Mohon tunggu...
Aly Imron DJ
Aly Imron DJ Mohon Tunggu... wartawan & wiraswasta -

Tuhan Tidak Tidur (Gusti Mboten Sare). email: alyimrondj@yahoo.com, Hp. 085866940999

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat Basa-Basi Khittah NU

1 Agustus 2015   09:54 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:05 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamiyyah Diniyyah Nahdlatul Ulama (NU) tanggal 1-5 Agustus 2015 menggelar Muktamar Ke-33 di Jombang, Jawa Timur dengan mengusung tema sentral; Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Muktamar yang digelar ditanah para pendiri (muassis) NU  ini memiliki agenda penting dan strategis, baik secara internal maupun eksternal. Agenda internal yang menjadi isu terpenting dan menjadi fokus perhatiaan Jamaah adalah terjadinya sukses kepemimpin di pucuk pimpinan Ormas keagamaan terbesar di Republik tercinta ini yaitu pemilihan Rais 'Amm Syuriah PBNU dan Ketua Umum (Tanfidziyah) PBNU untuk periode 5 tahun kedepan.

Agenda eksternal yang menjadi fokus perbincangan atau juga perdebatan adalah respon serta posisi NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta  sikapnya atas  pergumulan politik secara global, utamanya dalam menampilkan wajah Islam di mata dunia yag saat ini diakui atau tidak terstigma kurang simpatik.

Sebagai Ormas keagamaan yang sudah berusia  89 tahun  (1926-2015) atau lebih tua dari usia negara ini serta memiliki jumlah jamaah puluhan juta orang yang tersebar di seluruh tanah air tentunya keberadaan dan kontribusinya memiliki arti signifikan-- baik dalam kehidupan  dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.

Dalam konteks lokal dan nasional,  NU perlu semakin meneguhkan posisinya sebagai Ormas keagamaan yang berdiri secara independen dengan lebih berperan pada politik  kebangsaan yang lebih besar, mendasar dan universal. Dengan posisi ini maka NU tetap harus menjaga jarak dan netral terhadap seluruh permainan partai politik praktis yang berdimensi sektoral, ekskluif dan temporal semata. 

Poisi seperti itu penting dipertegas agar jati diri NU sebagai Ormas Keagamaan yang berkhidmat pada perjuangan dibidang kemajuan dakwah Islam, sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kebudayaan tidak terus tersandera oleh kepentingan politik praktis yang terus membonceng dan berpayung dibawah kebesarannya. Karena itu, Khittah 1926 sebagai ruh perjuangan ormas ini wajib terus dijaga, diperjuangakn dan ditegakkan.

 

Basa-Basi Khittah NU

Kembali ke Khittah NU yang dicetuskan dalam Muktamar di Situbondo tahun 1984 adalah koreksi atas penyimpangan dan pembelokkan arah perjuangan NU yang lebih dititikberatkan pada warna perjuangan politik praktis. NU sebagai Ormas terbesar pada saat itu lebih diidentikkan dengan partai politik tertentu yang posisinya sangat dikerdilkan, dieksploitasi  dan dirugikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu semata.

Atas kesadaran kritis itulah maka sejumlah tokoh NU yang dimotori oleh Gus Dur waktu itu mendorong agar NU kembali kejatidirinya yang asli yaitu Ormas Keagamaan yang berdiri netral dan independen dengan seluruh kekuatan politik manapun juga. Posisi dan komitmen NU secara institusional itu sampai sekarang tidak berubah dan tidak dirubah, namun dalam praktiknya  ternyata masih sangat jauh dari harapan.

Pelaksanaan Khittah NU masih berjalan setengah hati, teoritis, basa-basi dan cenderung berhenti pada dataran retorika semata. Realitas demikian setidaknya terlihat pada era atau sistem politik yang semakin terbuka dan demokratis, dimana  kepentingan politik praktis langsung bisa bertemu, bersentuhan  dan berkomunikasi langsung kepada para pemilih (masyarakat) di level paling bawah.

Dalam konteks inilah tampaknya mayoritas para tokoh/ pemimpin  NU dilevel  manapun masih tidak kuat menahan atau mengendalikan syahwat politiknya yang membara untuk terjun langsung ke arena pertarungan politik praktis. Para tokoh/ pemimpin NU yang merasa punya pengaruh dan massa itu tetap saja menjadikan organisasinya sebagai payung politik untuk dieksploitasi dan dijadikan pusat justifikasi   demi bisa mempengaruhi atau  memobilisasi massa NU di akar rumput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun