Tidak bisa dipungkiri, hampir seluruh lembaga survei menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat jelang Pemilu 9 April 2014 terus anjlok dan menurun secara drastis. Partai Demokrat yang pernah menang di Pemilu 2009 dengan prosentase lebih 20% serta menguasai pemerintahan, kini peluangnya untuk tetap bertahan sangat kecil dan bahkan diprediksi akan jatuh menjadi parpol papan tengah atau bahkan kecil.
Ancaman jatuhnya elektabilitas Demokrat setidaknya ditunjukkan oleh 2 lembaga survei yang mempublikasikan hasilnya di awal tahun ini atau sekitar 2 bulan menjelang Pemilu legislatif. Setelah Lingkaran survei Indonesia (LSI) merilis temuannya, dimana Demokrat semakin jatuh elektabilitasnya pada angka 4,7%, kini giliran Lembaga Survei Jakarta (LSJ) juga menyebut bahwa tingkat keterpilihan parpol penguasa ini semakin terpuruk pada kisaran 6,1%, dengan berada di urutan ke 6-- dibawah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Gerindra, Nasdem dan Hanura.
Terlepas benar tidaknya hasil survei tersebut berdasarkan kenyataan politik yang bakal terjadi di Pemilu 9 April mendatang, maka fomena hasil survei yang menjadi potret situsional kekuatan politik mestinya disikapi secara dewasa, rasional dan dikaji secara serius. Hasil survei dapat menjadi warning bagi setiap parpol untuk melakukan langkah-langkah strategis, berupa loncatan dan penyelamatan sebelum dirinya 'divonis' oleh rakyat dalam Pemilu.
Dalam konteks inilah keberadaan Demokrat menjadi cukup memprihatinkan, karena sebagai partai penguasa selama hampir 10 tahun, namun dominasinya terancam tersingkir, suram dan tragis. Ancaman ini setidaknya telah ditunjukkan oleh berbagai lembaga survei, dimana trend elektabilitas Demokrat semakin jatuh dan terpuruk secara memprihatinkan.
Ditengah ancaman itu, mestinya Demokrat segera berbenah, tidak terus terlibat dalam konflik dan polemik dengan saling tuding serta menyalahkan. Ada kecenderungan yang kontradiktif ketika sebagian elit Demokrat justru 'menyalahkan' lembaga survei ketika parpolnya disebutkan memiliki elektabilitas yang cukup rendah.
Itulah sikap kontraproduktif ditengah ancaman semakin habis dan jatuhnya tingkat elektabilitas Demokrat di Pemilu mendatang. Demokrat mestinya berpikir jernih dan rasional, dengan mengurai akar persoalan yang sebenarnya ada sehingga sikap atau upaya penyelamatan yang dilakukan lebih berdimensi universal dan aplikatif,  bukan emosional dan parsial belaka.
Partai Demokrat setidaknya disisa waktu yang semakin sempit menjelang Pemilu 9 April mendatang dapat secara adil dan jernih membaca dan mengetahui sebab, faktor serta para aktor yang secara signifikan membuat partai ini terancam jatuh dan tenggelam. Aktor-aktor inilah yang disebutkan oleh banyak lembaga survei sebagai sebab terus anjloknya elektabilitas Demokrat saat ini.
Beberapa sebab yang membuat Demokrat tidak bisa tampil menjadi parpol yang kuat dan modern adalah gagalnya serta lemahnya sistem kaderisasi di parpol pemenang Pemilu 2009 lalu. Dalam rekrutmen kepemimpinan di Partai Demokrat, baik di pusat hingga daerah lebih didasarkan pada pertimbangan pragmatis, instan dan bahkan nepotis.
Jalan pintas tampaknya lebih ditempuh Demokrat dalam melakukan rekrutmen kepemimpinan yang lebih melihat faktor kapital dan ketokohan yang awalnya tidak memiliki akar sejarah sedikitpun dengan parpol ini. Banyak pejabat dan pengusaha yang tiba-tiba menjadi pemimpin Partai Demokrat diseluruh tingkatan kepengurusan, padahal sebelumnya tidak pernah terlibat sedikitpun dengan proses pengkaderan secara internal.
Rekrutmen kepemimpinan seperti itulah yang akhirnya membuat banyak kader Demokrat yang sudah lama berkarir dan mengabdi sejak berdirinya parpol ini harus dikalahkan, tersingkir atau disingkirkan.  Langkah instan dan prgamtis demikian yang membuat banyak kader Demokrat akhirnya sakit hati dan lari dengan bergabung menjadi kader partai politik lain.
Disamping faktor itu, massifnya pemberitaan media massa terhadap dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah elit politik Demokrat secara signifikan telah merontokkan elektabilitas parpol penguasa ini. Karena kasus ini, Demokrat telah dipersepsikan oleh publik sebagai parpol paling korup di negeri ini.