Hari Minggu lalu, 20 September 2015, sebagai seorang ayah, penulis mengantar anak yang masih TK untuk potong rambut (cukur) di tukang cukur langganannya. Sambil menunggui giliran, sang tukang cukur rambut yang cukup ramah kepada para langganannya yang tampaknya memang agak 'melek' politik mulai  menceritakan hal-hal yang terkait dengan peristiwa politik, apalagi menjelang Pilkada serentak.
Ketika berada disebelahnya saat menunggu anak yang sedang dicukur, sang tukang cukup mulai curhat dan menggerutu, pasalnya hari Minggu sebelumnya dia sengaja libur beraktivitas (tidak mencukur) seharian karena mendapat undangan mengikuti Konsolidasi dari salah satu calon Walikota Semarang di sebuah gedung pertemuan. Acara yang berlangsung jam 10. 00 Wib-15. 00 Wib itu ternyata sangat jauh dari harapan sekaligus sangat mengecewakannya.
Kenapa sangat mengecewakan, karena semua yang hadir tidak memperoleh 'uang saku' tetapi hanya dikasih makan siang saja. Kalau seperti ini namanya hanya diberi janji-janji indah atau mendapat 'pepesan kosong' saja, tidak untung tetapi malah 'buntung' Pak,  karena sudah menutup usaha (tidak bekerja) di hari Minggu yang biasanya lebih ramai, namun harus 'nombok' untuk biaya transport (bensin) menuju ke lokasi konsolidasi, beli rokok dan minuman ringan dengan mengeluarkan uang pribadi minimal Rp. 40. 000,-.
Setelah curhatnya selesai, penulis bertanya apa sebelumnya dijanjikan oleh tim sukses Mas? ya tidak, tapi kebiasaan selama ini juga seperti itu, tidak ada yang 'gratisan' Pak. Seperti pengalaman tahun lalu saat mengikuti kampanye calon anggota DPR saja dikasih sangu (uang saku) lumayan, apalagi ini calon Walikota mestinya jauh lebih 'basah' lagi-- ibarate bisa hujan 'duit' to Pak.
Lo kok bisa 'hujan' duit nalare (rasionya) gimana? Ya, karena calon Walikota pasti modalnya jauh lebih banyak, disamping itu pasti juga didukung oleh para "botoh" (pemodal) besar dibelakangnya, yen ora yo jebol to Pak. Yang paling bisa menentukan kemengan di hari 'H' selama ini khan besarnya sebaran rupiah, apa rakyat mau makan iklan dan janji-janji belaka?. Lagi pula masyarakat sekarang sudah cerdas; karena kalau sudah jadi pejabat (terpilih) mereka juga pasti lupa dengan pendukungnya atau sibuk dengan upayanya memperkaya diri sendiri. Demikian analisis sang tukang cukur yang tidak sedikitpun penulis bantah agar kekecewaannya terlampiaskan.  Â
Untuk mengurangi kekesalannya, penulis menanyakan : jangan-jangan sampean pulang duluan atau gak kenal sama tim suksesnya? Pertanyaan ini spontan dijawabnya, tidak Pak, karena saya dan rombongan mengikuti acara sampai tuntas dan soal uang saku juga terpaksa kami tanyakan  langsung kepada tim sukses yang mengundang, namun jawabannya sungguh diluar "dugaan"; Yo sing Ikhlas Wae, Yen ndukung Bapake Dewe (yang ikhlas saja, kalau dukung Bapaknya Sendiri).
Mendengar jawaban demikian sang tukang cukur tetap saja tidak percaya, dimana dirinya malah menuduh bahwa uangnya pasti 'ditilep' semua oleh tim suksesnya. Tim sukses pasti untung besar dengan tidak membagikan uang saku yang sudah dibayangkan jumlahnya cukup lumayan dikalikan jumlah peserta konsolidasi yang mencapai ratusan orang.Â
Karena kejadian seperti itu, penulis memancing lagi; apa sampean kapok (jera) jika mendapat undangan serupa dari kandidat lain mas? Tergantung Pak, tapi harus bisa cerdas mensiasatinya: dengan cara memastikan dahulu ada uang sakunya nggak? Berapa jumlahnya serta siapa yang menggaransi?  Jika ada maka DP atau separo uang saku bisa diberikan lebih dahulu dengan jaminan foto copy KTP agar sama-sama meyakinkan.
Selanjutnya, jika dalam konsolidasi uang saku diberikan penuh apakah nantinya juga mempengaruhi pilihan/ pilihannya sama saat pencoblosan? Ya belum tentu juga Pak, karena ini kan baru uang konsolidasi, nanti menjelang 'pencoblosan' di hari H lain lagi, tinggal siapa yang mau peduli memberi uang saku dengan jumlah yang paling besar, itulah yang biasanya lebih diperhatikan atau dicoblos oleh masyarakat. Lagian semua kandidat juga gak ada yang kenal dekat dengan kita-kita. Tandas sang tukang cukur.
Obrolan tersebut setidaknya menjadi gambaran sekaligus dapat mewakili suasana batin yang dimiliki sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat tampaknya masih sangat berharap bahwa akan terjadi 'hujan duit' dalam Pilkada Serentak karena semua kandidat pasti menginginkan kemenangan dan cara instan yang paling bisa ditempuh adalah membeli suara dengan jumlah signifikan.
Itulah gambaran betapa beratnya beban yang mesti ditanggung oleh kandidat yang sedang bertarung dalam Pilkada Serentak, mulai berburu dan berebut rekomendasi di DPP Partai Politik, membangun konsolidasi, kampanye, menebar iklan selama berbulan-bulan dan ujungnya harus bisa membeli suara dengan jumlah yang sangat signifikan.
Dengan kondisi demikian maka berdasarkan pengalaman Pilkada Kota Semarang 5 tahun yang lalu yang mungkin bisa terulang lagi-- dimana ada kandidat yang kalah dan  terjerat banyak hutang sampai mengakhiri hidupnya secara tragis dengan gantung diri. Sementara kandidat yang terpilih, ditengah jalan harus meletakkan jabatannya karena tersandung kasus korupsi APBD sehingga harus mendekam di Penjara KPK.
Kondisi tersebut mestinya menjadi keprihatinan bersama serta 'warning' bagi semua pihak, khususnya Panwas Pilkada agar lebih intensif, agresif dan berani dalam melakukan pengawasan dan sekaligus penindakan, khususnya potensi terjadinya gelombang dahsyat politik uang dalam Pilkada serentak demi semakin matang dan berkualitasnya praktik berdemokrasi di negeri ini.
Langkah demikian menjadi ikhtiar bersama agar bangsa ini tidak semakin jauh terjerumus pada praktik demokrasi transaksional yang pasti korup, gelap dan membodohkan serta berdampak sangat buruk dalam upayanya melahirkan pemimpin-pemimpin  terbaik-- di level lokal maupun nasional.
Â
Â
Semarang, 22 September 2015Â Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H