Mohon tunggu...
Aly Reza
Aly Reza Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Bisa Menulis

Asal Rembang, Jawa Tengah. Menulis sastra dan artikel ringan. Bisa disapa di Email: alyreza1601@gmail.com dan IG: @aly_reza16

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gugur Gunung Alam Raya

23 April 2020   14:46 Diperbarui: 23 April 2020   14:55 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi tidak selamanya tentang yang tidak kita inginkan. Tidak sepenuhnya yang berkait paut dengan wabah ini adalah segala sesuatu yang membuat manusia rugi di banyak sektor kehidupan. 

Sebagai sebaik-baik ciptaan, manusia terlalu egois jika menganggap dirinyalah subjek utama di semesta ini. Setiap gejala apa pun di alam raya selalu dihitung dengan kalkulasi untung-rugi atas dirinya sendiri. Seolah hidup adalah miliknya seutuhnya.

Hari ini tidak sedikit di antara kita tentu mengutuk Corona sebagai biang masalah bagi umat manusia. Jutaan orang meninggal, ekonomi dunia merosot, perusahaan di ambang bangkrut, aktivitas sosial hampir lumpuh total, dan kerugian-kerugian materiil yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Tapi pernahkan kita sudi merenung barang sejenak? Bahwa sejatinya "bersama kesusahan pasti ada kabar baik yang lain."  Redaksi ayat dalam Q.S. al-Insyirah: 5-6 tersebut adalah "ma'a" yang artinya: "bersama", bukan "sesudah". Artinya, semestinya bersamaan dengan merebaknya wabah Corona ini, pastilah ada hal-hal baik yang turut serta bersamanya.

Hanya saja pandangan kita sedari awal sudah dialihkan dengan egoisme, sifat individualistis, dan kecenderungan manusia yang mengukur baik-buruk hidup dari parameter materialisme. Yang membuat dirinya untung dianggap baik, yang merugikan dianggap buruk. Padahal baik menurut manusia, belum tentu baik juga bagi alam, atau juga sebaliknya. Karena sejatinya dunia ini bekerja secara paradoksal.

Di tengah kegetiran umat manusia dalam meredam arus persebaran Covid-19 yang seolah tidak kenal belas kasihan ini, Science Alert (melansir dari Kompas) merilis gambar permukaan bumi (diambil 1 Januari hingga 11 Maret 2020) menunjukkan tanda-tanda penurunan nitrogen dioksida (emisi gas buang dari kendaraan dan asap industri) secara drastis sebagai imbas diberlakukannya karantina di sejumlah wilayah di berbagai negara.

Artinya, ada penurunan polusi udara yang selama ini membuat bumi 'susah bernafas'. Ini tentu menjadi kabar yang menggembirakan.

Menurut Marshall Burke (peneliti sumber daya lingkungan dari Standford University) polusi udara sejatinya jauh lebih mematikan ketimbang serangan makhluk mikroskopis bernama Corona.

Virus ini mungkin bisa membunuh jutaan orang dari seluruh dunia, tapi persentase yang bisa diselamatkan jauh lebih besar daripada polusi udara yang bahkan bisa menyebabkan kematian dini.

Sebagaimana umumnya wabah, Corona pasti akan berada pada titik puncaknya untuk kemudian lenyap. Dan itu artinya, kehidupan akan kembali berjalan normal. 

Namun berbeda kasus dengan kondisi lingkungan yang tercemar. Pabrik-pabrik beroperasi sepanjang waktu, kendaraan bermotor bergerak tak kenal hari. Bisa dikatakan setiap detik manusia telah mempersiapkan sendiri kematian bagi sesamnya.

Maka menjadi kontraproduktif jika hari ini kita merutuk-rutuk atas kerugian yang telah Covid-19 timbulkan. Padahal biang kerusakan terbesar sebenarnya adalah manusia sendiri.

Lebih dekat cobalah lihat fenomena udara di Jakarta. Kebijakan untuk stay at home yang sama artinya dengan pengurangan aktivitas pabrik dan transportasi berimbas pada kualitas udara Ibu Kota yang kian membaik. Hal tersebut merujuk pada data yang dirangkum pada AirVisual (situs penyedia peta polusi di kota-kota besar seluruh dunia).

Dilansir dari Kumparan, per Selasa (31/3) Jakarta menduduki urutan ke-30 kota dengan polusi udara terburuk dengan nilai air quality index (tingkat keparahan udara) berkisar di angka 78 saja. Turun jauh dari kondisi sebelumnya yang sampai menyentuh angka 155. Bahkan pernah menjadi kota dengan polusi udara terparah dengan indeks mencapai 183 pada Juli tahun lalu.

Beberapa waktu yang lalu, sekilas saya menyaksikan siaran televisi yang menunjukkan aktivitas ikan-ikan di lepas samudera yang tenang. Dari pantauan udara, beberapa kawanan lumba-lumba tertangkap sedang asik bekejar-kejaran, seolah sedang menikmati semilir angin laut yang menyejukkan. 

Begitu pula dengan paus biru yang dengan enjoy bersin dan sesekali terlentang di permukaan laut. Seandainya manusia tidak seenaknya saja membuang limbah di laut, sungguh bahagialah mereka para penghuni samudera.

Oh ya, sadar atau tidak, bahwa sepanjang pandemi ini hampir tidak ada kabar yang menyebut seekor paus mati terdampar dengan mulut penuh sampah plastik. Bandingkan dengan kasus-kasus sebelumnya. Sepanjang tahun 2019 saja sudah berapa paus yang tercatat mati karena ulah umat manusia tersebut?

Dari sini, sudahkah kita mengerti bahwa aktivitas kita ternyata bisa sedemikian merusak? Sudahkah peristiwa ini mengetuk kesadaran kita bahwa ternyata kerugian yang kita terima saat ini tidak sebanding dengan kerugian yang kita berikan kepada alam? 

Pandemi baru memborbardir kita selama tiga bulan, dan kita merasa menjadi pesakitan. Sementara hampir setiap hari kita mengeksploitir alam secara besar-besaran. Memperkosanya tanpa sudi memberinya jeda.

Senada dengan lirik lagu "Bebal" yang dilantunkan Danto Sisir Tanah: Jika bumi adalah ibu kita manusia memperkosa ibunya. Jika laut adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya. Jika hutan adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Ada tak ada manusia mestinya, pohon-pohon itu tetap tumbuh. Ada tak ada manusia mestinya, terumbu karang itu tetap utuh.

Bukan tidak mungkin jika erupsi di sejumlah gunung berapi di negeri ini tidak lain adalah ekspresi kelegaan mereka karena akhirnya bisa sejenak menghirup udara bebas. Selain Anak Krakatau, tercatat beberapa gunung lain juga menunjukkan tanda-tanda aktif, seperti Kerinci (Sumbar), Merapi (Jawa Tengah), Semeru (Jawa Timur), serta Gunung Ibu dan Dukono (Maluku Utara).

Gugur gunung alam raya, mungkin itu yang sedang alam lakukan. Merujuk pada terminologi Jawa, gugur gunung sendiri berarti gotong royong, bahu-membahu untuk sesuatu yang didambakan. Secara lebih sempit, gugur gunung sering kali diidentikkan dengan kegiatan kerja bakti di desa-desa.

Persis sekali, kerja bakti. Seluruh elemen dari alam ini, baik gunung, laut, udara, hutan, sedang gotong royong melakukan kerja bakti, dalam rangka membersihkan diri dari beragam 'kotoran' juga memulihkan diri dari serangkaian 'kerusakan'.

Sekarang saya tahu belaka kenapa Tuhan dalam beberapa firman-Nya selalu menekankan, "jangan pernah berbuat kerusakan. Sebab Dia tidak suka dengan orang-orang yang merusak (mufsidin)." (Q.S. al-Qasas: 83)

Kata Danto (sekali lagi) dalam lagunya berjudul "Lagu Hidup": Kita akan selalu butuh tanah. Kita akan selalu butuh air. Kita akan selalu butuh udara. Jadi teruslah merawat. Jika kau masih cinta kawan dan saudara. Jika kau masih cinta kampung halamanmu. Jika kau cinta jiwa raga yang merdeka. Tetap saling melindungi....

Paca wabah ini berlalu, semoga kita (manusia) bisa lebih kooperatif dengan hanya mengambil secukupnya saja dari alam. Alam sudah memberi apapun yang kita butuhkan; air, udara, makanan, bahkan kehidupan sekalipun. 

Tugas kita adalah merawatnya, tidak memaksanya 'bekerja' melebihi apa yang seharusnya tidak dia lakukan. Dan itu sama artinya juga dengan melindungi kehidupan di muka bumi.

Tapi di saat bersamaan, saya justru kian pesimis. Pasalnya, kerugian ekonomis yang diderita umat manusia selama pandemi ini berlangsung kiranya bakal membuat manusia kian rakus dan bar-bar dalam mengeksploitasi alam. Tentu, guna menambal kerugian yang telah mereka alamai.

Selasa (21/4) lalu, tepat sehari sebelum Hari Bumi, petani di lereng Kendeng, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kembali menggelar aksi: tuntutan penutupan tambang. Sayang, pasukan demonstran yang dikomandoi oleh seorang perempuan paruh baya itu pada akhirnya berhasil dipukul mundur oleh para cukong yang dibantu aparat. Pada titik ini saya menyadari, berharap ke depannya bumi akan baik-baik sepertinya hanya akan berakhir seperti pepetah lama: bagai pungguk merindukan rembulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun