Mohon tunggu...
Alyssa Diandra
Alyssa Diandra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum

Berbagi ilmu kesehatan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jangan Anggap Sepele Perilaku Menyakiti Diri

4 Juli 2024   23:55 Diperbarui: 10 Juli 2024   13:49 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Perilaku menyakiti diri tidak selalu berhubungan tentang usaha bunuh diri. Kenyataannya, menyakiti diri sering dijadikan sebagai suatu mekanisme dalam menghadapi masalah. Meski begitu, perilaku menyakiti diri dapat meningkatkan risiko terjadinya bunuh diri. 

Menurut data survei YouGov Omnibus tahun 2019 di Indonesia, sebanyak 36.9% penduduk dengan kelompok tertinggi di usia 18-24 tahun, pernah melakukan tindakan menyakiti diri. Mengapa angka yang ditemukan begitu tinggi? Apa alasan seseorang melakukan tindakan menyakiti diri meski rasa sakit tersebut tidak nyaman? Apa yang dapat dilakukan?

Mengapa seseorang melakukan tindakan menyakiti diri? 

Perilaku menyakiti diri dapat dilakukan oleh siapapun baik dengan atau tanpa masalah kesehatan mental. Perilaku ini sering dimulai pada masa remaja dimana pada masa ini seseorang dihadapkan dengan berbagai perubahan seperti dari fisik dan biologis, perilaku, tanggung jawab serta perkembangan otak. Perubahan dan dinamika yang terjadi tanpa suatu mekanisme menghadapi masalah yang baik dapat menyebabkan seorang remaja mencari pelarian yang tidak tepat, salah satunya menyakiti diri.  

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan perilaku menyakiti diri yakni

  • Jenis kelamin

Wanita disebut memiliki risiko menyakiti diri lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Peneliian menyebutkan bahwa metode yang digunakan untuk menyakiti diri pada masing-masing jenis kelamin juga seringkali berbeda. Menyayat, menggaruk dengan kuat merupakan metode yang paling sering digunakan oleh wanita sedangkan pria lebih sering dengan memukul atau membakar.

  • Faktor sosial

Riwayat perundungan (bullying) termasuk cyberbullying dan kekerasan dapat meningkatkan risiko menyakiti diri dikarenakan adanya kritik diri yang lebih tinggi. Selain itu, remaja mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, jika memiliki teman yang melakukan atau bahkan menormalisasikan perilaku menyakiti diri sebagai mekanisme koping, dapat “menular” kepada teman sepermainannya. Kondisi ini disebut social contagion. Berpisah dengan orang terdekat seperti pacar atau sahabat, kelompok tertentu seperti homoseksual juga berisiko melakukan tindakan menyakiti diri.

  • Pengaruh media

Meski media sosial memiliki pengaruh positif seperti meningkatkan dukungan dan akses informasi yang cepat, pengaruh negatif juga ikut menyertai. Cyberbullying, akses informasi yang berisiko sebagai pencetus atau meniru perilaku menyakiti diri merupakan beberapa diantaranya.

  • Peristiwa masa kecil yang membawa trauma (adverse childhood events)

Adanya pengabaian, riwayat kekerasan, kehilangan orang tua meningkatkan risiko menyakiti diri. Kebiasaan orang tua yang sering mengkritik anak atau adanya kekerasan baik fisik maupun verbal dari orang lain akan menyebabkan anak belajar hal tersebut dan menerapkannya pada diri mereka ketika mereka menghadapi masalah atau kritik. Menyakiti diri akhirnya dipilih sebagai cara untuk menghukum diri sendiri.   

  • Faktor neurobiologis

Perubahan struktur dan fungsi otak dapat terjadi akibat stres yang berkepanjangan. Perubahan ini dapat menyebabkan seseorang tidak mampu berpikir secara bijak sehingga seringkali memilih mekanisme koping yang tidak tepat.

  • Ada gangguan jiwa yang menyertai

Adanya gangguan kepribadian, cemas ataupun depresi dapat meningkatkan risiko perilaku menyakiti diri. Impulsifitas atau melakukan sesuatu secara spontan tanpa berpikir panjang, yang sering terjadi pada remaja akibat kecendrungan emosi yang belum stabil atau akibat dari gangguan jiwa seperti gangguan kepribadian, tidak jarang mendasari perilaku menyakiti diri.   

Ketika seseorang mengalami suatu stressor yang sulit diatasi, maka akan muncul berbagai respon emosi seperti marah, sedih, malu, frustasi, sakit hati. Apabila emosi ini begitu kuat sedangkan seseorang tidak memiliki mekanisme yang baik untuk mengendalikan emosi atau toleransi terhadap stres yang rendah, dapat memicu seseorang untuk memilih menghindari emosi tersebut. Menyakiti diri merupakan salah satu jalan. Mungkin pernah mendengar bahwa alasan seseorang melakukan tindakan menyakiti diri saat sedang emosi adalah untuk memindahkan perhatiannya ke rasa sakit fisik yang lebih dapat diatasi dibandingkan rasa sakit emosinya atau justru untuk membantu melepas emosinya sehingga lebih lega. Kemudian ada juga yang memilih menyakiti diri agar dapat merasakan sensasi tertentu karena selama ini merasa hidupnya hampa, kesepian, ataupun sedih.

Apa yang dapat dilakukan? 

Mengingat dari dampak menyakiti diri, pencegahan menjadi poin penting dalam penanganan masalah menyakiti diri. Diperlukan kerjasama dari semua pihak yang terlibat, tidak hanya dari keluarga saja. Sekolah, lingkungan pergaulan, pekerjaan, hingga regulasi atau kebijakan pemerintah dapat turut membantu dalam mengurangi risiko perilaku menyakiti dan bunuh diri.

Pengendalian emosi berperan penting dalam terjadinya perilaku menyakiti diri. Anak-anak dan remaja belajar mengendalikan emosi pertama kali dari keluarga. Anak-anak meniru ekspresi dan cara orang tuanya mengendalikan emosi, sehingga jika pemahaman dan kemampuan dalam mengendalikan emosi orang tua rendah, akan mempengaruhi kemampuan pengendalian emosi anak. Begitu juga dengan remaja, yang mengalami banyak stressor dan tantangan, tanpa adanya referensi pengendalian emosi yang baik akan menyulitkan mereka mengendalikan emosi mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memiliki pendidikan emosional yang baik sebagai lingkungan primer anak untuk bertumbuh.

Selain itu, peran lingkungan sekolah dalam mengawasi terutama perundungan serta memberi edukasi mengenai pengendalian emosi penting untuk dapat mendukung peran keluarga dalam menyediakan lingkungan yang aman untuk belajar dan bertumbuh. Begitu juga dalam lingkungan kerja, diperlukan wadah untuk melepas stres serta penegakkan peraturan yang adil sangat penting untuk mencegah perundungan di tempat kerja. Wadah konseling bagi para siswa atau pekerja yang sedang mengalami kesulitan juga dapat membantu. Pemerintah sebagai pembuat kebiajakan dapat memberikan kebijakan yang meminimalisir stigma, memudahkan akses pelayanan kesehatan mental, dan mengatasi perundungan.

Jika ada keinginan untuk menyakiti diri atau ada riwayat menyakiti diri, dapat mencoba melakukan hal berikut

  • Mengalihkan dengan aktivitas lain seperti berolahraga, mandi air dingin atau beribadah
  • Menghubungi orang terdekat untuk membantu mengalihkan keinginan tersebut
  • Menyiapkan nomor kontak atau nomor fasilitas kesehatan terdekat jika sewaktu-waktu terjadi tindakan menyakiti diri atau usaha bunuh diri
  • Menjauhkan benda-benda tajam atau yang berisiko digunakan untuk menyakiti diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun