merasa bahagia, yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan kepuasan terhadap keberadaan dan keadaan mereka (eksistensi dan aktualisasi diri). Jadi bisa disimpulkan bahwa Keluarga harmonis adalah keluarga yang tenang, rukun, bahagia, saling menghargai, taat menjalankan ibadah, dan memanfaatkan waktu luang dengan cara yang positif.Â
Keluarga ini juga menjalankan peran-perannya dengan matang, membantu satu sama lain dan bekerja sama. Keluarga harmonis memiliki anggota yang hidup dalam harmoni, kedamaian, dan keseimbangan. Dalam keluarga seperti ini, terjalin hubungan positif antara anggota keluarga, terutama antara orang tua dan anak-anak. Keluarga-keluarga ini berkomunikasi dengan baik, saling mendukung, dan menciptakan suasana keluarga yang sehat.
     Akibatnya, Anggota keluarga broken home tidak dapat saling melengkapi, memahami, dan membangun satu sama lain. Akibatnya, tidak dapat dinafikan bahwa kerusakan rumah berdampak pada anak, dan bahkan dampak tersebut bisa terbawa sampai remaja hingga dewasa.Â
Sementara itu, berbeda dengan kelurga harmonis dimana keluarga harmonis memiliki ciri-ciri seperti: interaksi antar anggota keluarga yang positif, komunikasi yang baik juga, setiap annggota keluarga merasa mendapatkan kasih sayang dan dukungan emosional seperti merasa dicintai, dihargai, dan mendukung satu sama lain, kehidupan yang terstruktur untuk menciptakan stabilitas dan keamanan bagi anggota keluarga, dan masih banyak lagi.
     Perilaku anak dalam situasi broken home dapat sangat bervariasi, tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak, cara orang tua menangani situasi tersebut, dan dukungan yang mereka terima. J (anak berlatar belakang keluarga broken home) mengatakan:Â
" Dulu waktu mama ku pergi dari rumah awalnya aku merasa biasa saja karena aku tau kalau akhirnya akan jadi begini dan aku tau karena menurutku ada permasalahan yang memang tidak dapat diselesaikan (parah). Tapi mungkin setelah mama sudah benar-benar pergi dan tidak pernah kembali aku merasa sedih, apalagi ketika aku melihat langsung suatu kejadian di lingkungan sekitarku yang berhubungan dengan keharmonisan antara orang tua dan anak, seperti contohnya ketika melihat langsung seorang anak yang berpamitan dan mencium tangan ibu nya ketika berangkat ke sekolah.
Ketika mama dan papa ku cerai aku juga merasa ada sedikit dampak pada kehidupanku yang sekarang, seperti contohnya selama ini aku tidak bisa menemukan sesosok my safe place untuk ku berbagi cerita, sekalipun itu orang yang paling dekat dengan ku."
    Berbeda dengan anak berlatar belakang Keluarga Harmonis, N (anak berlatar belakang Keluarga Harmonis) mengatakan bahwa:Â
" Waktu di rumahku ada masalah, keluargaku selalu mengusahakan untuk menyelesaikannya secara baik-baik dan bersama seperti contohnya duduk berkumpul bersama, keluar bersama, lalu bercerita bersama. Intinya ketika kami sama-sama sibuk keluarga kami selalu berusaha untuk mencari hari yang cocok untuk kita membahas permasalahan internal keluarga.Â
Lalu dukungan dari keluargaku juga sangat penting bagiku, contohnya seperti ketika aku mengikuti kegiatan-kegiatan yang memang aku suka mereka selalu mendukungku."
    Dari pernyataan wawancara narasumber tersebut dapat disimpulkan bahwa anak dengan latar belakang Keluarga Broken home akan lebih rentan terkena penyakit mental akibat dampak dari perceraian orang tua mereka.Â
Anak berlatar belakang Keluarga Harmonis akan cenderung merasa tidak mempunyai siapa-siapa di sekitarnya walaupun ia mempunyai banyak teman. Hal tersebut dikarenakan anak berlatar belakang Keluarga Broken home merasa tidak mempunyai tempat yang aman untuk bercerita keluh kesahnya karena bagaimana pun anak akan merasa kehilangan arah ketika ia ditinggal oleh sosok yang telah telah melahirkannya.Â
    Hal tersebut berbanding terbalik dengan anak berlatar belakang Keluarga Harmonis, ia cenderung memiliki sifat yang periang dan percaya diri, karena ia merasa mendapatkan asupan berupa dorongan batin yang bersifat positif dari keluarga. Anak berlatar belakang Keluarga Harmonis tidak merasakan kekosongan pada lubang hatinya karena hal tersebut sudah terpenuhi olehnya sedari kecil, dan hal tersebut bisa membuat dirinya merasa bisa menjalani kehidupan dengan baik.
   Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kondisi keluarga dapat mempengaruhi kehidupan anak di masa mendatang. Seperti pada kesimpulan teori tabula rasa oleh John Locke, yaitu "Seorang anak yang baru lahir diibaratkan kerta putih" Maksud dari penyataan tersebut adalah seorang anak yang baru lahir ini tidak membawa apa-apa, tidak mengerti apa-apa oleh karena itu diberi perumpamaan kertas putih. Dan di masa yang akan datang kertas putih ini akan berwarna, faktor yang menjadikan anak berwarna ini adalah faktor lingkungan yang ada di sekitarnya.
Namun, dari penjelasan diatas tentang perbedaan perilaku anak berlatar belakang keluarga broken home dengan anak berlatar belakang keluarga harmonis ini tidak semata-mata semua memiliki sifat yang sama. Terkadang semua dapat berubah tergantung kondisi pada masing-masing individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H