Jamiyyah Diniyyah Nahdlatul Ulama (NU) tanggal 1-5 Agustus 2015 menggelar Muktamar Ke-33 di Jombang, Jawa Timur dengan mengusung tema sentral; Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Muktamar yang digelar ditanah para pendiri (muassis) NUÂ ini memiliki agenda penting dan strategis, baik secara internal maupun eksternal. Agenda internal yang menjadi isu terpenting dan menjadi fokus perhatiaan Jamaah adalah terjadinya sukses kepemimpin di pucuk pimpinan Ormas keagamaan terbesar di Republik tercinta ini yaitu pemilihan Rais 'Amm Syuriah PBNU dan Ketua Umum (Tanfidziyah) PBNU untuk periode 5 tahun kedepan.
Agenda eksternal yang menjadi fokus perbincangan atau juga perdebatan adalah respon serta posisi NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta sikapnya atas pergumulan politik secara global, utamanya dalam menampilkan wajah Islam di mata dunia yag saat ini diakui atau tidak terstigma kurang simpatik.
Sebagai Ormas keagamaan yang sudah berusia 89 tahun (1926-2015) atau lebih tua dari usia negara ini serta memiliki jumlah jamaah puluhan juta orang yang tersebar di seluruh tanah air tentunya keberadaan dan kontribusinya memiliki arti signifikan-- baik dalam kehidupan dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Dalam konteks lokal dan nasional, NU perlu semakin meneguhkan posisinya sebagai Ormas keagamaan yang berdiri secara independen dengan lebih berperan pada politik kebangsaan yang lebih besar, mendasar dan universal. Dengan posisi ini maka NU tetap harus menjaga jarak dan netral terhadap seluruh permainan partai politik praktis yang berdimensi sektoral, ekskluif dan temporal semata.Â
Poisi seperti itu penting dipertegas agar jati diri NU sebagai Ormas Keagamaan yang berkhidmat pada perjuangan dibidang kemajuan dakwah Islam, sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kebudayaan tidak terus tersandera oleh kepentingan politik praktis yang terus membonceng dan berpayung dibawah kebesarannya. Karena itu, Khittah 1926 sebagai ruh perjuangan ormas ini wajib terus dijaga, diperjuangakn dan ditegakkan.
Â
Basa-Basi Khittah NU
Kembali ke Khittah NU yang dicetuskan dalam Muktamar di Situbondo tahun 1984 adalah koreksi atas penyimpangan dan pembelokkan arah perjuangan NU yang lebih dititikberatkan pada warna perjuangan politik praktis. NU sebagai Ormas terbesar pada saat itu lebih diidentikkan dengan partai politik tertentu yang posisinya sangat dikerdilkan, dieksploitasi dan dirugikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu semata.
Atas kesadaran kritis itulah maka sejumlah tokoh NU yang dimotori oleh Gus Dur waktu itu mendorong agar NU kembali kejatidirinya yang asli yaitu Ormas Keagamaan yang berdiri netral dan independen dengan seluruh kekuatan politik manapun juga. Posisi dan komitmen NU secara institusional itu sampai sekarang tidak berubah dan tidak dirubah, namun dalam praktiknya ternyata masih sangat jauh dari harapan.
Pelaksanaan Khittah NU masih berjalan setengah hati, teoritis, basa-basi dan cenderung berhenti pada dataran retorika semata. Realitas demikian setidaknya terlihat pada era atau sistem politik yang semakin terbuka dan demokratis, dimana kepentingan politik praktis langsung bisa bertemu, bersentuhan dan berkomunikasi langsung kepada para pemilih (masyarakat) di level paling bawah.
Dalam konteks inilah tampaknya mayoritas para tokoh/ pemimpin NU dilevel manapun masih tidak kuat menahan atau mengendalikan syahwat politiknya yang membara untuk terjun langsung ke arena pertarungan politik praktis. Para tokoh/ pemimpin NU yang merasa punya pengaruh dan massa itu tetap saja menjadikan organisasinya sebagai payung politik untuk dieksploitasi dan dijadikan pusat justifikasi  demi bisa mempengaruhi atau memobilisasi massa NU di akar rumput.