Para Pimpinan/ Tokoh NU yang terjun ke arena politik praktis ini bisa berperan langsung menjadikan dirinya, putra putrinya atau keluarga dekatnya sebagai calon-calon pemimpin formal seperti di lembaga legislatif melaui Pileg maupun berebut Pimpinan eksekutif melalui Pilpres atau Pilkada langsung. Fenomena yang lebih ironis lagi adalah ketika banyak pemimpin / Tokoh NU yang juga menyediakan dirinya untuk sekedar menjadi agen atau 'broker' politik bagi Parpol tertentu atau tokoh yang sedang berburu tahta dengan konsesi yang bersifat material semata.
Kondisi seperti itulah yang membuat fragmentasi diantara para pimpinan/ tokoh NU menjadi sangat mudah terjadi secara terbuka, baik di level nasional maupun lokal. Fragmentasi terjadi karena kepentingan, target dan selera politik para pemimpin NU itu sangat beragam dengan saling salip untuk demi mencari keuntungan/ berburu kemenangan yang bersifat pribadi.
Realitas itulah yang sangat menyedihkan karena yang menjadi korbanya adalah Jamaah NU yang berada dilevel paling bawah yang sangat taat, loyal, lugu dan jujur dengan jumlah yang menyebar dan besar. Perpecahan yang justru banyak diaktori para pimpinan NU itu akhirnya mudah menyulut dan merembat ke basis Jamaah NU di level paling bawah yang berdampak kontraproduktif bagi kemajuaan institusi maupun pengembanga serta kemajuan cita-cita ormas keagamaan terbesar di Republik ini.
Karena itu, di Muktamar ke-33 ini warga NU pantas mengirimkan pesan dan sekaligus menggugat para pimpinan/ tokoh NU yang dinilai lebih pandai beretorika dan bersifat basa-basi dalam menegakkan Khittan NU karena lebih mementingkan libido politik serta ambisi pribadinya semata. Realitas demikian tentu sangat 'membodohi' Jamaah NU serta jauh dari sikap keteladanan yang sebenarnya; dimana warga NU terus dieksploitasi, dibajak dan diminta selalu mengabdi serta melayani, bukan dilayani, dicerahkan dan disejahterakan oleh para pemimpinnya.
Jamaah NU berharap Muktamar NU Ke-33 akhirnya bisa melahirkan kepemimpinan yang berwibawa, kuat serta bisa menegakkan khittah perjuangan NU ditengah dahsyatnya gempuran dan godaan permaianan politik praktis. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh yang telah terbukti tidak membabai buta dan selalu bisa mengendalikan syahwat politiknya-- apapun indahnya rayuan dan besarnya godaan yang terus ditawarkan.
Wajah IslamÂ
Tema yang diusung Muktamar NU Ke-33 di atas pada ujungnya adalah untuk mengampanyekan ciri, tradisi dan praktik keberagamaan di Indonesia (Nusantara) yang dibangun secara kuat dengan menghormati kerukunan, kemajemukan, demokrasi, toleransi dan perdamaian kepada masyarakat nasional maupun internasional. Terobosan NU ini diambil sebagai antitesa atas stigma negatif yang ditempelkan kepada wajah Islam yang seolah lebih suka kekerasan, mengembangkan kebencian, teror, pemberontakan dan perang saudara.
Terjadinya gejolak politik, teror, kekerasan, pemberontakan dan peperangan di sebagian negara di Afrika dan Timur Tengah yang mayoritas penduduknya Muslim bukan persoalan agama dan sama sekali tidak mewakili wajah Islam yang sebenarnya. Realitas itu justru sangat bertolak belakang dengan misi Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin, yang  mengutamakan perdamaian, kerukunan, toleransi, kebersamaan dan penghormatan atas kemuliaan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.
Karena itu, Wajah Islam tidak bisa disamakan atau identik dengan wajah kawasan Afrika dan Timur Tengah yang saat ini sedang bergejolak, dilanda kekerasan, pemberontakan dan peperangan. Terjadinya aksi-aksi kekarasan dan peperangan itu diyakini sama sekali tidak memperjuangkan sentimen dan kepentingan Islam yang sesunguhnya, tetapi karena terjadinya pergolakan politik, perebutan kekuasaan dan ekonomi yang sengaja ditutupi atau dipayungi dengan simbol-simbol eksploitasi Islam.Â
Pandangan atas wajah Islam yang hanya identik dengan Arab itulah yang ingin dirubah NU karena nyata-nyata diarahkan atau diskenariokan untuk merusak citra atau wajah Islam yang sesungguhnya sangat indah, damai, simpatik dan menyejukkan. Wajah Islam yang ramah, moderat, cinta damai dan toleran inilah yang ingin dipasarkan NU kepada masyarakat dunia sebagai identitas Islam yang sebenarnya.
Ditengah populasi yang mayoritas Muslim atau bahkan di dunia, umat Islam Indonesia ternyata tidak menjadi arogan dengan berusaha mendirikan negara berdasarkan syari'at agamanya. Keberadaan Pancasila, Bhineka Tungal Ika dan NKRI adalah sebagai sumbangan terbesar dan bukti nyata kedewasaan Muslim di negara ini untuk menjalankan esensi keagamaannya yang Rahmatal lil'alamin dengan menghormati pluralitas, melindungi minoritas, mengedepankan musyawarah, toleransi dan selalu cinta perdamaian dalam menjalani kehidupan bersama.