Geliat diskusi di blog Kompasiana yang tak mengenal kata berhenti dengan menyajikan beragam informasi, opini, analisa dalam berbagai bidang tampaknya terus menjadi perhatian publik yang berusaha mengupdate berbagai peristiwa yang bersifat aktual. Kompasiana kini tampaknya telah menjadi salah satu acuan atau kiblat untuk memperoleh informasi dan berbagai analisa yang bebas, lugas dan  berani dari berbagai kalangan yang tidak mungkin bisa disetir atau apalagi diintervensi kelompok kepentingan tertentu semata.
Hdirnya blog Kompasiana menjadi  alternatif pilihan bagi siapapun yang ingin menyalurkan ekspresi ide dan pemikirannya secara bebas ditengah banyaknya media massa yang kini telah menjadi corong, disetir atau dikuasai oleh kelompok atau elit politik tertentu. Kondisi seperti inilah yang membuat Kompasiana menjadi media alternatif yang tidak sekedar 'boleh' memberikan puja puji bagi kelompok kepentingan tertentu, namun juga pemikiran kritis yang sangat terasa pedas ditelinga pihak-pihak yang menjadi sasarannya.
Namun demikian, pengelola Kompasiana tetap memberikan rambu-rambu bagi para Kompasianer agar segala yang ditulisnya tidak berbau fitnah, menabrak isu SARA, menebarkan kebencian serta melampiaskan caci maki kepada pihak lain. Setiap penulis wajib bertanggungjawab terhadap materi tulisannya sehingga tidak boleh lari atau lempar batu sembunyi tangan.
Faktor itulah tampaknya yang membuat salah satu penulis Kompasiana yaitu Sri Mulyono kini harus berurusan dengan SBY karena salah satu tulisannya di media sosial ini yang berjudul : Anas: Kejarlah daku, Kau Kutangkap--- dimana sebagian materinya dianggap telah menyebarkan fitnah kepada Ketua Umum Partai Demokrat dan sekaligus orang terkuat di negeri ini. Karena merasa difitnah, SBY melalui pengacaranya melayangkan 'somasi' kepada loyalis Anas Urbaningrum ini untuk mengklarifikasi atau mempertanggungjawabkannya tulisannya.
Terhadap somasi SBY yang dialamatkan kepada penulis di Kompasiana itu sesungguhnya dapat ditarik pelajaran dan kesimpulan bahwa setiap orang harus mempertangungjawabkan tulisannya, utamanya jika bersinggungan dengan pihak lain. Pertanggungjawaban sebuah tulisan seharusnya tidak selalu dibawa keranah hukum, tetapi bisa melalui hak jawab dari orang yang dirugikan atau klarifikasi langsung lewat tulisan demi meralat atau mempertahankan argumentasinya.
Somasi SBY yang dilayangkan kepada Sri Mulyono tampaknya lebih bernuansa politis, karena penulis selama ini dikenal sebagai aktifis PPI dan sekaligus loyalis Anas Urbaningrum yang cukup menonjol. Bukan rahasia lagi jika pertarungan politik antara kubu Anas Vs Cikeas hingga kini terus berlangsung sehingga tulisan Sri Mulyono menjadi alat justifikasi untuk memukul lawan politiknya melalui somasi.
Prediksi itu cukup beralasan, karena selain Sri mulyono ternyata sangat banyak para penulis di Kompasiana yang lebih galak, keras serta sangat kritis terhadap kebijakan SBY dan prilaku keluarganya. Untungnya para penulis Kompasiana lain yang sangat kritis ini tidak ada yang dikenal sebagai loyalis utama Anas Urbaningrum dan sekaligus aktifis PPI seperti Sri Mulyono.
Belajar dari somasi SBY kepada Sri Mulyono maka para penulis di Kompasiana mestinya sadar bahwa aktivitas di media sosial ini telah menjadi perhatian banyak orang, mulai dari rakyat biasa, kalangan terdidik, kaum profesional, penegak hukum, politisi, tokoh masyarakat dan kalangan pejabat negara. Keluarnya somasi SBY terhadap Sri Mulyono adalah bukti bahwa tulisan-tulisan kritis di Kompasiana juga tidak luput dari perhatian, pengawasan serta penilaian dari penguasa Cikeas.
Kondisi demikian mestinya membuat para Kompasianer pantas tersanjung dan bangga, namun juga perlu hati-hati dan waspada karena mata Cikeas tampaknya selalu memperhatikan geliat diskusi di blog sosial media ini. Mata Cikeas tentu sangat banyak dan jeli dalam menilai tulisan-tulisan yang kritis, namun dengan munculnya kasus somasi terhadap Sri Mulyono hendaknya tidak membuat para penulisnya menjadi gentar dan tiarap.
Kemerdekaan berpikir dan sikap kritis hendaknya tidak bisa dihentikan dengan kekawatiran, teror dan ketakutan, namun harus tetap diupayakan jika esensinya adalah demi menyuarakan kebenaran. Satu hal yang mesti dipegang teguh oleh para kompasianer adalah tidak membuat dan menebarkan berita atau opini yang memfitnah, mencaci maki dan sekaligus menyulut isu SARA.
Jika pegangan itu tetap kokoh dipertahankan maka jangan pernah takut jika tulisannya akhirnya disomasi, bahkan oleh seorang Presiden. Jika tidak berbau fitnah, maka somasi seorang Presiden justru dapat melambungkan nama (popularitas) seseorang karena gagasan segarnya langsung dibaca oleh pemimpin tertingi di negeri ini sehingga bisa menjadi salah satu referensi untuk menentukan kebijakan strategis di negeri ini.