Media sosial telah menjadi salah satu kebutuhan bagi masyarakat terutama bagi mereka yang masih berada di usia produktif . Kemudahan dalam mengakses informasi, berinteraksi dengan orang lain tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan kebebasan beropini menjadi daya tarik utama media sosial. Selain itu, media sosial juga bermanfaat sebagai sarana hiburan, menunjang produktifitas, menggalang dukungan baik materi maupun psikologis, serta menjadi tempat mencari nafkah bagi sebagian orang. Tak heran, media sosial menjadi primadona dalam kehidupan masyarakat. Namun, seperti pedang bermata dua, manfaat media sosial juga diikuti risiko-risiko yang perlu diperhatikan agar dapat terhindar dari dampak negatifnya.
Fenomena dalam bermedia sosial
Media sosial memudahkan seseorang dalam membagikan berbagai momen dalam hidup mereka. Bukan hal aneh jika menemukan seseorang yang secara teratur membagikan aktivitas sehari-hari mereka secara daring. Di satu sisi, fenomena ini membantu agar seseorang tidak kehilangan kabar orang terdekat mereka. Di sisi lain, tak jarang demi mendapatkan unggahan yang bagus atau terlihat keren, seseorang melakukan hal yang membahayakan keselamatan mereka sendiri.
Ada harapan bahwa dengan unggahan yang bagus, akan diikuti dengan meningkatnya jumlah likes, followers, dan komentar baik. Hal ini secara tidak langsung dapat diartikan sebagai pengakuan sosial dan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Tentunya, keselamatan harus menjadi prioritas utama. Namun di sisi lain, jika berlawanan dengan harapan tersebut, dapat muncul perasaan sedih, kepercayaan diri menurun, cemas hingga depresi.
Selain itu, kebiasaan menggunakan media sosial secara pasif (sebagai penikmat atau penerima informasi saja), juga memiliki risiko tersendiri. Unggahan di media sosial seringkali hanya menampilkan momen yang baik saja dari seseorang ataupun telah disunting agar terlihat lebih menarik. Bagi pengguna pasif dari media sosial yang tidak memahami kondisi ini, akan muncul pemikiran bahwa unggahan tersebut adalah benar dan membandingkan kehidupan mereka dengan unggahan seseorang tersebut. Perasaan iri, merasa kehidupan mereka membosankan atau begitu-gitu saja dapat muncul dan dapat meningkatkan risiko terjadinya cemas dan depresi.
Media sosial juga turut membantu dalam membentuk stereotip tertentu di kalangan masyarakat melalui fenomena influencer dan iklan. Tekanan untuk tampil sesuai stereotip ataupun untuk tampil baik demi menunjang konten dan unggahan dapat menjadi faktor risiko dari kecemasan. Seseorang menjadi cemas akan pendapat orang lain baik secara daring (melalui komentar dan likes) maupun luring.
Kemudahan dan kecepatan aliran informasi dari media sosial juga membuat seseorang menjadi takut ketinggalan informasi (fear of missing out) terutama mengenai apa yang sedang tren saat ini. Risiko kecemasan dan kecanduan meningkat. Waktu yang diluangkan untuk sekedar mengecek media sosial kian meningkat. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara lama waktu yang dihabiskan untuk media sosial dengan masalah kesehatan mental seperti gangguan tidur, cemas dan depresi. Selain itu, dalam bermedia sosial perlu juga diwaspadai risiko cyber-bullying.
Media sosial juga memberi dampak terhadap cara masyarakat dalam berinteraksi sosial. Kebiasaan melakukan percakapan melalui daring dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko kesepian. Selain itu, tak jarang percakapan melalui daring dapat meningkatkan risiko terjadinya kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Cara sehat dalam bermedia sosial
Menentukan batasan tertentu diperlukan untuk mengurangi dampak buruk dalam bermedia sosial. Beberapa cara yang dapat dilakukan yakni
- Membatasi waktu untuk bermedia sosial. Tidak bermedia sosial ketika menyetir, bekerja, ataupun istirahat
- Meluangkan lebih banyak waktu untuk berinteraksi secara langsung dengan teman dan keluarga. Pastikan diri anda benar-benar hadir dalam interaksi tersebut, bukan sibuk dengan gadget masing-masing.
- Mencari kegiatan lain yang lebih bermanfaat selain bermedia sosial seperti melakukan olahraga melalui video, mengikuti kelas daring
- Kritis dalam menyikapi banyaknya informasi daring yang muncul agar tidak mudah tergiring opini atau meningkatkan risiko memnjadi pelaku cyber bullying
- Melakukan evaluasi alasan bermedia sosial. Jika ditemukan alasan seperti perasaan bosan atau kesepian, dapat mencari alternatif kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan dari perasaan tersebut.
- Jika ada rasa cemas, sedih berlebihan, gangguan tidur, kecanduan atau bahkan pikiran bunuh diri terutama berkaitan dengan cyberbullying, cari bantuan ke tenaga professional baik psikolog maupun psikiater.
Mari sehat bermedia sosial untuk produktifitas dan kualitas hidup lebih baik.
Referensi
https://www.apa.org/topics/social-media-internet/healthy-technology-use
Karim F, Oyewande AA, Abdalla LF, Chaudhry Ehsanullah R, Khan S. Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review. Cureus. 2020 Jun 15;12(6):e8627. doi: 10.7759/cureus.8627. PMID: 32685296; PMCID: PMC7364393.
Beyari H. The Relationship between Social Media and the Increase in Mental Health Problems. Int J Environ Res Public Health. 2023 Jan 29;20(3):2383. doi: 10.3390/ijerph20032383. PMID: 36767749; PMCID: PMC9915628.
B. Keles, N. McCrae, and A. Grealish, “A systematic review: the influence of social media on depression, anxiety and psychological distress in adolescents,” International Journal of Adolescence and Youth, vol. 25, no. 1, pp. 79–93, Dec. 2020, doi: 10.1080/0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H